Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KBC Hadang Tanker Pertamina

Jalan Pertamina melego dua tanker raksasanya terus mendapat ganjalan. Semula Serikat Pekerja Pertamina menolak rencana penjualan itu dan mengajukannya ke Komite Pemberantasan Korupsi lantaran dicurigai berbau korupsi. Kini rencana melego dua tanker berbobot mati 260 ribu ton terbentur masalah lama yang terus menggerogoti Pertamina: Karaha Bodas Company (KBC).

Lawan Pertamina di proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Karaha di Garut itu secara terbuka mengumumkan akan menyita seluruh aset Pertamina di luar negeri, termasuk dua tanker yang sedang dibangun di Korea Selatan. Menurut sumber Koran Tempo, pekan lalu KBC mengajukan permohonan ke pengadilan Korea Selatan, yang isinya meminta agar dua tanker yang masih dalam proses tender itu disita.

Padahal rencananya Pertamina, Jumat pekan lalu, secara resmi menyerahkan satu unit tankernya ke Frontline Ltd., sebagai pemenang tender. Satu lagi akan diserahkan pada September mendatang.

Sengketa KBC dengan Pertamina memang belum tamat hingga kini. Awalnya, Arbitrase Internasional memenangkan gugatan KBC pada tahun 2000, yang menghukum Pertamina membayar ganti rugi US$ 261 juta—kini bertambah jadi US$ 294 juta. Namun Pertamina menolak keputusan tersebut dan melakukan upaya hukum di pengadilan Amerika Serikat dan Indonesia. Hingga kini proses pengadilan itu masih bergulir.

IMF Usul Pemerintah Lepas Bank

Pemerintah kelihatannya segera melepas status "juragan" di bank-bank pelat merah. Kepemilikan saham pemerintah di Bank Mandiri dan BNI, misalnya, akan dikurangi secara teratur. Posisi sebagai pemilik saham mayoritas pun tak lagi disandang pemerintah. Adalah Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyampaikan usul itu kepada pemerintah.

Kepala Perwakilan IMF untuk Indonesia, David Nellor, pada Rabu lalu menjelaskan bahwa kepemilikan saham pemerintah di dua bank terbesar di Tanah Air itu menimbulkan inefisiensi. Lagi pula pemerintah juga berpotensi menanggung berbagai kewajiban jika persoalan mendera kedua bank itu. Saat ini jumlah saham pemerintah di Bank Mandiri 70 persen, sedangkan di BNI pemerintah menguasai saham hampir 100 persen. Di bank yang berlogo perahu layar itu pemerintah berencana menjual saham 30 persen.

Menariknya, Bank Indonesia (BI) sendiri sependapat atas usul IMF itu. Menurut Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, kepemilikan saham pemerintah di bank-bank yang terlalu dominan bisa merugikan pemerintah sendiri. "Pemerintah dalam situasi yang tidak nyaman karena hampir semua risiko yang terjadi di bank berpulang kepada pemerintah," ujarnya. Burhanuddin sendiri mengakui usul itu sudah lama disampaikan oleh IMF.

Drama Divestasi KPC Berlanjut

Inilah drama divestasi yang tak kunjung usai. Program penjualan saham (divestasi) PT Kaltim Prima Coal (KPC) ke pihak Indonesia masih terus bergulir hingga kini. Sekarang drama itu mungkin akan semakin panjang eposidenya karena perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia itu mengajukan nilai baru perusahaannya. Nilainya pun tak tanggung-tanggung, US$ 1,987 miliar. Padahal patokan harga 100 persen saham KPC yang disepakati dengan pemerintah di awal program divestasi hanya US$ 822 juta.

Nilai baru KPC tersebut terungkap dalam surat Presiden Direktur KPC, Ari S. Hudaya, kepada Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, No. 135 tertanggal 30 Juni 2004. Sayangnya, Ari tidak menjelaskan pertimbangan atau alasan tertentu yang melahirkan angka US$ 1,987 miliar. Karena itu pemerintah langsung meminta klarifikasi atas nilai KPC yang dinyatakan secara sepihak itu.

Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Simon Sembiring memastikan harga baru yang diusulkan KPC bukan merupakan harga akhir. Harga itu masih bisa berubah. "Pemerintah akan melakukan evaluasi atas harga tersebut," kata Simon. KPC mempunyai kewajiban program divestasi ke pihak Indonesia 51 persen. Sebanyak 18,6 persen sudah didivestasi ke pemerintah Kabupaten Kutai Timur senilai US$ 104 juta. Jadi masih ada kewajiban divestasi 32,4 persen.

Larangan Impor Beras Diperpanjang

Indonesia mulai mengurangi sedikit demi sedikit kebutuhan impor pangan, salah satunya beras. Rencananya, pemerintah akan memperpanjang kebijakan larangan impor beras hingga Agustus mendatang. Semula kebijakan itu habis pada akhir bulan ini.

Menurut Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Jafar Hafsah, saat ini stok beras di Perum Bulog hampir 1,9 juta ton. Adapun stok di masyarakat sendiri sekitar 5 juta ton. "Dengan perhitungan konsumsi beras masyarakat 2,5 juta ton per bulan, stok saat ini masih mampu mencukupi kebutuhan konsumsi sampai dua bulan ke depan," kata Jafar kepada pers, Rabu pekan lalu.

Departemen Pertanian sendiri menargetkan pada tahun ini produksi padi nasional 53 juta ton—jika iklim mendukung bisa mencapai 54 juta ton. Jumlah itu sedikit di bawah angka ramalan produksi beras yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik sebesar 53,67 juta ton. Pemerintah cukup yakin Indonesia mampu mencapai swasembada pangan seperti dulu.

Produsen Gas Lirik Pasar Domestik

Produsen gas Indonesia mulai menggarap serius pasar domestik. Jumat pekan lalu, sejumlah produsen gas menandatangani 17 kesepakatan jual-beli gas untuk pasar domestik di Bali. Total volume yang dijual mencapai 1,7 triliun kaki kubik senilai US$ 4,3 miliar. Para penanda tangan kesepakatan itu antara lain PT PLN dengan Kalila Operator Pty. Ltd. untuk pembangkit di Pekanbaru, PT Pembangkitan Jawa Bali, anak perusahaan PLN, dengan JOB Pertamina-Medco Energy Pty. Ltd. untuk pembangkit di Madura. Pembeli lainnya adalah PT PGN, yang membeli gas dari ConocoPhillips Ltd., dan Kodeco Energy Co. Ltd., dengan konsumen industri di Batam, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Kepala Badan Pengelola Migas, Rachmat Sudibyo, mengatakan bahwa sebagian besar pembeli berasal dari sektor pembangkit listrik dan industri. Pemanfaatan lebih banyak gas alam untuk kedua sektor itu diharapkan bisa menekan konsumsi BBM, yang belakangan ini terus bertambah. Dengan begitu, beban subsidi negara akan makin ringan. "Kesepakatan ini juga membantu PLN mengatasi krisis listrik tanpa harus menaikkan konsumsi BBM," kata Rahmat.

BP Minta Fasilitas Lagi

Perusahaan gas BP Indonesia kembali meminta fasilitas kepada pemerintah Indonesia. Kali ini perusahaan internasional yang tengah menggarap proyek pengembangan gas alam cair di Teluk Berau-Bintuni, Papua, itu meminta fasilitas first tranche petroleum (FTP) tidak dibayarkan pada awal proyek. Padahal, ketentuannya, FTP harus dibayarkan di muka kepada pemerintah sebagai jaminan pendapatan pemerintah dari suatu proyek migas.

Juru bicara BP Indonesia, Jacob Kastanja, menjelaskan bahwa perusahaannya memang mengajukan permintaan, khususnya mengenai pengenaan FTP tadi. Meski begitu, permintaan tersebut belum memperoleh persetujuan dari pemerintah. "Masalah itu masih dinegosiasikan. Saya tidak tahu bagaimana detailnya," kata Jacob kepada Koran Tempo Kamis lalu. Pemerintah kemudian membentuk tim untuk mempelajari permintaan BP Indonesia tersebut.

Sebelumnya, BP Indonesia telah meminta interest cost recovery, di mana pemerintah ikut menanggung biaya bunga pinjaman. Selain itu, BP juga meminta agar pemerintah memberikan jaminan jika terjadi default. Pemerintah juga belum menjawab permintaan BP tersebut.

Tunda Pembayaran Utang ke BI

Pemerintah akan menunda pembayaran cicilan pokok dan bunga surat utang pemerintah kepada Bank Indonesia, yang jatuh tempo pada 2005. penundaan ini diusulkan pemerintah karena defisit anggaran akan membengkak Rp 16,6 triliun. Rencana ini sudah disetujui Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Ketua Komisi Keuangan Emir Moeis mengatakan, pembayaran cicilan pokok dan bunga, masing-masing Rp 8,6 triliun dan Rp 3,3 triliun, memang membebani keuangan negara.

Karena itu, penundaan pembayaran justru meringankan keuangan negara, tetapi juga tidak memberatkan neraca BI 2005. Komisi Keuangan juga menyetujui kewajiban pemerintah mengisi kekurangan neraca BI (charge), jika modal bank sentral ini kurang dari tiga persen. Hanya, besaran angka Rp 8,7 triliun yang diusulkan BI belum bisa disetujui. "Kami menunggu posisi neraca BI terakhir," kata Emir usai rapat kerja dengan Menteri Keuangan Boediono dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Kamis pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus