Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA ratus orang undangan memperhatikan empat layar lebar di ruang dalam Istana Negara Jakarta, Kamis pekan lalu. Tayangan begitu memukau, potret Indonesia yang terus berubah. Pada 2030, Indonesia digambarkan sebagai negara maju.
Yang punya ”mimpi” itu adalah Yayasan Indonesia Forum (YIF), lembaga kajian nirlaba yang didirikan sesepuh dan pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada 1991. Yayasan sendiri sudah melakukan kajian ini sejak Januari lalu. Chairul Tanjung, bos Trans TV dan Ketua Yayasan, kemudian melobi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak dua pekan lalu. YIF pun tampil di Istana.
Pengusaha Chairul Tanjung tampil sebagai presenter. Dia menyatakan, ada empat pencapaian besar bangsa Indonesia 23 mendatang. Pertama, Indonesia masuk jajaran lima besar kekuatan ekonomi dunia setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pendapat_an per kapitanya US$ 18 ribu per tahun atau sekitar Rp 164 juta. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk 500 perusahaan besar dunia. Ketiga, penge_lolaan kekayaan alam berkelanjutan. Dan, kualitas hidup masyarakat modern yang merata.
Menurut Chairul, target itu bisa tercapai dengan asumsi ekonomi tumbuh rata-rata 7,62 persen (sekarang 5-6 persen), laju inflasi 4,95 persen. Prediksinya, pada 2030, penduduk Indonesia 285 juta jiwa—saat ini sekitar 220 juta jiwa. Produk domestik bruto US$ 5,1 triliun atau sekitar Rp 46.500 triliun—naik 14 kali lipat dibandingkan tahun 2006. Luar biasa....
Syaratnya, kebijakan ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan birokrasi efektif. Pembangunan berbasis sumber daya alam, manusia, modal, dan teknologi bermutu dan berkelanjutan. Perekonomian terintegrasi dengan kawasan dan global. ”Juga perlu sinergi tiga kelompok: birokrasi, wirausaha, pekerja,” ujar Chairul.
Presentasi selesai dalam 30 menit. Lalu Presiden memberikan sambutan. Salah satu yang terucap, ”Jangan malu bermimpi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mewujudkan mimpinya.” Selain berani bermimpi, seperti kata Dekan Fakultas Ekonomi UI yang juga anggota YIF, Bambang Brojonegoro, Indonesia juga harus belajar dari kesalahan masa lalu.
Pada 1972, Ali Moertopo, Menteri Penerangan di era Presiden Soeharto, pernah mencanangkan Akselerasi Pembangunan 25 Tahun. Pada akhir kurun itu Indonesia ditargetkan menyamai Jepang. Strategi yang ditempuh adalah trilogi pembangunan: stabilitas keamanan, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan.
Pada 1988, Menteri Perdagangan Arifin Siregar memunculkan konsep Indonesia Incorporated, yaitu mempererat kerja sama pemerintah dan pengusaha. Perekonomian berorientasi ekspor. Pada masa itu, dunia dicengangkan keajaiban pertumbuhan ekonomi Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong, mengalahkan Jepang. ”Empat Macan Asia” sukses menerapkan incorporated tersebut.
Apa yang terjadi kemudian? Visi Ali Moertopo menjadi ”kenyataan”, Indonesia benar-benar seperti Jepang: dalam soal kredit macet. Belum sempat jadi ”anak macan”, perekonomian Indonesia remuk-redam diterpa krisis 1997. Banyak ekonom bilang, itu karena fondasi ekonomi Indonesia rapuh. ”Kekuasaan 32 tahun Orde Baru tak membuat rakyat sejahtera,” ujar ekonom UGM, Revrisond Baswir.
Seperti kata ekonom Chatib Basri, bangsa ini memang perlu memancangkan cita-cita, seperti Malaysia dengan Visi 2020 atau Cina dan India yang ingin menjadi raksasa ekonomi dunia pada 2030.
Namun, bagi Iman Sugema, ekonom Indonesia Bangkit, visi itu benar-benar mimpi. Mengacu pada pertumbuhan ekonomi saat ini yang 5-6 persen, prediksi 2030 terlalu muluk. ”Percuma diperdebatkan,” katanya. Revrisond malah khawatir itu hanya alat melegitimasi kebijakan liberal untuk menggusur ekonomi rakyat. ”Posisi 2030 tidak penting, jika ekonomi dikuasai segelintir orang. Yang penting, orang miskin dan pengangguran dikurangi.”
Bermimpi perlu. Tapi bersih dari korupsi dan hukum yang tegak dua ciri negara majuperlu diusahakan lebih dulu. Sejak sekarang.
Heri Susanto, Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo