Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berangkat dari Emper

Bermodal Rp 16 ribu, usahanya kini beromzet Rp 2 miliar setahun. Belajar di laboratorium pasar.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA tiba di Malang hampir tiga dasawarsa silam, Fahmi Saguanto bukan apa-apa. Datang dari Sumenep, Madura, ia cuma berbekal ijazah pendidikan guru agama atas. Ternyata, di kota terbesar kedua di Jawa Timur itu, ia justru tidak mengajar di depan kelas. Di kios pamannya, Suhudi, di Pasar Besar, Saguanto bertugas memoles sepatu bekas ABRI menjadi "baru" agar bisa dijual dengan harga lebih mahal. Dua tahun Saguanto "berguru" pada pamannya. Pada 1977, ia memberanikan diri membuka usaha sendiri. Dengan modal Rp 16 ribu yang dipinjam dari kakaknya, ia membeli 16 pasang sepatu bekas tentara. Ia lalu membuka "gerai" di emper toko di Pasar Besar. Setahun kemudian, ia sudah mampu menyewa kios sendiri. Jualannya pun tak lagi sekadar sepatu, tapi meluas ke berbagai atribut militer: lencana, sabuk, topi, pakaian seragam. Barang bekas pun tak lagi dijadikan andalan. Saguanto mengambil barang dari Tulungagung, yang ketika itu beken sebagai salah satu sentra produksi atribut tentara. Barang-barang itu tak langsung dibawanya ke Malang. Saguanto menikung dulu ke Bandung, Jawa Barat, karena pasar di sana lebih besar. Hasil penjualan kembali dibelikannya barang dalam jumlah lebih besar, begitu seterusnya. Kini Saguanto satu-satunya penjual atribut militer di Malang dengan kios yang beranak-pinak sampai 21 unit. Ketika Pasar Besar Malang direnovasi pada 1990, ia memulai usaha konveksi dan membuka toko perlengkapan militer di luar pasar. "Tidak mungkin pembesar tentara blusukan (keluar-masuk) di pasar," tuturnya. Ia mulai dengan tiga mesin jahit dan mesin bordir, enam karyawan, dan khusus membuat topi. Kini, Saguanto memiliki 80 mesin jahit, dua mesin bordir otomatis, dan 100 karyawan. Tokonya, yang berlantai tiga, disulap menjadi pabrik sekaligus ruang pamer. Pesanan dari instansi militer pun makin lancar. Bahkan Tentara Diraja Malaysia dan militer Singapura tergoda oleh produk Saguanto. Tatkala Indonesia menjadi tuan rumah latihan gabungan militer di Pulau Natuna, beberapa tahun lalu, para petinggi militernya mengenakan seragam karya Saguanto. Kendati usaha sudah besar, Saguanto tetap melayani pembeli eceran. Dia bahkan masih mengukur sendiri baju pembelinya. Di antara konsumennya terdapat—nah!—Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu. Dengan bangga, Saguanto memajang fotonya sedang memegang baju dengan nama dada "Ryamizard" dalam ukuran lumayan besar di dinding tokonya. Apa gerangan rahasia suksesnya? "Ketelitian dan kesempurnaan," ujarnya. Topi, misalnya, dibuat pas dengan ukuran kepala pemesan. Bahan dipilih seringan mungkin untuk menghindari rasa pusing ketika dipakai. Jahitannya pun tak boleh berkerut barang sedikit. Demikian juga baju. Harus dijahit pas ukuran tubuh, dengan memperhatikan komposisi panjang lengan, badan, saku, dan kerah. Hanya dengan cara itu, katanya, perusahaannya berhasil mempertahankan pelanggan. Padahal, dilihat dari harganya, produk Saguanto tak bisa dibilang murah. Harga baju militer, misalnya, berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 3 juta. Tak puas hanya memproduksi baju militer, Saguanto melakukan diversifikasi usaha dengan membuat baju muslim. Omzetnya kini mencapai Rp 2 miliar per tahun. Bersama anak sulungnya, Taufiq Sholeh—buah perkawinannya dengan Solihah—Saguanto mendirikan Saguanto Entrepreneurship & Education Centre (SEEC). Lewat "sekolah" yang dibuka tahun lalu itu, ia hendak menularkan jiwa kewirausahaannya. Dia pun memberikan kios-kios miliknya kepada saudara-saudaranya sebagai bekal wirausaha. "Pasar adalah laboratorium riil, tempat mereka yang sedang belajar," tuturnya seraya masuk ke mobil Baby Benz yang biasa mengantarnya kian kemari. M. Taufiqurohman, Bibin Bintariadi (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus