Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ocehan Janggal Pembunuh Angeline

Pengakuan petugas keamanan membunuh sendiri bocah Angeline diragukan. Sejumlah petunjuk mengarah pada keterlibatan pelaku lain.

15 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petugas kamar jenazah Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, dengan hati-hati mengeluarkan kantong mayat dari peti pendingin. Sebelum membuka kantong jenazah itu, sejenak ia memandang Hamidah. "Ibu yakin siap?" kata sang petugas, Jumat pekan lalu. Hamidah pun mengangguk.

Tangis Hamidah meledak begitu petugas mencopot pengaman kantong. Wajah anaknya, Angeline, yang sudah rusak menyembul dari balik kantong itu. "Siapa yang melakukannya? Dia harus mati," ujar Hamidah berteriak histeris. Ia seperti tak percaya pertemuan pertama dengan anak kandungnya—setelah berpisah delapan tahun lalu—bakal berakhir seperti itu.

Polisi menemukan mayat Angeline terkubur di pekarangan belakang rumah Margriet Christina Megawe, ibu angkatnya, Rabu pekan lalu. Sebelumnya, bocah 8 tahun ini sempat dikabarkan hilang dari rumah di Jalan Sedap Malam, Sanur, Bali.

Pada 16 Mei lalu, sekitar pukul 19.30, Margriet melaporkan kehilangan Angeline ke Kepolisian Sektor Kota Denpasar Timur. Menurut wanita berdarah Manado itu, sebelum menghilang, sekitar pukul 15.00, Angeline terlihat bermain di depan rumah. Margriet pun mengaku sudah mencari-cari Angeline di sekitar rumah, tapi hasilnya nihil.

Malam itu juga polisi menyisir sekitar rumah Margriet bersama pecalang—petugas keamanan adat Bali. Namun, menurut Kepala Lingkungan Ketut Sutapa, Margriet melarang petugas ketika hendak masuk ke rumahnya. Walhasil, petugas hanya bisa mencari-cari di luar rumah. "Aneh, keluarga yang mengaku jadi korban, malah menghalang-halangi polisi," kata Sutapa.

Sehari kemudian, kakak angkat Angeline, Yvone dan Christina, menggalang dukungan lewat jejaring Facebook. Mereka membuat grup berjudul "Find Angeline - Bali's Child Missing". Berita kehilangan Angeline pun membetot perhatian netizen—sebutan pengguna Internet. Dalam waktu singkat, foto bocah itu tersebar di jejaring sosial. Di Bali, tak sedikit turis lokal dan asing yang menjadi "relawan" pencari Angeline. Mereka menggalang dana sampai terkumpul puluhan juta rupiah.

Gagal pada pencarian pertama, polisi kembali menyisir sekitar rumah Margriet pada 19 Mei lalu. Kali ini polisi mengerahkan satuan anjing pelacak (K-9). Namun pencarian kali ini pun gagal total.

Menurut seorang penyidik polisi, bau kotoran ayam di rumah Margriet membingungkan satwa pengendus itu. Di sekitar rumahnya, Margriet memang memelihara puluhan ekor ayam. Bau kotorannya tercium sampai jalan yang berjarak tiga meter dari gerbang rumah.

Sejak awal, polisi mencurigai gelagat Margriet yang tak pernah mengizinkan petugas masuk ke rumahnya. Tak kehabisan akal, polisi pun mengawasi rumah dengan lahan seluas 1.500 meter persegi tersebut. Ketika Margriet dan dua anaknya keluar untuk berbelanja, Rabu pekan lalu, puluhan polisi menggeledah rumah tersebut.

Sewaktu menyisir bagian belakang rumah Margriet, polisi mencurigai gundukan tanah di dekat kandang ayam. Di atas gundukan itu, aneka jenis sampah berserakan. Di sana, bau busuk pun lebih menyengat.

Baru menggali sedalam 50 sentimeter, polisi menemukan gulungan seprai putih. Di dalamnya ada tubuh mungil Angeline yang membusuk. "Posisinya meringkuk, memeluk boneka," ujar Sutapa, yang menghadiri penggalian itu.

Sejurus kemudian, polisi menangkap Margriet beserta dua anaknya di sebuah pusat belanja. Mereka digelandang ke kantor Kepolisian Resor Kota Denpasar. Bekas penjaga rumah Margriet, Agustinus Tai, juga dibawa ke kantor polisi. Malam harinya, polisi menetapkan Agus sebagai tersangka pembunuhan Angeline.

Menurut Kepala Polresta Denpasar Komisaris Besar Anak Agung Sudana, sebelum membunuh, Agus juga melakukan kekerasan seksual terhadap Angeline. "Dia mengakui perbuatannya dilakukan sendiri," kata Sudana, Rabu pekan lalu.

Gelagat polisi menetapkan Agus sebagai tersangka tunggal memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. "Tidak mungkin pelakunya tunggal," ucap Siti Sapurah, Ketua Bidang Pelayanan Penegakan Hukum dan Pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Denpasar.

Sebelum polisi menetapkan Agus sebagai tersangka, Sapurah mendapat informasi bahwa Agus sempat mengaku hanya disuruh Margriet mengubur Angeline. Informasi itu dia terima dari beberapa penyidik di Polresta Denpasar. "Sejak awal kami curiga ini merupakan persekongkolan," ujar Sapurah, yang biasa dipanggil Ipung.

* * * *

Caci-maki dan ancaman menyambut kedatangan Agus di rumah Margriet, Kamis pekan lalu. Kali ini polisi membawa pria itu untuk prarekonstruksi. Ketika Agus turun dari mobil polisi, amarah sebagian warga tersulut. Beberapa di antara mereka mencoba memukul Agus, tapi gagal karena dihalangi polisi.

Menurut kuasa hukum Agus, Haposan Sihombing, kliennya hari itu memperagakan 19 adegan yang berujung pembunuhan Angeline pada 16 Mei lalu. Sekitar pukul 13.00, demikian awal peragaan itu, Agus memanggil Angeline masuk ke kamarnya. "Waktu itu Angeline bilang bahwa Margriet kecewa karena saya tak bisa bekerja," kata Haposan menirukan Agus.

Mendengar ocehan Angeline, Agus mengaku jengkel. Ia melampiaskan kemarahan dengan mendekap Angeline. Namun bocah kelas II sekolah dasar itu berontak dan memanggil Margriet. Agus, yang baru bekerja tiga pekan di rumah tersebut, panik. Ia pun memukuli korban.

Tak hanya itu, Agus juga membenturkan kepala Angeline ke lantai, lalu memerkosa bocah tersebut. Untuk memastikan Angeline tewas, Agus mencekik korban dengan tali pengikat gorden di kamarnya. Seorang diri, demikian pengakuan Agus, ia mengubur bocah tersebut di pekarangan belakang rumah.

Seorang petugas yang menghadiri prarekonstruksi menuturkan beberapa kejanggalan ketika Agus memperagakan sejumlah adegan. Misalnya adegan membenturkan kepala Angeline. Agus sempat menyebut peristiwa itu berlangsung di depan kamar Margriet. Tak lama kemudian, Agus menyebut itu terjadi di kamarnya.

Agus juga kerap terlihat ragu-ragu dalam memperagakan beberapa adegan. "Dia seperti berupaya membuat kejadian siang itu seolah-olah spontan, tidak direncanakan," ujar petugas yang mendampingi tim Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI itu.

Kecurigaan si petugas menguat setelah ia mendapat info dari tim Kepolisian Daerah Bali yang memeriksa rumah Margriet bersama tim Mabes Polri. Tim gabungan itu menemukan bercak darah—diduga darah Angeline—pada kasur di kamar Margriet dan kamar Agus. Ceceran darah juga terdapat di lorong penghubung kedua kamar tersebut. Sejak itu, si petugas hakulyakin bahwa jasad Angeline sempat diseret sebelum dikubur.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengaku mendapat informasi soal jejak darah tersebut dari tim forensik. Namun, menurut Arist, infonya tidak mendetail. Bila info itu benar, kata Arist, bercak darah bisa menjadi petunjuk adanya persekongkolan yang melibatkan orang-orang di rumah Margriet.

Sejauh ini pengakuan Agus telah memerkosa Angeline juga belum didukung bukti yang meyakinkan. Tim forensik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah belum menemukan bekas tanda kekerasan seksual pada tubuh Angeline. Menurut Kepala Kedokteran Forensik Rumah Sakit Sanglah, Dudut Rustyadi, tanda kekerasan seksual sulit dibaca karena jasad Angeline telah membusuk.

Yang sudah pasti, menurut Dudut, otopsi menemukan bekas luka benturan pada kepala kanan Angeline yang menyebabkan bocah itu meninggal. Selain itu, ditemukan luka memar pada wajah, leher, tangan, lengan, paha, pantat, dan punggung kaki korban. Semuanya diduga akibat hantaman benda tumpul.

Margriet menampik tuduhan yang mengarah pada dirinya lewat laman Facebook yang dikelola kedua anaknya, "Find Angeline - Bali's Missing Child". Dalam status yang diunggah Jumat siang pekan lalu tertulis, "Jangan menuduh saya dalam kasus kematian Angeline."

Adapun Kepala Polda Bali Inspektur Jenderal Ronny F. Sompie tak mau mengomentari kejanggalan selama prarekonstruksi serta kabar seputar bercak darah di rumah Margriet. Alasan Ronny, penyelidikan masih berjalan. Soal kemungkinan adanya tersangka lain, "Itu tergantung hasil pemeriksaan lanjutan," ujar Ronny, Kamis pekan lalu.

Syailendra Persada, Avit Hidayat (Denpasar)


Jejak Samar Keluarga Angkat

Dari tetangga di Jalan Sedap Malam, Sanur, tak banyak yang bisa digali soal siapa sesungguhnya Margriet Christina Megawe. Kepala lingkungan setempat, Ketut Sutapa, hanya tahu Margriet sebagai ibu tiga anak yang bersuamikan orang Amerika. Sutapa tak tahu asal-usul keluarga itu dan apa kegiatan sehari-hari mereka. "Mereka tertutup," kata Sutapa, Jumat pekan lalu.

Jejak Margriet justru lebih terang ketika Tempo menyambangi rumah tua di Jalan Garuda RT 01 RW 06, Kecamatan Labuh Baru Timur, Pekanbaru, Riau. Alamat rumah inilah yang dipakai Margriet ketika membuat akta pengangkatan Angeline sebagai anaknya di hadapan notaris Anneke Wibowo pada 23 Mei 2007. "Kami mengenalnya dengan nama Ibu Telly," ujar Dementria Tinambunan, yang tinggal di dekat rumah tersebut.

Menurut Dementria, Margriet pernah menempati rumah itu sejak tahun 2000. Dia tinggal di rumah itu bersama suami keduanya, Douglas, yang bekerja di sebuah perusahaan minyak Amerika yang bermarkas di Riau.

Sebelumnya, Margriet dan Douglas tinggal di mes perusahaan. Mereka pindah ke Labuh Baru Timur karena bosan tinggal di kompleks karyawan. Pasangan itu membeli rumah di Jalan Garuda dari saudara Dementria yang juga kawan sekantor Douglas.

Pada 2007, Douglas pensiun dari pekerjaannya. Margriet dan Douglas kemudian hijrah ke Jawa. Namun, menurut Dementria, keduanya masih sering berkunjung ke Pekanbaru. Sekali waktu, mereka menengok rumah bersama bayi yang baru mereka adopsi. Dialah Angeline, yang diadopsi dari pasangan Hamidah-Rosidik.

Di Jawa, Douglas dan Margriet tinggal di Kampung Sawah RT 04 RW 08, Kelurahan Jatimelati, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. Ditemui Jumat pekan lalu, keluarga Margriet yang tinggal di rumah itu enggan berkomentar soal kematian Angeline. "Maaf, kami masih bersedih," kata Aji, kerabat dekat Margriet.

Ketua RT 04 Rustini membenarkan Margriet adalah salah seorang warganya. Dia memiliki kartu keluarga dan kartu tanda penduduk di Kampung Sawah. Nah, alamat di Bekasi inilah yang dipakai Margriet untuk mengontrak tanah seluas 1.500 meter persegi di Jalan Sedap Malam, Sanur.

Menurut catatan Ketut Sutapa, Margriet tinggal di Sanur sejak 11 September 2007. Ia mengontrak tanah tersebut untuk jangka waktu 20 tahun. "Harga sewanya Rp 1 juta per meter waktu itu," ujar Sutapa.

Kepada beberapa tetangga yang kebetulan pernah mengobrol, Margriet dan suaminya mengaku berbisnis mebel bekas hotel atau perkantoran. Samar-samar, Sutapa pun mendengar pasangan itu memiliki vila di kawasan Canggu, Badung, dan sejumlah properti di wilayah Bali lainnya.

Pada awalnya, menurut Sutapa, rumah Margriet di Jalan Sedap Malam selalu asri dan bersih. Namun, dua tahun terakhir, rumah itu kian kumuh saja. "Saya dengar suaminya meninggal," kata Sutapa, yang mengaku tak tahu penyebab kematian Douglas.

Menurut Kepala Sekolah Dasar Negeri 12 Sanur, I Ketut Ruta, kematian sang ayah angkat sangat berpengaruh terhadap kehidupan Angeline. Dari hari ke hari, tubuh anak itu semakin kurus saja. Tak jarang, Angeline berangkat ke sekolah dengan pakaian berbau kotoran ayam.

Meski masih memegang akta adopsi Angeline, Hamidah tak mengenal Margriet dan suaminya. Hamidah, kini 26 tahun, hanya sekali bertemu dengan pasangan itu, ketika membuat akta di depan notaris. Kala itu, keluarga Margriet menyerahkan uang dan biaya persalinan sebesar Rp 1,8 juta. Kesepakatannya, Hamidah tak boleh menengok Angeline sebelum anak itu berusia 18 tahun.

Ternyata Angeline pergi untuk selamanya ketika umurnya baru 8 tahun. Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Denpasar, Siti Sapurah, meminta polisi menelisik motif rebutan warisan di balik kematian bocah itu. Dalam akta notaris adopsi memang disebutkan bahwa Angeline mendapat jatah hak waris yang sama seperti anak kandung Margriet.

Syailendra Persada (Bali), Riyan Novitra (Pekanbaru), Adi Warsono (Bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus