ABU dan puing sudah disingkirkan dari Pasaraya Sarinah Jaya (SJ) yang terbakar pekan lalu. Tetapi suasana prihatin masih terbaca di kantor pusat grup usaha itu di kawasan industri Pulogadung, Jakarta, hingga awal pekan ini. "Pukulan ini terasa berat, karena justru terjadi di saat menjelang peak season," kata Abdul Latief, direktur utama perusahaan itu, kepada TEMPO. Maksudnya, ia kehilangan peluang emas di saat minat dan daya beli biasanya meningkat pada akhir tahun. Tampaknya, bukan kerugian materiil yang terutama mengganggu Latief. Melainkan, "Putusnya hubungan dengan konsumen." Paling tidak, hubungan itu baru bisa dipulihkan setelah Agustus tahun depan, waktu yang dijadwalkannya untuk merampungkan bangunan fisik gedung yang hangus itu. Evaluasi yang dilakukan konsultan terhadap kerugian fisik baru dimulai pekan ini. Ada dua langkah yang diambil Latief setelah musibah: program penyelamatan dan program rehabilitasi. Terhadap lebih dari 1.200 karyawan yang mendadak menganggur, ia membayarkan gaji penuh bulan Oktober, dan mengumumkan libur sampai 8 November. "Tidak akan ada pemutusan hubungan kerja," katanya. Setelah itu, mereka akan disebar ke berbagai cabang usahanya. Sebagian akan dilibatkan dalam program pendidikan, antara lain bahasa Inggris, komputer, dan accounting. Untuk program belajar ini, Latief mengundang antara lain tenaga pengajar dari Singapura dan Hong Kong. SJ juga tidak mau kehilangan kontak dengan penyuplainya - sekital 2.000 produsen kecil dengan omset rata-rata di bawah Rp 1 juta. "Bahkan kami berusaha membuka order baru," kata Latief. Ia memang sudah menerima tawaran alternatif tempat berjualan, antara lain di Arena Pekan Raya Jakarta. Uluran tangan, baik dari pihak resmi maupun swasta, tampaknya turut membesarkan hati pendiri Hipmi ini. "Solidaritas itu mengharukan," katanya. Ia juga sedang mempertimbangkan berbagai saran dalam merehabilitasikan SJ. Termasuk yang menyangkut konstruksi gedung dan usaha pengamanan. Mengenai konstruksi "masif" ST yang disesalkan beberapa pengamat, Latief mencoba menjelaskan "konsep dasar"-nya. Bentuk masif itu, katanya, justru mencegah penularan api ke bangunan lain. Ia sangat bersyukur musibah itu tak sampai menimbulkan korban jiwa. Padahal, menurut taksirannya, pada saat kebakaran sekitar 9.000 pengunjung berada di gedung itu, 70% di antaranya wanita dan anak-anak. Apakah kebijaksanaan perusahaan berubah setelah kebakaran ini? Tampaknya tidak. Go public, kata Latief, baru akan dimulai pada 1990, serentak dengan modernisasi. Ia membagi perjalanan usahanya dalam tiga tahap: perintisan (1974-1985), tinggal landas menuju modernisasi (1985-1990), dan setelah itu modernisasi. Latief memulai usahanya dengan mendirikan PT Latief Marda Corporation (1972), kemudian PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya. Modalnya dikumpulkan sendiri, plus kredit komersial Rp 30 juta dari BDN. Pada 1974, ia melangkah dengan Pasaraya Sarinah Jaya, yang disebutnya "toserba bergaya Indonesia". Setahun kemudian ia membuka SJ di Singapura. Berturut-turut menyusul PT Tata Disantara (Tata Distribusi Sistem Nusantara), PT Medina Bhakti (perkebunan), PT Pola Diteksa Satria (buku), PT Promosindo Maju (periklanan), Pasarprima PT Paspri Al Marda (eceran), PT Asuransi Dara Kemala (asuransi), dan Yayasan Alam (pendidikan). Kini Latief melangkah ke usaha peternakan udang di Ujungpandang. Masa memulihkan musibah kebakaran ini juga hendak dimanfaatkan Latief menggalakkan kegiatan Yayasan Alam (Abdul Latief & Abdul Muthalib, adiknya). Terutama di bidang pendidikan. Muthalib, bekas dosen ilmu politik itu, bergabung dengan abangnya pada 1975, dengan memulai karier sebagai pramuniaga. Lalu, apa yang diharapkannya dari asuransi? Latief tak mau berkomentar, apalagi menyebut angka. Tetapi, sebuah sumber memperkirakan jumlah pertanggungan Rp 10 milyar, dan menyebut perusahaan asuransi Jasa Indonesia sebagai pihak penanggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini