Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ulama dalam ragam pesona

Lipi & Departemen Agama menyelenggarakan seminar pandangan & sikap hidup ulama di indonesia. 125 ulama diteliti Lipi. Para peneliti diambil dari berbagai disiplin ilmu, supaya tak timbul sektarianisme.

5 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAN ulama masih memiliki pesona untuk diteliti dan diseminarkan lagi. Selama 21 bulan, sejak awal 1986 lalu, 40 peneliti dikerahkan. Mereka menyingkap sosok 125 ulama, di 20 tempat dari Aceh hingga Bima, Nusa Tenggara Barat. "Para peneliti itu dari berbagai disiplin, supaya tak timbul sektarianisme ilmu," kata Doddy Tisnaamidjaja, Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hasilnya, 30 laporan ratusan halaman, 100 kaset khotbah, 140 kitab kuning, dan 400 buku karya ulama Indonesia. Semua itu dirangkum dalam 18 nomor Nadhar, buletin penelitian itu. "Ulama kita tanggap terhadap pembaruan. Takkan ada pembangunan tanpa pembaruan, termasuk dalam pemikiran," ujar Menteri Agama Munawir Sjadzali, dalam Seminar Pandangan dan Sikap Ulama Indonesia yang diselenggarakan LIPI, Rabu 24 Februari lalu, di Jakarta. "Secara kolektif, saya melihat sosok ulama itu menyenangkan, kalau tak dikatakan indah." Dan yang "indah" itu? Menurut penelitian Munawir sendiri, itu sudah dibuktikan ketika ulama menerima KB dan Rumusan Kompilasi Hukum Islam secara into tuto. "Dan jika ukhuah islamiyah selama ini diartikan persaudaraan antara kaum muslim, kini diartikan antara umat Islam dan umat yang lain," tambah Munawir. Jadi, mereka itu luwes dan terbuka. Malah sebagian dan temuan peneliti itu menguatkan. Empat ulama Madura (K.H. Abdul Madjid, K.H. Moh Idris Djauhari, K.H. Abdul Basit, K.H. A. Syarkawi), misalnya, menyebut potensi konflik pada manusia bisa dikembangkan untuk sumber dinamisme berwawasan terbuka dan mengakui subjektivitas. Karena itu tak aneh bila K.H. Ahmad Tijani dari Pesantren Al-Amien Prenduan, Madura, tanpa terusik oleh kedudukannya sebagai guru mursyid tarekat Tijaniyah, tetapi bisa bekerja di Rabithah Alam Islami Mekah - yang tak mengakui tarekat itu. Dalam hal politik, kini, para ulama menganggapnya sebagai sekunder - kendati tak bisa dipisahkan dari agama dan ulamanya harus jadi politikus. "Tugas ulama adalah menyuruh berbuat baik, amar ma'ruf, sedang tanggung Jawab umara itu mencegah kemungkaran (nahi munkar)," ujar Kiai Ahmad Mursyidi dan Kiai Ali Syibromalisi dari Jakarta, seperti diungkap Bisri Effendy, peneliti LIPI. Bila NU keluar dari PPP, misalnya, bagi Kiai Shodiq dari Cirebon, itu seperti orang keluar rumah. "Kalau NU merasa ongkep (kegerahan) dalam rumah PPP, apa salahnya keluar daripada terus berkeringat," katanya kepada Moeslim Abdurrahman, peneliti dari Departemen Agama. Bahkan mereka tahu bahwa politik itu licik. "Maka, ulama itu harus seperti tikus, yang tidak hanya membuat satu lubang," ujar Buya Husain Hap dari Riau. "Kepada yang masuk Golkar karena keyakinan, saya angkat topi," ujar Kiai Istikhari dari Pesantren Daruttafsir Ciampea Bogor kepada Lies M. Marcoes, juga peneliti LIPI. "Dan yang masuk Golkar karena uang atau jabatan, itu kecil." Setelah kondisi politik seperti sekarang, menurut Kiai Sukatuddin dari Pesantren Caringin Banten, tugas ulama menaikkan taraf hidup masyarakat. Terutama dalam soal ekonomi. Hampir semua ulama mengakui, tingkat ekonomi umat masih rendah. Dianggap perlu adanya rekonsepsialisasi ajaran kemasyarakatan dalam agama. Umpamanya konsep zakat yang perlu elaborasi. Contohnya penarik becak yang miskin itu berhak menerima bagian dari zakat. Tapi pelaksanaan menarik kewajiban berzakat, perlu bantuan "polisi" pemerintah. "Cara begitu menimbulkan kesan, kebanyakan ulama terah bertiarap," kata Dr. Amien Rais dari Yogya. Misalnya di MUI, para ulama tak sepenuhnya bebas. "Padahal, ideologi utama ulama adalah kemandirian. Saya melihat, telah terjadi domistikasi terhadap ulama dan itu berarti domistikasi terhadap Islam," ujar Dr. Taufik Abdullah, peneliti senior di LIPI. Memang ada trauma politik, walau ada ulama yang mampu berkelit. Selain ada yang di MUI, mayoritas ulama menemukan kembali aspek positif dari uzlah kaum sufi. Ya, kemandirian itu, yang sebenarnya bagian dari pandangan mereka di tasawuf. Ada proses eskapisme. Kini mereka mengentalkan ortodoksi -- yakni semangat "kembali kepada umat" - dengan meninggalkan politik praktis. Ulama di NU dan Muhammadiyah, contohnya. "Bukan dengan mencari kedudukan di pemerintah, tetapi politik kultural, untuk keselamatan bangsa," kata Mochtar Buchori, peneliti senior dari LIPI. Aset utama mereka sebenarnya juga soal tertinggalnya bidang pendidikan, yang pembicaraannya kemudian mengarah ke sana. Jika perubahan sosial lebih dahsyat dari proses pendidikan, maka ada wadah organisasi dan lembaga hiburan yang menawarkan "pendidikan" yang lain - sembari mempertanyakan apa pesantren itu masih benteng terakhir umat Islam. Padahal, ada ulama yang melampaui wilayah pesantren. Kiai Sahal Mahfudz, contohnya. Ia menjadikan pesantrennya, Maslakul Huda di Pati, tak cuma sebagai lembaga pendidikan -- juga sebagai lembaga pengembangan masyarakat yang besar andilnya. Menurut Wardah Hafidz yang meneliti, rais am NU itu sebaliknya tak memisahkan masjid dan pasar - dua simbol kerja dunia-akhirat sejak zaman Nabi Muhammad. Begitu pula Kiai Mbah Suryo di Magetan. Dia mengajar santri beternak kelinci, bertani panili, dan bergairah seni. Mbah Suryo menerjemah Quran ke dalam tembang Jawa beberapa waktu lalu. Ia menggauli seni. Iahkan Klal Abdullah Solihun dari Madura menggubah kembali bait-bait Alfiyah karya Ibn Malik - yang biasanya dihafal santri - menjadi 500 bait atau separuh aslinya. Beberapa bulan lalu, di TIM, Jakarta, ada ulama baca puisi. Sementara itu, para habib juga tak luput diamati. "Seluruh genealogi ilmu di sini sebenarnya berasal dari habib-habib itu," kata Abdurrahman Wahid. Ketua Tanfidziyah NU ini juga seorang habib dari trah Ba Syiban. Kultur habib memang kuat. Mereka, katanya, keturunan Nabi. Karena itu, wajar bila Syekh bin Ali Aljufri, Abdurrahman Assegaf, Muhammad bin Ali Alhabsyi, atau Abdulhamid Alatas dihormat begitu tinggi. Dahulu ada kitab, seperti Bahjat al-Wudhuh oleh Raden Makmun Nawawi, dan Ini Hadits 40 oleh Habib Usman, berisi anjuran menghormati habib, sayid, dan syarifah. Selain para kiai yang menjadi ulama karena status, memang masih ada ulama yang perannya sebagai orang berilmu. Dan itu lain lagi dengan ulama kampus. Mereka itu ulama karena profesi: mengajar, berdakwah, dan memberikan pelayanan keagamaan, sebagai kerja utama. Ahmadie Thaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus