Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDA salah bila menganggap pemilihan presiden cuma menarik perhatian para politisi. Kaum pebisnis seperti pialang saham, bankir, dan pengusaha ternyata juga ikut memantau proses pemilu dan berdebar-debar menanti hasil penghitungan suara. Syukurlah, sejauh ini para pelaku pasar menyambut proses demokrasi itu cukup hangat.
Terbukti rupiah menggeliat bangkit. Sampai Jumat pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah mencapai Rp 8.925, padahal sebelum pemilu masih tertekan di kisaran Rp 9.300. Sambutan gembira juga tersirat di lantai bursa, yang ditandai merangkak naiknya indeks harga saham gabungan.
Akhir pekan lalu, bursa ditutup dengan indeks 761,140. Dibandingkan dengan sebelum pemilu, indeks menguat 30 poin. Padahal bursa regional justru sedang lesu darah akibat kebijakan Federal Reserve?bank sentral Amerika Serikat?menaikkan suku bunga dari 1 persen menjadi 1,25 persen.
Pada umumnya pelaku pasar berpendapat sambutan hangat itu muncul lantaran proses pemilu yang berlangsung aman dan damai, tak terjadi kerusuhan dan konflik semasa kampanye seperti dikhawatirkan sebelumnya. Kondisi seperti itu dinilai sebagai sebuah pencapaian besar.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aslim Tadjudin, pun ikut bersukacita. Sebelumnya, Aslim telah mengatakan pemilu presiden yang aman dan damai akan membantu menghilangkan ketidakpastian yang sekarang seolah menghantui persepsi investor dan pelaku bisnis. Keraguan itu, kata Aslim, antara lain tecermin dari rendahnya tingkat pencairan kredit dibandingkan dengan tingkat pinjaman yang telah disepakati.
Data BI menunjukkan tingkat penggunaan kredit (credit disbursement rate) baru mencapai 33,9 persen dari total pinjaman yang disetujui (credit approval rate). ?Hal ini menunjukkan keragu-raguan sektor riil untuk melakukan investasi,? katanya kepada Amal Ihsan dari Tempo News Room.
Bank sentral sendiri telah berusaha memperkuat rupiah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyerap likuiditas. Contohnya adalah menaikkan setoran giro wajib minimum (GWM) dan melelang sertifikat Bank Indonesia (SBI) dua kali dalam sebulan. Bank Indonesia juga membatasi pembelian dolar oleh Pertamina.
Yang tak kalah penting, hasil penghitungan suara sementara tak melenceng jauh dari perkiraan pasar. Tampilnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi sebagai peraih suara terbanyak dinilai tak menimbulkan kejutan. Apalagi, kata Kepala Riset Mandiri Sekuritas, Kahlil Rowter, ?Kedua-duanya disukai pasar.?
Megawati mewakili pemerintahan sekarang. Jika ia terpilih kembali, tak akan ada perubahan kebijakan. Sementara itu, dari berbagai survei, masyarakat baik lokal maupun internasional terlihat menaruh harapan yang tinggi pada pasangan Yudhoyono-Kalla.
Kendati dengan banyak catatan, Megawati dianggap telah berjasa meredam ketegangan politik dibandingkan dengan ketika Abdurrahman Wahid berkuasa. Di bidang ekonomi, pemerintah Megawati dinilai telah meletakkan dasar ekonomi makro yang kuat, yang ditandai dengan stabilnya nilai tukar dan rendahnya tingkat inflasi serta suku bunga. Sedangkan Yudhoyono, yang biasa dipanggil SBY, dinilai sebagai figur yang cukup kuat, santun, dan tak bermasalah.
Di tengah situasi penegakan hukum yang belum mapan, kata Kahlil, pemerintahan yang kuat masih dibutuhkan. Nah, SBY dianggap bisa memenuhi kebutuhan itu. Kahlil menyitir sulitnya penanganan masalah gula, beras, daging impor, dan sebagainya. Padahal problemnya sebetulnya sederhana, yaitu adanya kepentingan orang-orang tertentu. ?Mereka ini harus diinjak kepalanya,? ujarnya bertamsil.
Para pelaku pasar, Kahlil menambahkan, bertambah suka kepada SBY karena ia didampingi Jusuf Kalla, yang notabene berlatar belakang pengusaha. Jusuf memiliki citra sebagai pekerja, tak teoretis, dan ramah pasar. ?Tak perlu khawatir dia akan membuat kebijakan populis seperti menaikkan tarif pajak,? ujarnya.
Senada dengan Kahlil, ekonom Citibank, Anton Gunawan, berpendapat pasar menginginkan tampilnya kepemimpinan yang efektif. ?Pasar menginginkan sesuatu yang baru, yang punya karakter mendobrak,? kata Anton. Kepemimpinan semacam itu diperlukan untuk menjalankan program dan menegakkan hukum, agar tercipta iklim usaha dan investasi yang kondusif.
Selama ini, dalam kampanyenya, SBY dianggap selalu mengacu pada rule of law. ?SBY dinilai akan bisa menepati janji, menjalankan program, dan efektif,? ujar Anton menirukan ucapan para investor yang sering didengarnya. Dan salah satu cara mengukur kepemimpinan itu adalah dengan melihat komposisi kabinet yang akan dibentuk.
Tak kurang dari Direktur Senior Fitch Sovereign Group?lembaga yang November tahun lalu menaikkan peringkat mata uang lokal dan asing Indonesia untuk jangka panjang menjadi ?B+??Paul Rawkins pun berpendapat, ?Komposisi pemerintah baru dan dukungan parlemen akan ikut menentukan masa depan ekonomi Indonesia.?
Selain itu, kata Rawkins seperti dikutip Dow Jones, pelaksanaan agenda reformasi akan menjadi pesan kuat bagi pasar. Agenda reformasi struktural itu, misalnya, adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 6-7 persen, mengurangi pengangguran, dan meredam potensi ketegangan sosial dan politik.
Pasar akan memberi tanggapan positif terhadap agenda seperti itu. Sebaliknya, bila agendanya jalan di tempat, kata Rawkins, ?Hal itu akan menggerus kepercayaan pasar dan memerosotkan kembali peringkat Indonesia.? Pemerintah mendatang, menurut Rawkins, tak punya pilihan kecuali mendorong reformasi dengan memperbaiki iklim usaha, membongkar sistem hukum yang korup, memperkuat sektor keuangan, dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Masalahnya, memilih orang yang tepat di kabinet untuk melaksanakan agenda reformasi bukan perkara gampang. Untuk menegakkan hukum, misalnya, kata Kahlil, ?dibutuhkan orang yang nekat karena tantangannya luar biasa.? Di portofolio ekonomi mungkin lebih mudah, karena fondasi makronya sudah lumayan kuat. Menteri Keuangan Boediono dianggap cukup baik mengelola anggaran, kendati tak terlalu berani melakukan stimulasi pertumbuhan. ?Menteri Keuangan baru asal jangan lebih jelek dari Boediono saja,? ujar Anton Gunawan.
Kesulitan memilih anggota kabinet bertambah karena dalam putaran kedua pemilihan presiden kelak akan terbentuk koalisi-koalisi baru. Di satu sisi, koalisi diperlukan terutama untuk memantapkan dukungan kepada presiden di parlemen. Namun, terbit kekhawatiran bila koalisi mesti dibayar dengan kompromi. Misalnya dengan munculnya kembali kabinet pelangi yang dianggap tak efektif. ?Kepercayaan pasar bisa terdilusi,? ujar Kahlil.
Jadi, bakal tetap suramkah ekonomi Indonesia bila skenario buruk itu terulang? Jangan pesimistis dulu. Haryadi Sukamdani menuturkan, sesungguhnya para pengusaha selama enam tahun terakhir telah membiasakan diri dengan situasi tak pasti. ?Ada atau tak ada pemerintah, kita anggap sama saja,? ujar salah satu pengurus teras Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini.
Haryadi dan rekan-rekannya mengaku sudah belajar tak berharap banyak pada kabinet. ?Ingin kabinet dream team, yang datang malah kabinet dreaming team. Kan sakit hati,? ujarnya berseloroh. Sepanjang pemerintah tak terlalu banyak ulah, ia optimistis ekonomi akan tetap tumbuh.
Sebaliknya, bila pemerintah terlalu ?aktif?, Haryadi khawatir akibatnya justru buruk terhadap dunia bisnis. Ia pun menunjuk beberapa kebijakan pemerintah yang dianggapnya lebih banyak melemahkan ketimbang mendorong daya saing, seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan, pajak, dan aturan bea-cukai baru. Jadi, semuanya masih sangat samar-samar.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo