Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUTIA Ramadhani mengerutkan dahi setelah membaca kilasan berita dari aplikasi berita online yang ada di telepon selulernya. Senin akhir Juni lalu, perempuan 28 tahun ini terheran-heran terhadap rencana pemerintah yang tiba-tiba akan memungut bea meterai untuk setiap transaksi retail minimal Rp 250 ribu mulai Juli 2015.
Merasa kesal karena bakal terkena imbas, ibu rumah tangga ini buru-buru mencuit di salah satu akun media sosialnya. Ia menulis, "Hobi banget pemerintah porotin rakyat, khususnya ibu rumah tangga.... Konsumen yang menanggung akibatnya...." Kepada Tempo, Kamis pekan lalu, dia kembali menyampaikan keluhannya. "Bagaimana tidak kesal, di supermarket kami sudah kena PPN (pajak pertambahan nilai) 10 persen."
Kabar mengenai rencana penarikan pajak bea meterai untuk sektor retail ini berembus sejak Maret lalu. Besaran tarif segel itu direncanakan Rp 10 ribu untuk pembelanjaan di atas Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta. Selanjutnya, untuk nilai transaksi eceran di atas Rp 1 juta akan dikenakan bea meterai Rp 18 ribu.
Waktu itu Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mengatakan pembahasan tentang perluasan obyek pengenaan dan kenaikan tarif bea meterai akan rampung sebelum Juni tahun ini. Artinya, penerapannya akan dilaksanakan segera pada awal Juli.
Tapi arah angin mendadak berubah. Belum juga niat dilaksanakan, pemerintah tiba-tiba mengumumkan pembatalan. Dalam konferensi pers yang digelar pada Rabu pekan lalu, Sigit menyatakan rencana itu tak jadi dijalankan dalam waktu dekat. "Tahun ini tidak ada kenaikan bea meterai," katanya.
Sigit juga merevisi rancangan yang telanjur beredar, yakni penerapan tarif baru menjadi Rp 10 ribu dan Rp 18 ribu. Menurut dia, Kementerian Keuangan hanya mengusulkan peniadaan tarif meterai Rp 3.000 dan mengusulkan bea meterai Rp 10 ribu sebagai tarif tunggal, yang bakal masuk dalam revisi Undang-Undang Bea Meterai. Revisi aturan tersebut masuk Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2015.
Toh, keputusan pemerintah tak cukup melegakan masyarakat. Mutia, misalnya, masih khawatir kali ini penguasa hanya memberi harapan palsu. Kelak, jika aturan tetap berlaku, ia sudah menyiapkan cara mengakalinya: membagi dua transaksi belanja agar nominalnya di bawah angka yang dikenai kewajiban bayar meterai. "Kalau enggak, saya ajak suami saja setiap kali berbelanja. Dia beli sekeranjang, saya sekeranjang."
USUL memungut bea segel dalam transaksi retail diajukan lantaran penyesuaian tarif meterai sudah lama tak dilakukan. "Sudah 15 tahun sejak penyesuaian harga terakhir. Tarifnya sudah tidak pas lagi," kata Sigit Priadi kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Pemerintah mengungkapkan kondisi perekonomian negara sudah berbeda. Nilai rupiah pun sudah jauh berubah.
Dengan target penerimaan pajak yang naik 30 persen lebih dari tahun sebelumnya menjadi Rp 1.296 triliun, pemerintah dituntut lebih kreatif menggali potensi penerimaan.
Dalam catatan tahun lalu saja, penerimaan negara dari bea meterai dengan tarif "normal" bisa mencapai Rp 1,2 triliun. Jika rencana kenaikan tarif berjalan mulus, ada harapan pendapatan dari sini bisa digenjot hingga dua kali lipat mencapai Rp 2,5 triliun.
Agar niat tercapai, pemerintah mula-mula mengusulkan kenaikan besaran tarif hingga enam kali lipat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Artinya, tanda segel dokumen yang selama ini diterbitkan senilai Rp 3.000 dan Rp 6.000 bakal berubah masing-masing menjadi Rp 10 ribu dan Rp 18 ribu untuk dokumen dengan nilai tertentu. Kemudian pemerintah mengusulkan perluasan obyek transaksi hingga ke sektor eceran.
Persoalannya, ketentuan itu tak jelas-jelas menyebut sektor retail sebagai obyek transaksi meterai. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Mekar Satria Utama, mengatakan dalam Undang-Undang Nomor 13 itu hanya disebutkan bahwa semua dokumen senilai Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta bisa dikenai meterai Rp 3.000. "Itu mekanismenya sudah ada, hanya belum diterapkan karena berhati-hati menyangkut masyarakat luas," ujar Mekar.
Awalnya, dalam usul aturan baru, pemerintah masih menggunakan besaran nilai minimal Rp 250 ribu itu sebagai batas nilai transaksi yang akan dikenai biaya meterai. Namun reaksi negatif dan penolakan yang luas membuat Kementerian Keuangan berpikir ulang. Selanjutnya, dalam rencana revisi Undang-Undang Bea Meterai yang masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, mereka mengoreksi besaran minimal transaksi retail yang bakal dikenai kewajiban meterai. Nilainya diubah menjadi minimal Rp 5 juta, dengan tarif tunggal Rp 10 ribu. "Jadi tidak perlu khawatir. Aturan ini akan kena bagi konsumen yang membeli alat elektronik. Untuk produk itu, tanda pembeliannya pasti disimpan, kan?" ujar Mekar.
Jadwal persidangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas usul ini baru akan digelar pada September mendatang dan ditargetkan rampung pada November. Dengan menghitung waktu sosialisasi dan pencetakan meterai yang baru, ada kemungkinan implementasinya paling cepat tahun depan.
Meski pelaksanaan masih lama dan ada perubahan plafon minimal, rencana pemerintah ini tetap menuai penolakan. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Nicolas Mandey mengatakan pemungutan pajak eceran melalui bea meterai tetap kurang tepat. Apalagi kondisi perekonomian saat ini tengah melambat. "Kinerja retail saat ini sedang menurun, selain karena kondisi ekonomi dan nilai tukar rupiah. Kebijakan ini sedikit-banyak bakal mempengaruhi kami," ujarnya.
Bahkan Roy sudah mengoreksi target pertumbuhan retail sepanjang tahun ini menjadi Rp 165 triliun dari target awal Rp 184 triliun. Koreksi dibuat menyusul realisasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada empat bulan pertama lalu yang hanya 4,7 persen, akibat daya beli masyarakat yang terus turun.
Ayu Prima Sandi, Robby Irfani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo