NELAYAN di Nusa Tenggara Timur dan Barat sudah beberapa tahun terakhir ini mengail yen dengan ikan hiu botol. Sampai Oktober lalu, jumlah uang Jepang yang bisa mereka pancing lebih dari 1,2 milyar yen -- hampir Rp 15 milyar. Dibandingkan seluruh hasil tahun lalu, jumlah yen yang dapat mereka kumpulkan naik hampir enam kali lipat. Wajar bila pejabat Departemen Pertanian dan Perikanan Jepang kaget melihat kenaikan angka yang mencolok itu. Ikan hiu botol (centrophorus atromarginatus) memang bisa menghasilkan devisa. Dari seekor ikan hiu botol, seorang nelayan bisa memperoleh uang dari menjual daging, sirip, kulit, dan terutama hatinya. Jika berat rata-rata seekor ikan itu 25 kg, berat hatinya 5 kg. Dan minyaknya bisa mereka peroleh 75% sampai 85% dari berat hati, setelah bagian dalam tubuh ikan itu diangin-anginkan dalam sebuah baskom, selama dua jam. Nelayan menjual minyak ikan itu ke pengusaha pengumpul dengan harga Rp 2.000 per kg. Dagingnya laku dijual Rp 300 per kg, dan siripnya, yang tak terdapat dalam jumlah besar, Rp 9.000 per kg. Ketika Presiden Soeharto, belum lama ini, berkunjung ke NTT, dan melihat ikan hiu botol itu bisa menaikkan pendapatan nelayan, ia menyerahkan 50 mata pancing khusus hiu berikut rantainya kepada Gubernur Ben Mboi untuk disampaikan kepada nelayan. Dengan menambah jumlah mata pancing, Kepala Negara berharap nelayan setempat bisa menaikkan jumlah hiu tangkapannya. Hiu botol biasanya dipancing nelayan antara April dan Oktober, di muara sungai berpasir dengan sedikit endapan lumpur. Pancing dengan umpan ikan selar atau lemuru diletakkan sore hari, dengan rantai diulur mendekati dasar laut. Baru-baru ini, PT Gunung Samudera Alam (GSA), yang baru mulai beroperasi di NTT, menyatakan bersedia membeli hiu tangkapan nelayan dengan harga Rp 450 per kg kotor -- meskipun yang akan dimanfaatkan hanya hatinya. Kalaupun nelayan ternyata cuma dapat menangkap hiu yang tak memenuhi syarat, GSA, sebagai perusahaan inti, berjanji tetap membelinya. "Agar para nelayan tak kecewa. Kalau tidak dibeli, kami khawatir itu akan mematahkan semangat mereka untuk memancing lagi," kata Daniel Cherlin, Direktur GSA, kepada Supriyantho Khafid dari TEMPO. Risiko itu, rasanya, cukup seimbang mengingat GSA kelak bisa menjual minyak hati hiu botol itu US$ 4,5 per kg ke sebuah perusahaan di Jepang. Usaha mencari hiu botol di NTT dimulai GSA sejak Desember tahun lalu, setelah mereka melakukan penelitian lapangan di pelbagai tempat. Dan hasilnya sudah kelihatan: sekitar tujuh ton minyak ikan hiu botol, bulan ini, dikapalkan GSA ke Jepang. Jumlah itu belum memadai, memang. Kalau GSA, yang menanamkan uang Rp 4 milyar dalam usaha ini, ingin mencapai titik impas, hasil yang harus diperoleh sedikitnya 50 ton per bulan. Di Jepang, minyak hiu itu disuling untuk memperoleh jenis minyak squalene (sebangsa senyawa hidrokarbon), yang mempunyai titik beku minus 70 C. Karena titik bekunya rendah, jenis minyak ini sangat cocok untuk pelumas kendaraan yang beroperasi di daerah dingin. Bahkan ada kabar, Badan Ruang Angkasa dan Aeronautika Amerika Serikat banyak mencari squalene untuk pelumas kendaraan ruang angkasanya. Jika squalene tadi diolah lebih lanjut, akan diperoleh squalane, mirip alkohol, yang banyak dipakai sebagai bahan dasar pembuatan kosmetik atau vitamin A. Tiga tahun terakhir ini, kebutuhan industri kosmetik Jepang akan bahan baku itu naik dengan mencolok. Tahun 1984, seluruh impor minyak hiu botol baru 1.287 ton -- 46 ton di antaranya dari Indonesia. Tahun ini (sampai Oktober), sudah mencapai 2.997 ton. Dan jangan kaget, sekitar 1.000 ton lebih di antaranya merupakan minyak hiu botol dari Indonesia. Naiknya impor minyak ikan hiu botol Jepang itu, sayang, menyebabkan harga jatuh. "Harganya kini tinggal US$ 5 per kg. Padahal, beberapa tahun lalu masih US$ 8 per kg," kata Yoshino dari Seksi Minyak dan Gemuk perusahaan Nissho Iwai kepada wartawan TEMPO Seiichi Okawa. Kalau pengekspor bisa menjual minyak hiu itu dalam bentuk squalane, harganya, konon, bisa tiga atau empat kali lipat. Setiap tahun, perusahaan ini mengimpor 70 ton -- 80 ton minyak hiu botol, atau 70% -- 80% dari seluruh kebutuhannya, dari Indonesia. Mencoloknya permintaan minyak hiu itu, menurut dugaan seorang pejabat perusahaan Nichimen, menjadi sebab utama jatuhnya harga komoditi tersebut. Ada dugaan, permintaan minyak itu untuk tahun-tahun mendatang tak akan lebih dari 1.000 ton setahun, seperti yang terjadi dua tahun terakhir ini. "Karena itu, prospek harganya tak akan begitu baik di pasar Jepang," katanya. Sekalipun pernyataan pejabat itu belum tentu benar, para eksportir Indonesia, tampaknya, perlu segera mencari pasar baru Amerika, misalnya. Akan lebih baik kalau mereka bisa mengekspor minyak hiu itu dalam bentuk industri yang sudah jadi, hingga bisa menaikkan nilai tambah di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini