WAKIL PM Singapura Goh Chok Tong pernah berbicara ihwal regional, yakni keadaan di Asia Tenggara. Kata Goh, "Jika Anda memandang ke depan, empat atau lima tahun dari sekarang, kepada negeri-negeri di kawasan ini, pada hemat saya, kita akan menghadapi suatu kurun zaman yang tidak pasti". Ketidakpastian-ketidakpastian itu ialah suksesi kepemimpinan di Indonesia, ketidakstabilan potensial di Filipina, bangkitnya fundamentalisme Islam di Malaysia, dan pertempuran sepanjang perbatasan Muangthai-Kamboja. Goh menambahkan, "Memandang semua itu, empat atau lima tahun lagi, kami pikir, kami akan melihat bentrokan ketidakpastian-ketidakpastian ini. Itulah yang akan merupakan batu ujian sesungguhnya bagi kami, yaitu generasi kedua". Jika kita lihat keadaan dewasa ini, buat sementara, dapat kita katakan -- setelah beberapa waktu lalu secara beruntun datang pernyataan dari berbagai kalangan masyarakat supaya Jenderal (pur) Soeharto menjadi presiden lagi untuk masa 1988-1993, dan kemudian Pak Harto menyatakan kesediaannya memenuhi permintaan tersebut -- masalah kepemimpinan di Indonesia tidak lagi merupakan ketidakpastian. Di Filipina, dengan terjadinya perubahan pemerintahan akibat gerakan "Kekuasaan Rakyat" pada Februari 1986, timbul kesempatan dan tantangan baru yang harus dihadapi Presiden Corazon Aquino beserta rakyatnya. Fundamentalisme Islam di Malaysia buat sementara dapat dibendung dengan kalahnya partai Islam PAS dalam pemilihan umum yang baru lalu. Sedangkan masalah Kamboja belum memperlihatkan tanda-tanda akan dapat cepat terselesaikan, karena hal ini turut ditentukan oleh sikap para pemimpin di Hanoi, serta sikap Uni Soviet dan RRC. Dengan mengemukakan ini, tidak berarti keterangan Wakil PM Goh kehilangan dasar sama sekali. Ucapannya, "Kita akan menghadapi suatu kurun zaman yang tidak pasti", tetap perlu diperhatikan. Meramalkan apa yang bakal terjadi dalam empat atau lima tahun mendatang di kawasan Asia Tenggara tidak dapat dilakukan dengan sikap periang. Cara-cara berspekulasi atau berkhayal menggantang asap di dalam meramalkan apa yang bakal terjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bersikap optimistis memandang masa depan, sebagaimana diajarkan kepada manusia Pancasilais -- ingat keterangan yang mengatakan, hari sekarang lebih baik daripada kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini -- tentu harus dipuji, tetapi juga dapat mengaburkan gambaran. Bersikap pesimistis, seperti mengatakan "keadaan tidak dapat tertolong lagi", niscaya menimbulkan kelumpuhan aktivitas dan sikap masa bodoh. Lalu apa yang bakal terjadi ? Sikap apa yang kudu ditegakkan ? Orang yang memahami sejarah dan politik Asia Tenggara akan menerima suatu hal yang sudah terbukti di masa lampau. Yaitu, di kawasan ini, segalanya mungkin apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Hal lain ialah sulitnya memperkirakan dan merencanakan masa depan, bila meliputi jangka waktu yang lama. Jangankan empat atau lima tahun ke depan, seperti dilakukan Goh Chok Tong, melihat enam bulan ke depan saja, jika dapat memperkirakan apa yang akan terjadi, itu sudah termasuk bagus. Di Asia Tenggara, unsur yang mencengangkan, yang datangnya tiba-tiba, tidak tersangka atau element of surprise, tidak dapat ditolak begitu saja. Di Indonesia, kita sudah mempunyai pengalaman tentang hal itu. Pada Mei 1965, Presiden Soekarno, yang jadi presiden seumur hidup, berada di puncak kekuasaannya, dan pemerintahannya yang otokratis tampaknya akan berlanjut sepanjang hayatnya. Tapi tiba-tiba, dengan tiada disangka-sangka, meletus peristiwa G-30-S PKI. Muncul element of surprise dalam sejarah, dan mulailah susunan kekuasaan Presiden Soekarno berantakan. Maka, mengingat sejarah dan politik di Asia Tenggara, sikap yang dapat kita tegakkan ialah menjaga keseimbangan diri, selalu membaca dengan tepat apa yang sedang berlangsung di depan mata kita, dan waspada supaya jangan sampai kewalahan dalam menghadapi situasi yang tidak disangka-sangka. Goh Chok Tong berbicara tentang "bentrokan ketidakpastian-ketidakpastian" dalam empat atau lima tahun lagi. Walau tidak dieja lebih jauh, orang pasti arif bahwa semua itu ada hubungan dengan kekuasaan politik. Besar atau kecilnya bentrokan, dapat atau tidaknya diredakan, hal itu tidak sedikit tergantung dari cara para pemimpin pemerintahan melaksanakan kekuasaan mereka. Apakah kekuasaan itu? Seymour Brown dalam buku The Faces of Power menulis, "Kekuasaan (power) ialah kemampuan mempengaruhi keadaan atau peri laku sesuatu atau seseorang. Mereka yang berkuasa (the powerful) ialah mereka yang mempunyai tujuan-tujuan besar dan dapat menyelesaikannya. Ini biasanya menghendaki sesuatu tingkat persetujuan (consent) dari yang lain-lain. Kemampuan untuk menyebabkan persetujuan dari yang lain-lain adalah intisari kekuasaan politik." Jelas, esensi kekuasaan politik ialah kemampuan memperoleh persetujuan rakyat. Tolok ukurnya bukan semata-mata mekanisme pemilihan umum. Seperti diakui Goh Chok Tong, dalam kedudukannya selaku asisten sekjen PAP (partai pemerintah), dalam majalah Petir, belum lama berselang, sistem satu-orang-satu-suara tidak akan jalan, bila para pemilih tidak memahami masalah-masalah pokok Singapura dan kerawanan-kerawanannya. Sebab, pemberian suara lantas tidak mempertimbangkan kepentingan kolektif Singapura, tetapi kepentingan-kepentingan sempit dan pribadi. Pemerintah harus mengusahakan rakyat Singapura berperan serta daam nation building, dengan mengidentifikasikan daerah-daerah keprihatinan bersama, dan menyepakati strategi mengatasinya. Karena warga Singapura yang berpendidikan lebih baik menginginkan kesempatan mengutarakan pendapat mereka, pemerintah harus mengurus ini guna mencapai hasil-hasil efektif, kata Goh Chok Tong. Dia memang berbicara untuk Singapura dan situasinya. Tetapi, karena menyangkut persoalan kekuasaan politik, dia pun menjadi relevan bagi situasi di kawasan Asia Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini