JAKARTA – Kebijakan larangan peredaran
minyak goreng curah resmi dibatalkan setelah penerapannya beberapa kali ditunda. Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menargetkan seluruh minyak goreng wajib dijual dalam kemasan per Januari 2022. Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan, khususnya pada Pasal 27.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, berujar bahwa keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan kenaikan harga minyak sawit mentah (
crude palm oil/CPO). Kenaikan itu dipicu oleh sejumlah faktor, seperti pemulihan ekonomi di berbagai negara yang tidak dibarengi dengan suplai yang mencukupi. Kenaikan harga
CPO itu dibarengi dengan naiknya harga minyak goreng sehingga dinilai bakal berdampak pada aktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"(Pembatalan kebijakan ini) untuk memberikan kemudahan dan kesempatan bagi pelaku UMKM dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Terutama dalam memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau sehingga UMKM tetap dapat berproduksi selama masa pandemi," ujar Oke, kemarin.
Oke mencatat harga CPO internasional telah menyentuh US$ 1.305 per ton atau 27,17 persen lebih tinggi daripada harga pada awal 2021. Kenaikan harga CPO telah memicu kenaikan
harga minyak goreng curah yang kini telah menyentuh Rp 17.600 per liter dan minyak goreng kemasan di level Rp 19 ribu per liter.
Adapun kebutuhan minyak goreng curah untuk pelaku industri, termasuk UMKM, tercatat sebesar 1,6 juta ton. Sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga sebanyak 2,12 juta ton dari total kebutuhan nasional minyak goreng yang mencapai 5 juta ton per tahun.
Pengisian minyak goreng curah ke jeriken di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, 12 November 2021. TEMPO/Ridho Fadilla
Oke menjamin bahwa pemerintah akan menjaga dan mengawasi kualitas minyak goreng curah yang beredar. Pasalnya, ada kekhawatiran soal standar kelayakan konsumsi komoditas tersebut. Pemerintah juga akan gencar mengedukasi masyarakat agar beralih ke minyak goreng dalam kemasan ketimbang melarang peredaran minyak goreng curah.
"Kami akan mengedukasi masyarakat untuk menggunakan minyak goreng secara sehat. Sudah lama kami pun mengawasi minyak goreng (curah) yang beredar harus sesuai dengan
standar mutu dan layak dikonsumsi," tutur Oke.
Adapun realisasi penyediaan 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) baru sebesar 2,3 juta liter atau 20,9 persen di 18 provinsi. Rendahnya realisasi itu terjadi karena industri minyak goreng harus menyeimbangkan produksi minyak goreng kemasan sederhana dengan premium.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Abdullah Mansuri, mengatakan pembatalan pelarangan minyak goreng curah sudah diprediksi jauh-jauh hari. Pasalnya, kata dia, konsep kebijakan tersebut belum ada titik terang dan belum selaras dengan komunikasi publiknya. "Kami setuju minyak goreng curah beredar di pasar. Hanya, pemerintah harus mengetahui siapa distributor dan produsen minyak goreng curah agar lebih mudah pengawasannya."
Selain itu, kata Abdullah, pemerintah perlu memikirkan alternatif pengganti minyak goreng curah bagi masyarakat. Menurut dia, selama ini penjualan minyak goreng curah masih diminati karena konsumen bisa membeli sesuai dengan kemampuan, misalnya membeli dalam takaran seperempat liter. "Pelaku usaha harus duduk bersama pemerintah untuk membangun strategi edukasi atau sosialisasi agar masyarakat bisa menerima itu," tuturnya.
Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, berujar bahwa sebetulnya pelaku usaha sudah lama berinvestasi mesin pengemas minyak goreng sederhana. Namun pemerintah beberapa kali menunda penerapan kewajiban kemasan minyak goreng hingga akhirnya dibatalkan. Dengan adanya pembatalan itu, Sahat menyerahkan penjualan minyak goreng ke mekanisme pasar.
"Kalau mau mengkonsumsi minyak goreng sehat dan jaminan halal, masyarakat harus membeli minyak goreng kemasan ber-SNI (Standar Nasional Indonesia)," ujarnya.
Menurut Sahat, meskipun harganya lebih murah, minyak goreng curah tidak punya jaminan halal dan memenuhi standar kesehatan serta berpotensi mengandung toksin tinggi. Karena itu, kata dia, masyarakat perlu diedukasi soal jaminan kandungan minyak goreng oleh pemerintah dan pelaku usaha.
Dalam hal ini, Sahat menambahkan,
Badan Pengawas Obat dan Makanan juga harus bertanggung jawab atas peredaran minyak goreng yang tidak sehat tersebut. "Kami sarankan pemerintah tidak berhenti dengan membatalkan kebijakan pelarangan ini karena persoalan akan timbul lebih besar lewat penyakit dari konsumsi
minyak jelantah."
Sahat berujar, pengumpulan minyak goreng bekas dari restoran, hotel, katering, dan perumahan bisa diarahkan untuk bahan baku biodiesel guna mencegah penjualan kembali menjadi minyak curah. Pemerintah bisa mendorong agar pengumpul minyak jelantah diatur regulasi agar produk mereka bisa dipakai menjadi bahan baku bio-hidrokarbon atau fatty acid methyl ester (FAME) sebagai bahan campuran biodiesel.
LARISSA HUDA