Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muliaman D. Hadad tekun mendengarkan paparan tim penyusun "Laporan 5 Tahun OJK". Di ruang kerjanya, Selasa pekan lalu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ini mengaku puas terhadap draf laporan yang akan dibukukan tersebut. "Drafnya sudah oke," kata Muliaman kepada Tempo melalui pesan WhatsApp dari Jepang, Kamis pekan lalu. "Tinggal menambahi sedikit saja, tapi tidak substansial."
Buku itu kelak akan menjadi semacam ringkasan eksekutif kepemimpinan DK OJK periode pertama. Isinya: memaparkan secara ringkas sejarah dan latar belakang pembentukan OJK hingga detail program yang sudah diselesaikan. Muliaman berharap bahan dalam buku itu bisa menjadi sumber referensi bagi para anggota Dewan Komisioner OJK yang baru. "Masih besar tantangan yang dihadapi OJK," katanya.
Pada Kamis pekan lalu, Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat memilih Wimboh Santoso sebagai Ketua Dewan Komisioner OJK. Parlemen juga telah memilih enam anggota komisioner lainnya. Ketua Komisi Keuangan Melchias Markus Mekeng mengatakan, sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas pengawasan semua perusahaan penyedia jasa keuangan, tantangan OJK semakin berat. Apalagi nilai aset dan kapitalisasi industri jasa keuangan menembus Rp 16 triliun.
Lembaga ini dibentuk sebagai amanat Undang-Undang Bank Indonesia Tahun 1999. Pembentukan lembaga ini bertujuan memisahkan fungsi otoritas moneter dan regulator bank. Salah satu penyebab krisis moneter 1997-1998 adalah lemahnya fungsi pengawasan. Satu dekade kemudian, pembentukan OJK hampir batal.
Ketika itu banyak yang menilai pembentukan OJK tidak relevan lagi. Yang menjadi rujukan adalah gelombang krisis ekonomi global pada 2008. Rupanya, kinerja pengawasan yang dilakukan OJK di negara-negara lain tidak terlalu kinclong. Pengalaman negara Eropa menunjukkan pemisahan pengawasan dari bank sentral menyulitkan manajemen krisis. Inggris dan Amerika Serikat memilih membubarkan OJK. Setelah sekian lama tertunda-tunda, melalui pro dan kontra, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disahkan pada November 2011.
Sejak OJK berdiri, bankir senior Sigit Pramono menilai, kinerja perbankan nasional membaik selama lima tahun terakhir. Dana pihak ketiga dan kredit tumbuh, meski jumlah kredit seret naik. "Artinya tidak lebih buruk," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Sejak kasus bailout Bank Century pada 2008, tak ada lagi bank sistemik yang dianggap bermasalah.
Sigit, yang gugur dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Ketua Komisioner OJK, menilai pengawasan sektor perbankan membaik karena sumber daya manusia dan metodologi pengawasan sudah membaik sejak fungsi pengawasan dilimpahkan dari Bank Indonesia. Namun kondisi berbeda dialami sektor lain, terutama industri keuangan nonbank (IKNB). Tak mengherankan bila banyak terjadi skandal asuransi yang merugikan nasabah.
Penyebab utamanya adalah struktur yang masih lemah. Undang-Undang Asuransi sebenarnya sudah memerintahkan agar dibentuk Lembaga Penjamin Polis. Namun hal itu belum terealisasi hingga saat ini.
Irvan Rahardjo, praktisi asuransi yang juga Komisaris Sompo Insurance, mengatakan lembaga ini penting untuk menjamin nasabah terhadap asuransi gagal bayar karena masalah likuiditas. Menurut dia, banyak kasus asuransi gagal bayar tapi OJK tidak melakukan apa-apa. "Padahal industri terus memberikan iuran. Tapi, saat perusahaannya ditutup, tidak ada kompensasi sedikit pun bagi nasabah," kata Irvan.
Anggota Komisi Keuangan, Kardaya Warnika, mengatakan banyak pekerjaan rumah harus dituntaskan OJK periode dua. Salah satunya mengenai investasi bodong yang masih merajalela. Ia menilai OJK lambat mengantisipasi urusan ini karena penanganannya selalu di akhir, setelah muncul korban. "Semestinya, setiap kali ada iklan investasi, intelijen OJK sudah bergerak," ujar Kardaya.
Menurut Kardaya, jumlah rumah gadai yang menjamur juga harus ditertibkan. Ia mensinyalir banyak praktik pendirian pegadaian yang tak berizin. Selain itu, OJK harus segera mengantisipasi pengaturan perusahaan startup financial technology (fintech). "Kalau dibiarkan akan berkelahi dengan bank resmi, seperti taksi versus taksi online," katanya.
Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo berpendapat peran Dewan Komisioner OJK perlu ditinjau kembali. "Kalau masih seperti sekarang, pemikirannya jadi tidak integratif karena terkotak-kotak," ujarnya. Khusus untuk perusahaan yang memiliki banyak anak usaha, ia mengusulkan adanya integrasi pungutan.
Muliaman Hadad mengatakan OJK periode kedua semestinya bisa bekerja lebih mudah. Terlebih lagi karena fundamental OJK sudah dibangun baik. "Tinggal konsolidasi organisasi harus dilanjutkan dan tugas pengawasan terus ditingkatkan," ucapnya.
Wakil Ketua DK OJK Rachmat Walujanto menambahkan, komisioner OJK periode pertama sudah membangun infrastruktur yang penting untuk mendukung pengambilan keputusan, baik internal maupun eksternal. Tujuannya meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Sistem layanan informasi keuangan (SLIK) untuk pengambilan keputusan industri keuangan, terkait dengan pembiayaan dan investasi, sudah dibangun.
Platform pertukaran data dan informasi antara OJK, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Kementerian Keuangan telah disusun. Itu sebabnya Rachmat mengklaim masa transisi dilalui OJK periode pertama dengan baik. Menurut dia, sebagai organisasi baru, OJK ikut berkontribusi menjaga stabilitas sistem keuangan. "Kami telah berupaya membangun fondasi," kata Rachmat kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Sejumlah indikator, dalam laporan lima tahun OJK, membenarkan klaim tersebut. Dibanding pada 2011, kontribusi industri jasa keuangan 2016 mencatatkan kenaikan dari 0,25 persen menjadi 0,36 persen. Aset bank umum, misalnya, selama 2012-2016 tumbuh 57,88 persen dari Rp 4.263 triliun (2012) menjadi Rp 6.730 triliun (2016).
Tingkat kesehatan bank umum periode 2012-2016 cukup terjaga, yang tecermin dari rasio kecukupan modal (CAR) dan kredit seret (NPL) yang masih dalam rentang sehat. NPL sedikit naik dari 1,85 persen (2012) menjadi 2,93 persen (2016), tapi masih aman di bawah threshold 5 persen.
Pasar modal juga tumbuh pesat, nilai kapitalisasinya menembus Rp 8.631 triliun pada Maret 2017. Pada 2012-2016, jumlah investor saham mengalami peningkatan 90,57 persen. Totalnya menjadi 535.990 investor. Pertumbuhan aset IKNB juga melejit. Pertumbuhan investasi dana pensiun, misalnya, meningkat 48,79 persen menjadi Rp 228,77 triliun. Adapun penetrasi asuransi meningkat dari 2,16 persen pada 2012 menjadi 2,61 persen tahun lalu.
Meski banyak peningkatan, Rachmat Walujanto mengakui pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi banyak yang harus disempurnakan. Pengalaman digugatnya Undang-Undang OJK dua tahun lalu menjadi pelajaran berharga. Apalagi, kata dia, parlemen akan melakukan amendemen UU OJK, UU Bank Indonesia, UU Perbankan, dan UU Lembaga Penjamin Simpanan dalam waktu dekat.
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo