Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beberapa kasus akuisisi intern

Gelombang akusisi intern dalam kelompok konglomerat tengah bergolak, tapi pemerintah belum mengeluarkan aturan main. padahal, dampaknya bisa meluas keekonomi secara makro.

18 Juli 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA pengamat ekonomi kembali mencurigai konglomerat. Masalahnya berkisar pada pengambilalihan (akuisisi) saham perusahaan konglomerat olehperusahaan lain dari konglomerat yang sama. Jual beli saham besar-besaran ini disebut juga akuisisi intern dikhawatirkan menimbulkan sejumlah distorsi,baik dalam dunia bisnis maupun terhadap ekonomi makro. Akuisisi sebenarnya bukan gejala baru di Indonesia. Hal itu sudah sering terjadi dan sah secara hukum karena berlangsung lewat jual beli saham. BahkanPemerintah dan BUMN juga acap kali terlibat. Misalnya pabrik baja canai dingin PT Cold Rolling Mills Indonesia (CRMI), yang semula saham mayoritasnya milikswasta. Setelah melalui proses agak panjang, tahun lalu saham swasta itu diakuisisi oleh PT Krakatau Steel. Sebelum ini, pada tahun 1985, Pemerintah RI (Departemen Keuangan) mengakuisisi sejumlah saham di PT Indocement. Sebaliknya, saham (BUMN) PT Semen Gresik di PT Semen Cibinong justru dibeli pengusaha swasta, HasyimDjojohadikusumo. Transaksi terjadi lewat Bursa Efek Jakarta. Dengan begitu banyak kasus akuisisi yang mendahului, mengapa kini para pakar mendadakmeributkan langkah-langkah akuisisi yang dilakukan beberapa perusahaan yang sudah go public? Masalahnya barangkali karena menyangkut PT Indocement, dengan rencana akuisisi terbesar senilai Rp 1,7 trilyun. Perpindahan dana sebesar itu memang belum pernah terjadi dalam sejarah jualbeli saham di negeri ini. Selain itu pemerintah menguasai 30% (semula 35%) saham PT Indocement, setelah Departemen Keuangan menyuntikkan dana US# 330 juta ke perusahaan itu pada Juli 1985. Setelah jatuh bangun, kini Indocement dianggap makmur hingga disusunlah rencana akuisisi Rp 1,71 trilyun terhadap tiga perusahaan yakni PT Bogasari, PT Indo Food, dan Wisma Indocement. "Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pemerintah sebagai pemegang saham 30% juga akan menanggung biayanya," kata Dr. Sjahrir dalam Temu Konsultasiyang diselenggarakan Asosiasi Emiten Indonesia di Hotel Hyatt Aryaduta Jumat pekan lalu. Dewasa ini Pemerintah memang mempunyai cadangan anggaran pembangunan sebesar Rp 3,5 trilyun lebih. Lalu pantaskah cadangan itu,misalnya, dimanfaatkan untuk Indocement? Kabarnya, untuk dana akuisisi pihak Indocement akan menjual promissory notes (surat sanggup) senilai Rp 600 milyar di luar negeri. "Sebagai pinjaman dari luar negeri, apakah hal ini tidak akan bertentangan dengan kebijakan Pemerintah yang sejak tahun lalu membatasi pinjaman komersial luar negeri?" tanya Sjahrir. Sumber-sumber yang sangat mengetahui menyatakan, saham PT Bogasari akan dibeli 100% dengan harga Rp 829 milyar. Saham Indo Food hanya diakuisisi 51% senilai Rp 777 milyar. Saham Wisma Indocement juga diakuisisi 100% dengan nilai Rp 108 milyar. Total dana yang harus disediakan Indocement adalah Rp 1,71 trilyun Rp400 milyar di antaranya dari kocek Indocement sendiri. Adapun sisanya sekitar Rp 700 milyar akan ditutup dengan pinjaman bank sebagian besar mungkindiperoleh dari BCA dan surat sanggup tersebut di atas. Terlepas dari rencana besar Indocement itu, Sjahrir menilai bahwa Pemerintah (Departemen Keuangan atau Bapepam), dalam posisinya sebagai wasit, terkesantidak cepat tanggap. Mengapa? Akuisisi oleh perusahaan di bursa sudah berlangsung sejak awal 1991 dan dilakukan oleh lebih dari 30 perusahaan. Ada akuisisi yang nilainya hanyasekitar Rp 100 juta (Bayu Buana Travel Service terhadap Bayu Buana Transportasi) hingga akuisisi yang direncanakan bernilai Rp 829 milyar Indocement terhadap Bogasari). "Yang mencengangkan, seluruh proses akuisisi itu berlangsung tanpa reaksi apa pun dari pihak Menteri Keuangan dan Bapepam," kata Sjahrir. Barubelakangan, setelah orang mulai ribut, Bapepam terdengar hendak menyusun aturan mainnya. Sjahrir khawatir, akuisisi-akuisisi oleh perusahaan publik akansemakin memperburuk citra bursa efek. Soalnya, berbagai akuisisi itu tidak dilakukan secara transparan. Misalnya, mengapa Indocement akan membeli sahamBogasari 100% sedangkan PT Indofood (yang membawahkan 9 pabrik mi) hanya 51%? Pakar yang vokal mengenai berbagi isu ekonomi maupun politik ini juga mempertanyakan apakah penilaian terhadap perusahaan-perusahaan yang hendakdiakuisisi benar-benar dilakukan oleh akuntan yang netral. Lalu apakah kepentingan para pemegang saham minoritas akan didengarkan dalam RUPS nanti."RUPS kan bersifat dekoratif," Sjahrir menandaskan. "Jika akuisisi dilakukan terhadap perusahaan yang sahamnya dimiliki pihak lain, kepentingan minoritas dapat membonceng kepentingan pemegang sahammayoritas," kata Christianto Wibisono, pengamat bursa dari PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia). Sebaliknya, akusisisi terhadap perusahaan dalam satu kelompok akan merugikan kelompok minoritas. Kelompok minoritas yang dimaksudnya adalah mereka yang telahmembeli saham di bursa dan tidak terlibat dalam manajemen. Soalnya, dewasa ini di bursa banyak saham perusahaan yang masih didominasi keluarga. Chris menudingakuisisi yang dilakukan para emiten terhadap anak perusahaan milik kelompok sebagai teknik pelenyapan agio. Agio adalah pembengkakan nilai nominal denganharga jual saham di pasar perdana. Jauh sebelum Sjahrir, Chris, dan Kwik mempersoalkan masalah akuisisi, ada seorang pengamat yang sudah lebih dulu mencurigai langkah-langkah akuisisi perusahaan publik. Pakar bursa efek E.A. Kutin, dalam suatu seminar bursa di Hotel Grand Hyatt (April 1991), sudah mengendus permainan akusisi ini. Dengan akuisisi, kata Kutin, perusahaan dalam satu grup bisa meningkatkan permodalannya sekaligus memperkuat kekuatannya untuk membuat utang. Denganakuisisi, perusahaan bisa mengeluarkan sejumlah saham baru sehingga kembali mendapat agio. Agio ini kemudian bisa dijadikan saham bonus. Ketika itu, sinyalemen Kutin masih sulit dimengerti. Tapi sebulan kemudian ternyata mulai terjadi gelombang akuisisi oleh perusahaan yang tercatat di bursa. Mula-mula PT Japfa tampil pada Mei 1991 sebagai perintis. Kemudian Cipendawa, Tigaraksa, Pudjiadi & Sons, dan seterusnya sampai pada Indocement dan LPF. Bapepam sebagai otoritas bursa ternyata kurang gesit. Baru sekitar awal tahun ini Bapepam kabarnya mulai memonitor permainan akuisisi dan menyiapkan aturanpermainan akuisisi perusahaan-perusahaan di bursa. Tapi aturan main yang ditunggu-tunggu itu belum juga keluar sampai pekan lalu. Sementara itu, rencana akuisisi Indocement tinggal menunggu rapat umum pemegang saham (RUPS) yang direncanakan 28 Juli depan. Sedangkan Lippo PacificFinance (LPF) masih menunggu persetujuan RUPS tengah Agustus mendatang (lihat:Lippo, Akuisisi, Mochtar Ryadi). Kendati masih harus menunggu, dampaknya sudahterlihat di bursa. Ketika LPF mengumumkan rencananya, harga saham LPF di bursa naik dua kali lipat. Terkesan ada insider trading (perdagangan saham denganbocoran informasi lebih dulu). Rencana LPF itu baru disiarkan Senin 25 Mei 1992. Tapi seminggu menjelang keluarnya pengumuman, harga saham LPF yang tadinya Rp 4.750 melonjak naik sampai Rp 6.100 pada 21 Mei 1992. Sejak 25 Mei hingga sekarang harga saham LPFtetap bertahan di sekitar Rp 8.000 per lembar. Kenaikan harga sampai 68% itu barangkali agak berlebihan. Mudah-mudahan harga Rp 8.000 bukan sengaja didongkrak. Maklum, LPF berencana melakukan rightssue, yakni penjualan saham baru yang terbatas pada pemegang saham lama. Harga saham right issue biasanya di bawah harga pasar. Begitu saham-saham rightissue beredar, dia akan menghancurkan harga pasar. Apalagi LPF berniat membagi dua saham bonus untuk setiap lembar saham. Saham gratis ini jika beredar nanti akan merupakan penghancur harga pasar yang ganas. Selain itu saham-saham bonus ini juga sama sekali tidak akan memberikan tambahan modal untuk memperkuat perusahaan. Dari seluruh right issue LPF, transaksi diperkirakan hampir Rp 260 milyar. Rencana akuisisi itu mungkin tidak akan mendapatkan hambatan dari Pemerintahmaupun RUPS. Tapi akusisi LPF belum tentu akan meningkatkan laba dan dividen bagi para pemegang saham LPF tahun ini juga. Masalahnya, LPF sudah go public,berarti ada saham masyarakat di situ. Saham-saham yang dijual dengan right issue, karena harganya miring, selalu merusak pasar. Praktis nilai sahamsaham di bursa akan mengalami semacam devaluasi atau dilluted. Secara makro, sahamsaham bonus serta right issue akan menimbulkan dampak moneter. Sebab perusahaan-perusahaan akan lebih mudah menyedot dana besar, baik dari masyarakat penabung langsung maupun dari kredit perbankan. Bukan tidak mungkin, akuisisi intern dalam perusahaan konglomerat juga akan berdampak politis. Mereka mungkin tidak akan memonopoli. Tapi daya sedot kreditnya akan luar biasa sementara bankbank masih juga belum bisa memenuhi ketentuan 20% kredit untuk pengusaha golongan ekonomi lemah. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus