SETELAH jreng, lalu gemuruh. Itu setelah 30 grup rock main maraton dari tengah hari - dan sejenak jeda ketika magrib sampai hampir pukul 22.00, Ahad lalu, di Gelora 10 November Surabaya. Di stadion itu, juga ngecas sekitar 15 ribu anak muda menggosok-gosokkan semangat dan tubuh mereka. Pesta akbar tersebut membawa merk Persebaya Rock 1988 - dan sebagai kompor pembakar fanatisme untuk mendukung kesebelasan Persebaya. Pertengahan Maret ini kesebelasan itu ke putaran final divisi utama PSSI. "Biayanya Rp 60 juta," kata ketua penyelenggara, Iwan Syafie'i. 39 tahun. Di antaranya untuk panggung 10 X 25 meter dan mendatangkan rocker seperti Renny Jayusman dan Ikang Fawzi. Di samping ada sponsor CocaCola, Jawa Pos, Bentoel, dan Hotel Simpang, dukungan utama datang dari ke-30 grup pemain yang bergabung dalam MARS (Musisi Artis Rock Surabaya). Organisasi ini diresmikan Senin pekan lalu. Menurut ketuanya, Badid Dian Pribadi, 30 tahun (dari grup Get Rock Surabaya), tujuannya, antara lain, mengurangi ketergantungan pementasan pada promotor saja. Hari itu debutnya yang pertama. Cuma, karena publik sangat bersemangat, mereka lalu mendaulat para pemanggung menggenjot lagu-lagu millk grup gagah kelas dunia seperti Rolling Stone dan Deep Purple. Akibatnya, ketika Ikang merock Melayu, penonton berang. Dan batu pun ikut main ke panggung - hingga pesta terpaksa diakhiri lebih awal dari rencana. Sayang, gairah Surabaya itu tak sepenuhnya menular ke Bali. Misalnya yang dialami Gito Rollies Oleh Pemda Denpasar, ia hanya boleh manggung di Yuwana Mandala Tembau, 10 km sebelah timur kota, Sabtu malam lalu. Gito malah diharamkan beraksi di Art Centre, hingga panitia (promotornya Kosgoro), yang menyediakan dana Rp 12 juta dan sudah siaga sejak tiga bulan lalu, kalang kabut lagi membuat kalkulasi baru. Dan nasib baiklah jika di gedung tertutup itu terisi 80% (sekitar 5.000 orang), sementara titik impasnya diharap terisi 65%. Dan Ahmad Albar dengan kawanannya dari Godbless ? Ia yang dimotori Log Zhelebor (suntikan dananya dari Rokok Djarum) sempat terkatung-katung. Setelah melalui perjuangan hingga ke Laksusda, kemudian barulah panitia diizinkan manggung Senin pekan ini di Tembau. Tetapi yang terjadi pada Sabtu, Ahad, dan Senin itu, ini satu pijakan yang layak dipertanyakan kembali. Sampai di mana peran musik rock di negeri ini? Surabaya memang menggelegak lagi, setelah sepi, dan kegiatan AKA-nya Ucok Harahap sudah lama padam. Namun, Denpasar tak seirama. Sedangkan Bandung, dengan caranya, tak hendak ketinggalan. Di ibu kota Jawa Barat yang tahun 1970-an sempat kiblat rock pribumi itu, Ahad lalu ada Sarasehan Musik Pop-Rock 1988. Sepanjang tengah hari itu, di Gelanggang Generasi Muda (GGM) Bandung panitianya bekerja sama dengan DPD Gema MKGR Jawa Barat - menahan kerumunan sekitar 200 kawula rock, hingga tak beranjak dari tempat. Figur-figur yang tak diragukan lagi tampil dalam urusan musik cadas ini. Ada Harry Roesli. Ada drumer piawai Jelly Tobing (terakhir berkibar di Bharata Band). Kemudian Denny Sabri, bekas wartawan Akuil (mendiang) yang di pertengahan 1970-an ikut menentukan kedatangan Deep Purple ke Jakarta. Dan sebagai pelengkap, juga muncul Djadjat Paramount, rocker lokal yang belakangan lebih ba nyak aktif sebagai anggot DPRD setempat. Sedikit lucu ketika forurr mengungkit semangat ber bau birokrat. Contohnya perlu rock Indonesia. Dar rock berkepribadian Indonesia. Astagfirullah. Pengertian itu, sungguh mati, jika dipaksa-paksakan, apa tak tunggang-langgang - padahal akar musik ini memang tidak ada di sini. Yang berkembang di sini - apalagi di mancanegara - sebenarnya harus dihalal dari "mengunyah" slogan, kalau memang bukan mengulang model Orla dahulu. Sementara itu, ada pejabat yang sering apriori Kasus Gito dan Ahmad Albar, di Bali itu salah satu contohnya. Rock, sebagai suatu ekspresi, sah untuk siapa saja - seperti juga dangdut yang tak haram didengar - bahkan oleh mereka yang suka makan pecal. Hanya, perlu disadar (ini menurut Jelly Tobing), "Rock Indonesia itu belum ada." Kelugasan sikap seperti itu yang perlu sebenarnya. Cara pendekatan Harry Roesli melalui rincian faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan selera musik pada remaja juga simpatik. Dan tampak lebih mendasar untuk menjawab, umpamanya, mengapa Buntoro, 18 tahun, anak penjual kupon Porkas asal Solo, bisa menikmati rock ketimbang tari bedaya. "Itu disebabkan impuls remajanya tak terpuaskan oleh tarian lamban itu," katanya. Sebaliknya, masih menurut Ketua Jurusan Musik IKIP Bandung itu, ide kolektif (ia menyebut: budaya gagasan) akan membatasi selera berdasarkan impuls itu tak kelewat jauh. Sementara, kata Harry lagi, "Pemusiknya masih belum jadi bagian dari proses pembentukan subkultur rock, karena masih mencangkok kulit luarnya. Dan di panggung, mereka sepertl bermain sirkus, tak bernaluri pentas." Sejumlah pendapat boleh tumpah. Tetapi untuk negeri ini, rock itu perlu. Asal saja bukan seperti di AS dan Inggris: menurut sejarahnya, rock dibutuhkan sebagai "suatu ibadat" - sarana pemuasan "spiritual" generasi merdeka. Lain di sini. Manakala para pemuda dan remaja - walau telah berusia 20-an tahun, tetapi masih menetek pada orangtuanya rock itu ibarat kebutuhan yang artifisial. Dan memang tak ada hubungannya dengan kebangkitan, karena gelagatnya hanya berhura-hura. Pokoknya, bergenjrenglah. Mohamad Cholid (Jakarta), Agung Firmansyah, Gatot Triyanto (Bandung), Budiono Darsono (Surabaya) & Joko Daryanto (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini