SELAIN Indocement, Grup Lippo paling banyak disorot sehubungan dengan masalah akuisisi. Direktur PDBI Christianto Wibisono dalam makalahnya pada sebuah diskusi Jumat pekan lalu di Hotel Aryaduta, Jakarta menyatakan bahwa Grup Lippo berada pada peringkat ketiga karena merencanakan akuisisi terhadap 6 anak perusahaan saja, sedangkan Japfa nomor dua dengan akuisisi terhadap 8 anak perusahaan. Akuisisi terbesar tentu saja dilakukan oleh PT Indocement yang dalam waktu dekat akan merangkul 12 perusahaan, seluruhnya bernilai Rp 1,72 trilyun.Berbeda dengan Indocement yang tidak bisa sepenuhnya dikatakan melakukan akuisisi dalam grup, Lippo Pacific Finance (LPF) tak pelak lagi "membeli" sendiri anak-anak perusahaan yang bernaung dalam kelompok mereka. Tentang ini Christianto, kendati tidak eksplisit menyebut Lippo, tapi agak tajam mengulang "tantangan" ekonom Kwik Kian Gie yang bertanya apakah dalamakuisisi itu, nilai yang dibayar benar-benar wajar. Apalagi lima dari enam anak perusahaan Grup Lippo yang diakuisisi itu seluruhnya sudah go public. Tak terlalu gegabah agaknya, bila LPF sebagai pembeli dicurigai memakai uang masyarakat untuk membayar ambil alih (akuisisi) enam anak perusahaan kepada LPF, yang notabene adalah juga penjual. Singkatnya, LPF membeli kepada LPF, tapi uang pembayarnya belum tentu berasal dari kocek sendiri. Ini agak rumit memang. Akuisisi tersebut sudah diputuskan pada RUPS 26 Juni lalu. Dalam buku setebal lebih dari 90 halaman yang antara lain berisi laporan keaungan LPF, diutarakanbahwa principal share holder (pemilik 77,9% saham sebelum akuisisi) abstain untuk memutuskan langkah akuisisi itu. Sementara itu, pemegang saham minoritas menyetujui LPF mengakuisisi 51% saham Lippo Bank, 51% saham Lippo Life, 100% saham Orient Pride Leasing, 49% saham Lippo Land, 49% saham Multipolar, dan 49% saham Lippo Industries. Kabarnya, para pemilik saham minoritas setuju, karena harga saham sudah dikorting 10 25% (dari harga ratarata 26 April sampai 26 Juni 1992). Memang izin akuisisi intern Grup Lippo ini belum dikeluarkan oleh Bapepam, tapi masyarakat memperoleh kesan bahwa realisasinya sudah terjadi. Lebih dari itu, tinjauan Kwik Kian Gie tentang kasus akuisisi Lippo cenderung menyimpulkanbahwa pemegang saham minoritas Lippo (22,1%) akan dirugikan. Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa biaya untuk akuisisi, Rp 257,3 milyar, diambil melalui right issue atau penjualan saham baru lewat bursa. Dalam beberapa tulisannya khusus tentang Lippo, Kwik Kian Gie menyimpulkan bahwa right issue adalah pemaksaan tersirat terhadap pemegang saham minoritas untuk menyerahkan hak membeli saham baru itu kepada pemegang saham mayoritas. Dan pemilik minoritas umumnya akan pasif, artinya tidak membeli saham baru. Dengan demikian, Lippo Group sebagai pemegang saham mayoritas terdiri dari Lippo Asia Ltd.(Hongkong), PT Lippo Asia Jakarta, Crest Finance Limited (Cook Islands), PT Lippo Bank, dan Minny Riady akan mengukuhkan kepemilikannya. Apalagi kalau right issue itu harganya lebih rendah dari harga pasar. Menurut Kwik, laba bersih per saham setelah akuisisi nanti mengecil (Rp 221,75) dibandingkan sebelumnya (per Desember 1991, Rp 549,87). Dasar hitungannya, laba perusahaan (1991) Rp 28,4996 milyar. Ini karena setelahmuncul saham bonus (2x) dan right issue (4x), jumlah saham yang semula 8.586.000 lembar menjadi 128.520.000 lembar. Dengan transaksi itu, komplitlah kerugian pemegang saham minoritas. Pihak Grup Lippo yang berada dalam posisi "dicurigai", sebegitu jauh tidak berkomentar sedikit pun mengenai pendapat Kwik. Tapi seorang pengamat bursa menduga bahwa kalkulasi Kwik agak meleset, misalnya, tentang hitungan laba bersih yang diterima pemilik saham. Dengan saham bonus (2x), pemilik satu saham akan mendapatkan dua saham lagi (gratis). Berarti ia memiliki tigalembar saham. Maka, laba yang diperolehnya akan menjadi 3 x Rp 221,75 atau Rp 665,25 jadi lebih besar dari perolehan laba yang diterima sebelumnya (Rp 549,87). Kecuali itu, LPF, yang diasumsikan berbekal niat baik, tidak ada salahnya mengemukakan untungrugi yang akan diperoleh pemilik saham minoritas bila ia menggunakan hak beli right issue atau bila ia tidak menggunakan hak itu. Hal ini antara lain bisa diukur dari harga per sahamnya. Kalau memang harganya jauh lebih murah dibanding dengan harga pasar dan ternyata pemilik saham minoritas melepaskan haknya, LPF bisa dianggap memperolah dana untuk akusisi dengan biaya murah. Alternatif untuk lepas dari tuduhan itu adalah dengan menjual saham right issue berharga tinggi. Katakanlah perkiraan harga per saham di pasar (setelah akuisisi) Rp 4.516. Laba rugi bagi yang menggunakan hak beli dan yang melepaskan hak itu, bisa terlihat dalam diagram yang melengkapi tulisan ini. Kendati pergunjingan terus merebak, tapi pihak Lippo lebih suka tutup mulut. "Kami menghindari urusan akuisisi ini menjadi bahan polemik," kata Managing Director Lippo Group, Roy Tirtadji. "Kita lihat bersama pada saat right issue nanti, apa kemungkinan yang terjadi." Dari situ juga akan kelihatan, sejauh mana bukti niat baik perintis Grup Lippo, Mochtar Riady. Dulu bankir bertangan dingin ini bertekad mengalihkan kepemilikan sebagian perusahannya ke masyarakat. Tekad ini dibuktikannya dengan melepas saham beberapa anak perusahaan Lippo ke masyarakat, lewat BursaEffek Jakarta. Namun, yang akan terjadi setelah akusisi, justru sebaliknya. Berbagai perusahaan itu akan lebih dikuasai oleh keluarga dan kelompoknya sendiri. Lebih buruk lagi, kali ini dengan memanfaatkan dana murah darimasyarakat. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini