Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakaian bekas impor makin deras menyerbu sampai ke pelosok negeri. Tak cuma dijual di pasar dan toko, barang buangan itu mulai merambah ke mal, bahkan dijajakan secara online. Meski mengharamkan impornya dengan alasan mengganggu industri tekstil lokal dan "kurang bermartabat" bagi konsumen kita, pemerintah mengaku kerepotan memberantas peredaran dan jual-beli komoditas sisa negeri orang itu. "Perlu perangkat hukum lebih kuat," kata Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo saat ditemui di kantornya, Senin lalu.
Bagaimana Kementerian Perdagangan mengidentifikasi peredaran baju bekas di Indonesia?
Peredaran baju bekas memang ada di beberapa kota besar. Tidak semua.
Ini barang ilegal, tapi mereka sampai membentuk pasar sendiri. Bagaimana bisa terjadi?
Tidak tepat juga jika disebut sebagai pasar. Semisal di Jakarta, Pasar Senen itu kan pasar umum, bukan pasar baju bekas. Jadi orang per orang saja yang jualan di situ. Kebetulan mereka berkelompok.
Bagaimana mereka bisa sampai masuk mal?
Betul, ada di beberapa tempat. Kami sudah menyurati pengelolanya. Kami minta mereka melarang penjualan pakaian bekas itu di mal mereka.
Pakaian bekas juga ditawarkan secara online. Apa ini sudah terpantau?
Sudah. Di antaranya di Bandung ada tiga tempat, di Depok dua, di Surabaya juga ada. Tapi, saat kami datangi, ternyata alamatnya palsu. Sudah kami telusuri web-web itu. Kami ingin merunut rantai pasokan sampai ketemu siapa importirnya, tapi ternyata sulit. Mereka beli putus. Modus penjualannya hanya melalui telepon. Jadi sementara ini kami belum mendapat titik terang.
Kenapa sulit sekali menindak penjual pakaian bekas ini?
Sebab, menurut Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 642 Tahun 2002, yang dilarang adalah kegiatan impornya. Ihwal hal ini, Bea-Cukai sudah berupaya dan banyak menangkap penyelundup baju bekas di laut ataupun area kepabeanan. Tapi, begitu masuk wilayah Indonesia, belum ada payung hukum sehingga kami belum bisa serta-merta menindak penjual pakaian bekas ini.
Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, sebenarnya disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan pembatasan atau larangan perdagangan barang tertentu. Sanksinya pidana maksimal lima tahun dan/atau denda maksimal Rp 5 miliar. Tapi penetapan barang apa saja yang dilarang atau dibatasi itu harus diatur dulu dalam peraturan presiden dan didetailkan dalam peraturan menteri. Ini yang sedang dalam proses pembahasan.
Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga tidak bisa dijerat?
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga belum diatur secara rinci. Mungkin saat itu impor pakaian bekas belum marak. Sementara ini, asalkan tidak ada unsur penipuan, artinya jika penjual dan pembeli sama-sama sadar bertransaksi baju bekas, tidak jadi masalah.
Selama belum ada payung hukum, apa yang bisa dilakukan Kementerian Perdagangan?
Kami terus melakukan upaya sosialisasi. Kami juga meminta dinas-dinas di daerah bergerak. Ribuan pamflet kami cetak untuk menjelaskan kepada masyarakat soal bahaya baju bekas; meski murah, baju-baju itu tidak sehat, banyak bakterinya.
Selain itu, kami berbicara dengan asosiasi dan para pelaku usaha agar mereka turut berupaya mengisi pasar pakaian bekas ini. Saya kira cukup efektif. Di bazar-bazar itu pakaian baru dijual sekitar Rp 20 ribu. Ini lebih baik dibanding membeli baju bekas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo