Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan itu berlangsung di luar hiruk-pikuk perhelatan Tokyo Motor Show. Di salah satu sudut Toyota City, Aichi, tak jauh dari Nagoya, Budi Gunadi Sadikin bertemu dengan Hirohisa Kishi, Presiden Powertrain Company Toyota. Dalam persamuhan, Kamis, 24 Oktober lalu, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko PT Pertamina (Persero) Heru Setiawan ikut menemani Budi, yang ketika itu masih menjabat Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) Tbk alias Inalum. Adapun Hirohisa salah satu petinggi Toyota yang mengurusi bisnis mobil listrik perusahaan.
Dua perusahaan milik negara itu tengah merintis jalan untuk bersekutu dengan Toyota, raksasa otomotif dunia dan penguasa pasar Indonesia. Tujuannya antara lain mengamankan rantai bisnis baterai mobil listrik, juga mendiskusikan rencana mobil listrik Toyota di Indonesia. Itu sebabnya Direktur Utama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono turut hadir di sana.
Budi mengatakan pertemuan di Jepang itu baru langkah permulaan. “Lebih ke perkenalan saja,” ujarnya saat dihubungi, -Jumat, 25 Oktober lalu, sesaat sebelum ia ditunjuk menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara. Adapun Heru Setiawan tidak menjawab saat ditanyai tentang pertemuan tersebut.
Menurut Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia Bob Azam, yang menemani Warih ke Jepang, pertemuan petinggi Toyota dengan trio Pertamina-Inalum-Toyota Indonesia adalah acara kunjungan resmi untuk membicarakan perkembangan mobil listrik dunia. Bob tidak membantah kabar bahwa pembicaraan juga menyinggung rencana Toyota memproduksi mobil listrik di Indonesia. “Memang harapan pemerintah Indonesia seperti itu. Tidak hanya kepada Toyota,” kata Bob, Jumat, 25 Oktober lalu.
Satu hari sebelum pertemuan itu, Direktur Layanan Strategis Inalum Ogi Prastomiyono mengatakan bosnya memang sedang melawat ke Jepang. Perjalanan itu tindak lanjut hasil pembicaraan antara Inalum, Pertamina, dan Toyota Motor Manufacturing Indonesia sepekan sebelumnya. Senada dengan Budi, Ogi menyebutkan pertemuan tersebut baru sebatas soal melihat-lihat peluang.
Pembicaraan yang dimaksud Ogi berlangsung di kantor pusat Pertamina pada Selasa, 15 Oktober lalu. Ketika itu, Ogi bertandang ke sana menemani Budi Gunadi. Adapun Direktur Utama Toyota Motor Manufacturing Indonesia Warih Andang Tjahjono datang bersama Yui Hastoro, direktur lain. Mereka diterima Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, yang ditemani Heru Setiawan.
Pertemuan itu menghasilkan nota kesepahaman kerja sama tiga pihak. “Tapi kesepakatan ini masih pada tahap awal,” tutur Ogi setelah mengikuti acara serah-terima jabatan Menteri Badan Usaha Milik Negara di kantor Kementerian BUMN, Rabu, 23 Oktober lalu.
Namun gambaran kerja sama itu sudah terbayang di benak Ogi. Menurut dia, Inalum akan mendirikan pabrik pengolahan nikel sampai menjadi katoda baterai. Setelah itu, giliran Pertamina menyerap dan mengolahnya menjadi baterai siap pasang. Adapun Toyota akan menjadi pengguna baterai tersebut untuk mobil-mobilnya yang diproduksi di Indonesia. “Tapi sekarang baru dalam kajian studi. Proses kerja samanya masih panjang,” ucap Ogi.
Rencana Pertamina dan Inalum ikut meramaikan industri masa depan, yakni mobil listrik, mengemuka sejak beberapa waktu lalu. Pada awal September lalu, Wakil Presiden Perencanaan dan Komersial Pusat Riset dan Teknologi Pertamina Andianto Hidayat mengatakan Pertamina sudah menyiapkan US$ 80 juta untuk berinvestasi di industri baterai mobil listrik.
Pertamina, kata Andianto, telah menjalin komunikasi dengan penyuplai bahan baku baterai listrik di Morowali, Sulawesi Tengah, untuk memuluskan rencana investasi tersebut. Di Indonesia Morowali Industrial Park, Januari lalu, memang telah dilangsungkan seremoni pendirian fasilitas produksi senyawa nikel dan kobalt—bahan baku baterai—di bawah bendera PT QMB New Energy Materials.
Perusahaan patungan itu berisi raksasa produsen baterai dunia, yaitu Tsingshan Holding Group, GEM (Jingmen) New Material, dan Guangdong Brunp Recycling Technology (CATL). “Jadi nanti prosesnya bahan baku baterai untuk kendaraan listrik akan dibuat di Morowali menjadi anoda atau katoda, lalu diserahkan ke Pertamina agar menjadi baterai kendaraan listrik utuh,” tutur Andianto.
Langkah itu merupakan antisipasi bisnis masa depan energi mengingat baterai listrik berpotensi menggerus bisnis energi fosil, yang selama ini menjadi tumpuan pemasukan Pertamina. “Selain mengembangkan green fuel, Pertamina berencana mengembangkan pabrik baterai nasional,” Andianto menambahkan.
Akan halnya Inalum sudah sejak Januari lalu menyatakan akan masuk ke industri bahan baku baterai. Inalum memanfaatkan keuntungannya mengelola blok Pomalaa, salah satu tabungan nikel milik PT Aneka Tambang (Tbk), anggota induk usaha pertambangan pelat merah. Posisi Inalum makin kuat seiring dengan kesepakatan divestasi untuk mengambil 20 persen saham PT Vale Indonesia (INCO), yang mengelola dua blok nikel lain di Sorowako dan Bahodopi.
Inalum menjajaki kerja sama dengan Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited sejak Januari lalu. Huayou adalah raksasa kobalt dunia, salah satu komponen inti baterai selain nikel. Saat ini baterai mobil listrik banyak menggunakan NCM 811 dengan kandungan nikel 80 persen, kobalt 10 persen, dan mangan 10 persen.
Belakangan, menurut Ogi Prastomiyono, industrialisasi nikel tidak cukup hanya sampai bahan baku baterai. Maka Inalum bersama Pertamina memikirkan kerja sama agar keduanya bisa menggarap rantai bisnis mobil listrik dari hulu sampai hilir di dalam negeri. Apalagi pemerintah telah menargetkan 20 persen industri otomotif menggunakan energi listrik dari baterai pada 2025. “Kalau tidak ada kerja sama, nanti yang mengambil dari luar negeri. Padahal bahan bakunya ada di Indonesia,” ucap Ogi. Walhasil, tercetuslah nota kesepahaman antara Inalum, Pertamina, dan Toyota Indonesia.
Dari catatan nota kesepahaman ketiga pihak, Pertamina menghitung kapasitas pabrik baterai yang memenuhi skala ekonomis minimal 4 gigawatt. Adapun Toyota menghitung pada rentang 6-7 gigawatt. Sementara itu, belanja modal buat mewujudkan pabrik dengan kapasitas 4 gigawatt itu, menurut hitungan Pertamina, bisa mencapai US$ 400 juta atau Rp 5,6 triliun dengan kurs Rp 14 ribu.
Nicke Widyawati hanya menjawab singkat pertanyaan tentang rencana perusahaan masuk ke bisnis baterai mobil listrik, juga mengenai kerja sama dengan Inalum dan Toyota. “Ya, kami memang sedang melakukan kajian lebih lanjut dengan rekan bisnis,” kata Nicke seusai acara serah-terima jabatan Menteri BUMN pada Rabu, 23 Oktober lalu.
Adapun Bob Azam memilih irit bicara saat dimintai klarifikasi tentang nota kesepahaman yang diteken ketiga perusahaan pada Selasa, 15 Oktober lalu. Menurut dia, kesepakatan tersebut belum sampai pada komitmen bahwa Toyota menggunakan baterai yang akan diproduksi Inalum-Pertamina. “Belum sampai sejauh itu,” ujarnya.
Di sela pertemuan G20 di Jepang pada Juni lalu, Presiden Toyota Motor Corporation Akio Toyoda menemui Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Toyoda berkomitmen menambah investasi Toyota di Indonesia sebesar Rp 28,3 triliun sepanjang 2019-2023.
Toyoda juga menyatakan Toyota siap membenamkan investasi untuk kendaraan listrik di Indonesia. Namun rencana pengembangan itu bertahap melalui mobil hibrida sesuai dengan peta jalan yang mereka rintis. “Toyota menilai Indonesia pantas sebagai tujuan investasi mobil listrik karena pangsa pasar yang tinggi,” kata Toyoda seperti dikutip dari situs Kementerian Koordinator Kemaritiman. Saat ini Toyota menjalin kerja sama dengan Panasonic (Jepang) dan CATL (Cina) sebagai pemasok baterai mobil listrik.
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemegang Saham (Desember 2018)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo