Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsentrasi mengatasi masalah ekonomi. Itulah sasaran utama Presiden Joko Widodo pada masa jabatannya yang kedua. Ini jelas kabar baik. Tak cuma disampaikan saat pidato pelantikannya pada 20 Oktober lalu, prioritas itu juga Presiden tegaskan ketika berbicara dengan pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia, Juni silam. Ia bahkan dengan gagah menyatakan sudah tak punya beban untuk mengambil segala langkah yang perlu guna membenahi ekonomi.
Kini, setelah kabinet baru terbentuk, apakah komitmen prioritas pada ekonomi itu bisa berlanjut dengan kebijakan yang tepat dari para menteri baru? Sayangnya, dominasi politikus malah makin kuat terasa di kementerian-kementerian penting di bidang ekonomi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang nonpartisan, harus bahu-membahu dengan politikus Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa yang menguasai portofolio perindustrian dan perdagangan.
Menteri Koordinator Perekonomian kini malah berada di tangan politikus yang juga Ketua Umum Golkar. Memang, wewenang menteri koordinasi hanya mengkoordinasi. Namun kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, yang merupakan dapur utama pengolah kebijakan ekonomi, jelas punya peran besar menetapkan arah kebijakan. Apalagi jika ada dukungan politik presiden. Adapun Menteri Pertanian merupakan representasi Partai NasDem, juga Menteri Kehutanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan menjadi gula-gula buat Partai Gerakan Indonesia Raya untuk bergabung dengan pemerintah.
Sebetulnya, ada risiko amat besar jika portofolio ekonomi di kabinet tidak bersifat netral alias nonpartisan. Sebab, problem utama ekonomi Indonesia adalah efisiensi yang masih sangat buruk. Itu tampak pada incremental capital-output ratio (ICOR) Indonesia yang masih besar, di atas 6, jauh di atas rasio negara-negara ASEAN lain yang berada di kisaran 3-4.
Makin besar rasio ICOR, makin besar nilai investasi yang harus ditanam untuk menghasilkan setiap persen pertumbuhan. Indonesia ibarat tanah yang jauh lebih gersang dibanding tanah negara tetangga. Di sini, ada kebutuhan pupuk dan air lebih besar serta upaya lebih keras untuk menumbuhkan pohon yang sama.
Musabab rendahnya efisiensi itu adalah ekonomi biaya tinggi yang sudah mengakar di mana-mana. Ekonomi Indonesia sangat sarat terbebani berbagai rente ekonomi, keuntungan-keuntungan ekstra dan tak wajar, yang mengalir ke mereka yang punya wewenang atau kroninya. Rente itu antara lain berasal dari berbagai proses perizinan, juga kuota ekspor-impor. Ini menimbulkan ongkos tambahan yang tidak ringan bagi masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan. Dan, tak bisa disangkal, politikus punya andil besar dalam menciptakan ketidakefisienan ini. Tak sedikit politikus pula yang terjerat kasus korupsi karena permainan rente ini.
Menghilangkan inefisiensi inilah yang seharusnya menjadi prioritas. Karena tak punya beban, Presiden seharusnya berani membebaskan portofolio ekonomi dari cengkeraman partai-partai. Kalau mau pertumbuhan lebih cepat, perputaran roda ekonomi seharusnya bebas merdeka dari belitan regulasi atau berbagai tata niaga ciptaan para politikus pemburu rente.
Yang terjadi justru sebaliknya. Selain menguatnya dominasi politikus di kabinet, Presiden bersama partai-partai malah bersepakat memangkas wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tak ada lagi pengawasan serius terhadap politikus yang menciptakan inefisiensi ekonomi itu. Padahal jelas terpapar dalam hasil survei World Economic Forum (WEF) 2017, problem utama berbisnis di Indonesia adalah korupsi. Para eksekutif WEF bahkan menilai masalah korupsi jauh lebih berat dibanding soal perburuhan.
Walhasil, pasar tak bisa terlalu banyak berharap akan ada perubahan pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Beban rente ekonomi Indonesia belum akan terangkat dalam waktu dekat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo