Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN khusus itu digelar Fraksi Partai Golongan Karya pada Senin awal bulan ini. Bertempat di kamar 1409, yang menjadi ruang rapat fraksi berlambang beringin itu, pertemuan melahirkan sebuah keputusan penting: siapa yang akan dipilih dalam seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Tak ada perdebatan penting, semua peserta menyepakati satu nama yang mesti terpilih. "Fraksi mendukung saya," ujar Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan Harry Azhar Azis, yang hadir dalam pertemuan tersebut, kepada Tempo, Senin pekan lalu. Selain memiliki latar belakang ekonomi, Harry dikenal sebagai politikus paling senior di Komisi Keuangan yang tidak terpilih lagi untuk periode 2014-2019.
Proses uji kelayakan dan kepatutan yang digelar selama lima hari berakhir Kamis pekan lalu. Pemilihan anggota BPK akan dilakukan melalui voting pada Senin pekan ini. Komisi Keuangan akan memilih 5 anggota BPK dari 61 kandidat yang mengikuti proses fit and proper test.
Posisi yang diperebutkan itu adalah kursi milik mantan Ketua BPK Hadi Poernomo, yang pensiun pada April 2014. Sedangkan empat lainnya milik Ketua BPK Rizal Djalil, Wakil Ketua BPK Hasan Bisri, serta anggota BPK, Ali Masykur Musa dan Moermahadi Soerja Djanegara, yang habis masa jabatannya pada Oktober 2014. Rizal dan Moermahadi jadi calon inkumben dalam seleksi kali ini. Ali Masykur juga melamar, tapi belakangan mundur.
Seperti bursa pemilihan anggota BPK sebelumnya, tak banyak anggota komisi yang hadir menguji. Kadang hadir belasan, lalu hilang satu per satu hingga tersisa kurang dari sepuluh orang. Koordinator staf ahli Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Eddy Rasyidin, yang sudah empat kali ikut seleksi anggota BPK, menilai ada yang tidak beres dalam proses tersebut. "Pemilihan tidak akuntabel, tidak transparan, hanya basa-basi," katanya.
MENDAPAT restu dari fraksi, Harry Azhar Azis paham posisinya belum sepenuhnya aman. Sebab, anggota DPR yang akan menyeleksi banyak yang masuk kelompok "ronin". Istilah yang merujuk pada samurai tak bertuan ini ditujukan kepada politikus yang akan segera pensiun. Dari 53 anggota komisi, hanya 17 yang kembali terpilih menjadi anggota DPR. Selebihnya, 36 anggota, gagal terpilih kembali dan mereka disebut-sebut berpotensi tak tunduk pada perintah partai.
Selain para ronin itu, yang bisa berpeluang mengganjal Harry adalah Rizal Djalil, yang menjadi salah satu calon terkuat. Mantan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional itu dikabarkan mengusung tiga kandidat lain. "Dan Harry tidak masuk di dalamnya," kata seseorang yang dekat dengan pimpinan BPK.
Rizal Djalil disebut-sebut melobi Ade Komaruddin, Sekretaris Fraksi Partai Golkar yang juga duduk sebagai anggota Komisi Keuangan DPR. Ade menjadi "pintu masuk" karena dinilai bisa melakukan lobi lintas partai.
Calon yang disebut-sebut masuk "paket" Rizal adalah anggota BPK, Moermahadi Soerja Djanegara; Direktur Transformasi Proses Bisnis Direktorat Jenderal Pajak Wahyu Tumakaka; serta Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Bidang Investigasi Eddy Mulyadi Soepardi.
Rizal dinilai berkepentingan memboyong paket agar bisa terpilih kembali sebagai Ketua BPK. Sesuai dengan aturan, pemilihan ketua dilakukan lewat voting di antara anggota terpilih.
Seorang anggota Komisi Keuangan DPR yang enggan ditulis namanya mengatakan, hingga akhir pekan lalu, paket yang diusung Rizal masih menguat. "Ade masih menyebut paket itu," ucapnya.
Ade menolak menjawab pertanyaan soal tudingan dia mendorong Rizal Djalil dan kawan-kawan. Pertanyaan tertulis yang dikirimkan lewat telepon seluler tidak dibalas. Rizal juga menolak menjawab surat permohonan wawancara dan pertanyaan tertulis yang dikirimkan ke kantornya. "Bapak tidak bisa memenuhi permintaan wawancara karena sedang di luar kota," ujar seorang anak buahnya. Namun sebelumnya dia mengelak membawa gerbong dalam pemilihan anggota BPK.
"Membawa diri sendiri saja susah, bagaimana mau membawa orang lain."
Moermahadi mengaku tidak tahu soal adanya paket-paket dalam proses pemilihan anggota BPK. "Tidak ada lobi-lobi apa pun," katanya. Wahyu Tumakaka juga menyangkal masuk "paket" anggota BPK yang berpeluang terpilih. "Soal dinamika di DPR di luar kapasitas saya," ujarnya.
MESKI menguat, Rizal Djalil dan kawan-kawan bukan tanpa tandingan. Belakangan, Koalisi Merah Putih tertarik menduduki pucuk-pucuk pemimpin lembaga auditor negara. Apalagi hampir semua partai memiliki kader yang ikut dalam seleksi tersebut. Selain Rizal, yang kabarnya didukung Partai Amanat Nasional, dan Harry Azhar dari Golkar, Rama Pratama diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Sadar Subagyo disorongkan Partai Gerindra.
Partai Demokrat sempat memajukan dua nama, yaitu Achsanul Qosasi dan Andi Timo. Belakangan, Andi Timo mundur dari persaingan. Partai Persatuan Pembangunan, meski tidak memiliki utusan, tetap punya jagoan yang didorong masuk, yaitu Deputi Politik dan Strategi Dewan Ketahanan Nasional Inspektur Jenderal Rusli Nasution.
Masuknya nama Rizal ke dua kubu itu dibenarkan Mohammad Hatta, anggota Komisi Keuangan dari Partai Amanat Nasional. "Dia didukung semua fraksi," katanya. Dia juga memberi sinyal nama-nama yang berpeluang mendampingi Rizal, yaitu orang pajak, auditor BPKP, dan polisi.
Seorang politikus yang ikut bersaing dalam seleksi BPK mengatakan Koalisi Merah Putih adalah jalan alternatif untuk menjegal paket Rizal. Calon-calon dari fraksi pemilik suara minoritas berharap ada dukungan dari pemimpin koalisi. Mereka tahu betul tak punya posisi tawar seperti calon-calon dari fraksi pemilik suara besar: Golkar, Demokrat, dan PDI Perjuangan.
Namun, menurut dia, pembicaraan soal anggota BPK baru sebatas omongan di tataran petinggi koalisi. "Belum tahu apakah Koalisi Merah Putih bakal solid memperjuangkan paket atau tidak," ucapnya.
Harry Azhar membenarkan kabar bahwa belum ada konstelasi politik yang jelas soal siapa yang akan didukung. Menurut dia, tiap fraksi punya perintah berbeda-beda. "Satu fraksi bisa saja perintahkan pilih tiga nama, dua dibebaskan, itu keputusan tiap partai," katanya.
Bukan hanya tarik-tarikan dukungan partai politik, adanya permainan politik uang juga mewarnai seleksi BPK. Politikus tadi mengatakan sejumlah kandidat dikabarkan sudah siap menggelontorkan uang Rp 15-20 miliar agar bisa terpilih. "Ada yang berani membayar sampai US$ 50 ribu untuk satu suara," ujarnya.
Sadar Subagyo, anggota Komisi Keuangan DPR, mengaku tidak mengetahui soal adanya politik uang. "Soal-soal itu saya tidak tahu." Dengan komposisi yang ada, para roninlah yang akan berperan besar menentukan pemimpin BPK mendatang, bukan partai atau koalisi.
Martha Thertina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo