HARGA beberapa jenis minyak bumi menurun satu dua dolar per barel di pasar spot internasional. Tapi yang terjadi di bursa minyak di London dan New York, sejak pekan lalu, belum sampai menyentuh bursa uang di Jakarta. Malah arus dolar lebih deras masuk ke kas bank sentral ketimbang yang keluar. Bursa valuta asing sepanjang pekan silam mencatat US$ 169,8 juta dijual ke BI, sedangkan BI hanya menjual $ 59,2 juta. Maka, praktis cadangan devisa di bank sentral pekan silam bertambah lagi sekitar US$ 110 juta. Bisa diduga banjir dolar masuk erat kaitannya dengan apa yang diungkapkan Menko Ekuin Ali Wardhana dua pekan lalu: meningkatnya ekspor nonmigas. Devisa yang dapat diraup selama 1987 berjumlah $16,2 milyar, di antaranya $ 8,5 milyar dari nonmigas. Suatu rekor. Sebab, tahun sebelumnya, ekspor nonmigas baru $ 6,5 milyar. Nilai ekspor nonmigas bahkan melampaui nilai ekspor migas ($ 8,2 milyar). Dengan kata lain, para pengusaha kini lebih suka berburu dolar di pasar luar negeri, daripada "memancing" di bank sentral. Rekor ekspor nonmigas berasal dari catatan Biro Pusat Statistik. Sampai pekan silam ternyata BPS belum selesai merinci perkembangan ekspor yang mengejutkan itu. Data BPS sampai dengan Oktober 1987 menunjukkan ada komoditi yang sepertinya telah kehilangan peluang. Tapi tak kurang pula komoditi yang masih bisa mengumpulkan devisa lebih banyak. Sepintas, gambaran yang disajikan BPS sebetulnya tak terlalu. menggembirakan. Ternyata, banyak produksi Indonesia dijual murah tahun silam dibandingkan tahun sebelumnya. Hanya ekspor hasil industri menunjukkan perolehan harga lebih bagus, sedangkan hasil pertanian dan pertambangan umumnya dijual lebih murah. Lihat saja data ekspor yang melibatkan banyak petani swasta. Misalnya tengkawang, tembakau, panili, dan kopi. Tonase ekspor tengkawang tahun silam memang melonjak naik sekitar 31 kali: dari 459 ton menjadi 14.000 ton lebih. Tapi nilai yang diperoleh hanya naik dari $ 384.000 menjadi 5.131.000. Berarti harga tengkawang telah jatuh dari $ 836 menjadi $ 366 per ton. Ekspor tembakau malah semakin merosot. Volume ekspor 1987 tercatat hanya 16.000 ton, sedangkan tahun sebelumnya mencapai 21.000 ton. Beberapa petani tembakau yang diwawancarai TEMPO di sekitar Jember, Jawa Timur, pekan silam merasa pening, karena harga tembakau mereka semakin merosot. Mukri, 47 tahun, yang bertani tembakau sejak 1960, menuturkan, penghasilannya semakin menurun dalam tiga tahun terakhir. Tembakaunya, jenis Besuki na oogst, pada 1984 masih dihargai Rp 400 ribu per kuintal, tahun 1987 hanya diharai Rp 100 ribu per kuintal. Padahal, biaya garap, perawatan, dan pupuk terus naik. Pada 1984, keluarga Mukri bisa menerima keuntungan kotor RP 7 juta per ha. Tahun 1986 satu hektar kebun tembakau masih bisa memberikan keuntungan kotor RP 2,2 juta. Tahun lalu, keuntungan kotor hanya RP 1,6 juta per ha. Tetapi, bertanam komoditi nonmigas ini, menurut ayah lima anak tersebut, masih lebih untung dibandingkan menanam padi. "Satu hektar sawah di sini biasanya menghasilkan 4-6 ton padi. Harga gabah hanya RD 125,00/k, sehingga satu ha menghasilkan cuma sekitar Rp 750 ribu," katanya. Sampai kini, kopi masih merupakan penghasil devisa terbesar dari komoditi pertanian. Tetapi peranannya tampaknya semakin berkurang. Pada 1986, Januari-Oktober, ekspor kopi mencapai 259 ribu ton bernilai $ 717,7 juta, atau sekitar 13% dari seluruh ekspor nonmigas. Tetapi ekspor tahun silam untuk periode yang sama hanya mencapai 235 ribu ton, dan nilainya susut menjadi $ 435 juta. Berarti pangsanya dalam perolehan devisa nonmigas tinggal sekitar 6,4%. Peluang penerimaan ekspor nonmigas tampaknya bakal meningkat dari udang. Usaha pertambakan si bongkok yang menggebu-gebu ternyata belum tercermin dalam data BPS. Volume ekspor tahun 1987 baru mencapai 36 ribu ton (naik 22%) dibandingkan ekspor tahun sebelumnya. Tanaman perkebunan tradisional, seperti teh, menurut pimpinan PTP XII R.G.S. Soeriadanoeningrat, kemungkinan sudah sulit ditingkatkan. Menurut dia, teh Indonesia sudah menembus hampir semua pasar di dunia. Kebetulan ekspor teh tahun silam naik karena ada lonjakan permintaan. "Secara volume boleh dikata ekspor tidak mengalami perubahan, tetapi karena permintaan naik terutama dari Pakistan, harga terdongkrak 10%-15% ," tutur bos PTP dari wilayah Bandung tadi. Sektor pertambangan (tidak termasuk minyak dan gas), secara umum tahun silam juga menurun. Timah, tembaga, nikel, dan batu bara kelihatannya belum bercahaya. Tapi dari logam mulia seperti emas ada harapan tambahan devisa. Menurut perkiraan PT Aneka Tambang, produksi emas yang sekitar 3 ton per tahun sekarang akan mencapai 10 ton dua tiga tahun mendatang. Tak terlalu berlebihan jika Menteri Perindustrian Hartarto, dalam seminar sehari di Hotel Hilton Jakarta pekan silam, mengungkapkan target ekspor hasil perindustrian sekitar $ 733,3 juta per bulan, untuk mengumpulkan devisa $ 8,8 milyar dalam tahun anggaran mendatang. Peluang meningkatkan industri pengolahan hasil pertanian, sepertl pengembanan produk hasil minyak kelapa sawit, menurut Hartarto dalam waktu dekat akan berkembang. Masih menurut dia, devisa bisa pula dijala dari pengolahan hasil pertanian dan kehutanan seperti karet, kayu lapis, dan rotan masih akan tumbuh. M.W., laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini