SHEIK Ahmad Zaki Yamani, Arab Saudi, merangkul Ali Khalifa Al-Sabah, lalu rnenggandeng menteri perminyakan Kuwait itu memasuki Salle de Bal, ruang sidang istimewa OPEC di Hotel Intercontinental, Jenewa, Senin pagi lalu. Sheik Yamani, yang bertekad mempertahankan hara patokan minyak mentah OPEC sebanyak US$ 29 per barel, tampaknya merasa gembira, karena banyak anggota OPEC yang sudah memberi ancer-ancer menurunkan produksinya untuk menolong krisis sekarang. Turun berapa banyak? Itulah yang menjadi pertanyaan banyak orang. Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, yang seperti biasa mengenakan dasi kupu, tidak menyebutkan jumlah yang pasti. "Akan terjadi suatu pemotongan yang moderat," katanya. Tapi, menurut Subroto, yang dalam sidang istimewa sekarang tampil sebagai ketua OPEC - karena ketua yang lama dari Libya mengundurkan diri - pengertian "moderat" itu "sudah barang tentu tidak akan sampai tiga juta barel". Sidang yang dipimpin Menteri Subroto mulai pukul 10.00 sampai 13.00 memutuskan tiga masalah penting: mempertahankan harga patokan Arabian Ligh Crude (ALC) dengan pemotongan kuota produksi, memulihkan kredibilitas OPEC dengan kembali mengimbau ke-13 anggotanya untuk mematuhi konsensus, dan membicarakan masalah diferensial harga antara minyak ringan dan minyak berat. Akan halnya masalah pertama, menurut Subroto, boleh dibilang sudah menjadi konsensus sidang, sekalipun Nigeria - yang secara sepihak sudah menurunkan harga patokan minyak jenis Bonny dengan dua dolar menjadi US$ 28 per barel - tidak akan mengubah keputusannya. Nigeria, yang diwakili Menteri Perminyakan Tam DavidWest, Senin pagi itu juga meminta pengertian kepada rekan-rekannya, jika negerinya yang masih dilanda kesulitan ekonomi itu tak ikut ambil bagian dalam penurunan kuota produksi. "Kehilangan satu barel saja berarti bunuh diri bagi kami," katanya. Menteri perminyakan Arab Saudi, SheikZaki Yamani, yang selama sidang tak lupa memegang tasbih, kabarnya mengangguk-angguk. Pekan lalu, anggota senior OPEC itu terbang ke Lagos, ibu kota Nigeria, dan berbincang-bincang dengan Presiden Bukhari. Dalam sidang babak pertama pagi itu, yang menurut Subroto berlangsung "sopan", para menteri OPEC tampaknya akan membiarkan sikap Nigeria yang keras, dan akan meninjaunya lagi dalam pertemuan reguler OPEC pada pertengahan Desember tahun ini di Jenewa. Indonesia, yang seperti Nigeria amat tergantung pada uang minyak untuk membiayal pembangunannya, kalau bisa juga ingin mempertahankan kuota produksinya yang 1,3 juta barel sehari. Beberapa anggota yang pada prinsipnya sudah siap mengurangi kuota adalah Libya dan Venezuela, masing-masing dengan 100.000 barel. Kuwait antara 100.000 dan 150.000 barel, dan Aljazair 50.000 barel. Meksiko, yang bukan anggota OPEC, juga sudah menyatakan kesediannya mengurangi produksinya paling sedikit 100.000 barel. Sedangkan anggota non-OPEC yang lain, Mesir, yang diwakili sendiri oleh Menteri Perminyakan dan Mineral Abdel Hadi Kandil, sebagai peninjau, turut bersimpati, dan berjanji akan mempertahankan harga minyak yang kini berlaku dinegerinya. Adapun Arab Saudi, yang pernah memproduksi di atas 10 juta barel, tapi sekarang menghasilkan sekitar 4,5 juta barel sehari, dipastikan akan ambil peranan yang paling penting. Saudi kabarnya akan mengurangi lagi produksinya dengan 1 juta barel sehari, menjadi 3,5 juta barel. Pukul rata penurunan kuota total OPEC akan berkisar pada angka 1,5 juta barel, sehingga menjadi 16 juta barel sehari. Tapi ada satu soal lain yang tampaknya bisa mengganggu sidang, kalau dari sekarang tidak diperhatikan: masalah diferensial harga minyak. Masalah diferensial harga, yang sudah ditinggalkan OPEC, kembali menarik perhatian, ketika dunia industri lebih suka membeli minyak "berat", yang lebih murah dibandingkan minyak "ringan", terutama di pasaran spot (tunai). Diferensial atau selisih harga antara kedua jenis minyak itu sampai mencapai tiga dolar. Itu pula sebabnya penghasil minyak ringan (light crude), seperti Norwegia dan Inggris, yang disusul oleh Nigeria, pada menurunkan harganya. Di antara kelompok negeri Teluk, yang paling merasa sakit adalah Persatuan Emirat Arab, penghasil minyak ringan Murban. Bisa dimengerti kalau menteri perminyakan PEA, Dr. Mana Saeed AlOtaiba, minta perhatian sidang untuk memasukkan masalah diferensial harga dalam agenda. Masalah tersebut makin terasa ketika Arab Saudi, yang banyak memproduksi minyak berat, memutuskan untuk menaikkan proporsi jenis minyak berat (heavy crude) dalam paket ekspornya, antara 20% dan 35%, yang mengakibatkan harga resminya turun dengan 50 sen dolar per barel. Sheik Yamani kabarnya merasa keberatan kalau selisih harga antara minyak berat dan ringan itu diperkecil sekarang juga. Sebab, menurut Yamani, yang kini paling utama untuk diatasi OPEC adalah mempertahankan harga patokan dengan mengurangi jatah produksi. Sebulan lalu, selisih harga antara Arabian light dan Arabian heavy masih mencapai 75 sen dolar di pasaran spot. Tapi, lebih dari sepekan lalu, selisih tadi membesar menjadi sekitar US$ 1,70 per barel, ketika harga ALC di pasaran spot berkisar antara US$ 28 dan US$ 28,35, sedangkan untuk Arabian heavy antara US$ 26,25 dan US$ 26,70. Dan Senin lalu, berbarengan dengan pembukaan sidang istimewa OPEC, harga ALC di pasaran spot menjadi US$ 28,05-US$ 28,30, sedang untuk yang jenis berat, US$ 26,60-US$ 26,75. Apakah sidang istimewa yang diperkirakan memakan waktu lebih lama dari sidang-sidang reguler OPEC akan keluar dengan suatu formula baru yang memperkecil diferensial harga, masih harus ditunggu. Tapi, menurut beberapa anggota delegasi, masalah diferensial yang ramai diulas pers Barat masih bisa ditunda. Paling tidak sampai bulan Desember, ketika musim dingin mulai menyelimuti Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini