KIAT "Anti-Sari Rapat" paling tidak telah membuat dua orang pembaca melayangkan surat. Yang pertama, malah dari Jaya Suprana -- "korban" yang saya kiatkan itu. Tulisnya, di Semarang mendadak ia terkenal sebagai Malin Kundang. "Ibu meninggal tidak menangis, tetapi merk Jamu diubah saja malah menangis," ejek temannya. Padahal, Kiat itu tak menulis Jaya tak menangis waktu ibunya meninggal. Surat yang lain menanyakan apa betul merk baru akan membawa kesulitan baru. Biarlah angka-angka penelitian berikut ini yang menjawab. Menurut penelitian A.C. Nielsen Company Limited, sebuah biro riset, 54% dari produk dengan merk baru ditarik dari peredaran setelah uji coba pasar dilaksanakan. Sebuah biro riset lain di Inggris Kraushar, Andrews and Eassie -- mencatat bahwa 410 produk merk baru, yang diluncurkan ke pasar pada 1971, tinggal 40% yang masih beredar di pasar pada 1976. Penelitian lain yang dilakukan di Amerika khusus untuk barang konsumen menunjukkan tingkat kegagalan 40% dari merk-merk baru. Mereka yang gagal meluncurkan merk-merk baru itu pun bukan perusahaan-perusahaan kecil. Heinz Campbell, Del Monte, Revlon, Colgate, Procter & Gamble, hanyalah beberapa dari perusahaan-perusahaan besar yang pernah gagal dalam upaya melahirkan merk baru. Memang, merk tidak identik dengan produk. A products something that is made in the factory, a brand is something that is bought by the customer. Anda 'kan tidak membeli rokok, melainkan Djie Sam Soe? A product can be copied by competitor, a brand is unique. Banyak mobil yang dibuat mirip Trooper, tetapi toh Anda pilih yang asli? A product can be quickly outdated, a brand is timeless. Sebagai produk deterjen, Rinso sudah mengalami berbagai perubahan sejak diperkenalkan pada awal 1970-an. Ditambah bahan pewangi. Ditambah kemampuan memutihkan. Tetapi, merknya tidak berubah hingga kini. Sebelumnya, deterjen itu pernah diluncurkan ke pasar dengan merk Radion, tetapi kemudian ditarik dari peredaran. Apa yang membuat sebuah perusahaan sukses adalah merk, bukan produk. Pertumbuhan yang dramatis dari IBM bukan karena orang membutuhkan komputer, tetapi karena mereka ingin memakai IBM. Majalah Zaman, kata Fikri Jufri, tewas karena nama yang tak mendukung. "Diubah bagaimanapun produknya, selama ia bernama Zaman, orang malas membelinya. Pengecer pun malas menjajakannya," kata Fikri. Namanya lalu diubah, tentu saja dengan perubahan acuan produk untuk mendukung namanya, menjadi Matra. Larisnya Matra bahkan membuat kaget Fikri dan anak buahnya. Anehnya, para pemasar kebanyakan lebih mempersoalkan pengembangan produk, bukan pengembangan merk. Produk, memang lebih merupakan obsesi bagi kebanyakan pemasar. Product life cycle umpamanya. Mereka selalu mengamati setiap ada kurva menurun dari penjualan suatu produk, lalu menambahkan sesuatu pada produk itu agar konsumen mempunyai alasan baru untuk terus membeli merk itu. Tetapi, orang 'kan tidak mengenal adanya brand life cycle? Kasus Rinso itu tadi misalnya. Penambahan bahan pewangi tidak membuatnya perlu mengganti merk yang lebih genit -- Rinsoir, misalnya. Penambahan daya memutihkan pun tidak membuatnya berganti merk. A brand is timeless. Megatrends meramalkan bahwa perkembangan teknologi dewasa ini akan mengakibatkan daur hidup produk makin pendek. Teori ini hanya akan memperkuat alasan pentingnya mengembangkan merk yang kuat -- karena merk yang kuat akan mampu bertahan terhadap perubahan harga maupun perubahan produk. Coca-Cola, misalnya, tidak membuat penggemarnya berpindah ke merk lain ketika New Coke dengan rasa baru diperkenalkan. Mereka tak menyukai rasa baru itu dan mendesak Coca-Cola kembali ke formula lama. Mercedes Ben tetap dibeli orang sekalipun harganya naik. Produk baru memang akan tetap berperan sebagai life-blood dari suatu perusahaan. Pertanyaan yang sulit dijawab adalah: apakah produk baru itu akan memakai merk baru, atau akan tetap mempertahankan the going brand yang telah puluhan tahun dipakai? Dino pada awal 1970-an mempunyai pangsa yang cukup baik di pasar deterjen. Pabrik itu lalu membuat produk baru. Bukan deterjen baru, tetapi pasta gigi. Menganggap bahwa Dino adalah merk yang populer, pasta gigi itu pun diberi merk Dinodent. Sebuah percobaan yang gagal ternyata. Dino adalah deterjen yang disukai. Tetapi, siapa rela menaruh deterjen ke dalam mulut? Sekalipun Dinodent bukan deterjen penamaan itu mengasosiasi terlampau dekat. Mengapa Djie Sam Soe tidak salin nama, atau paling tidak mengubah ejaannya? Mengapa Bentoel? Bukan Bentul? Mengap Djakarta Lloyd tidak menyempurnakan ejaannya? Bila nama bukanlah hal yang musykil, tentulah orang tidak akan repot-repot ke Gunung Kawi, misalnya, untuk mendapat wangsit tentang nama. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini