Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berwisata ke Dapur Donat

Sebuah perusahaan donat rumahan memilih cara pemasaran yang unik.

12 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kali ini kita berwisata ke dunia donat. Country Donuts Lestari mempunyai cara unik untuk memasarkan barang dagangannya. Mereka menggelar acara program pendidikan dan kunjungan perusahaan (visiting company and education program) untuk tangan-tangan kecil alias murid taman kanak-kanak, yang sudah pasti penggemar fanatik donat atau penganan manis lainnya.

Pabrik donat kelas rumahan (home industry) itu memang kerap dikunjungi anak sekolah. Dalam sepekan, sedikitnya 100 siswa TK dan SD ikut nyemplung ke dapur. Mereka datang bukan untuk bermain-main. Bocah-bocah itu berpraktek membuat kue sendiri, dipandu sejumlah instruktur. Setelah kue jadi, mereka boleh langsung menyantapnya.

Khoerrusalim, 47 tahun, pemilik pabrik, tak memungut biaya tinggi untuk program itu. Cukup dengan Rp 25 ribu, anak-anak juga akan mendapat satu paket berisi lima donat untuk dibawa pulang.

Bisa dibayangkan suasana riuh-rendah memenuhi Country Donuts Lestari, dua pekan lalu. Saat itu pabrik donat di Ciracas, Jakarta Timur, ini tengah dikunjungi murid Taman Kanak-kanak An Nahl, Jati Bening, Bekasi.

Khoerussalim ingin menciptakan kegiatan yang merangsang kreativitas anak dengan menyulap lahan seluas 1.000 meter persegi miliknya menjadi pabrik dan arena outbound bagi anak-anak.

Khoerussalim adalah alumnus Fakultas Syariah Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta (1991) dan Filsafat UGM (1993) yang ingin anak-anak dididik mandiri. ”Bermental pengusaha, wiraswastawan, bukan karyawan,” katanya.

Ia merintis usaha donat sejak 2000 dengan modal Rp 10 juta. Uang itu digunakan untuk membeli berbagai peralatan. Ia pun merekrut seorang kawan yang piawai dalam soal dapur donat. Salim sendiri bertugas menjajakan produk dari rumah ke rumah. Hasilnya, dalam sehari bisa terjual 200 hingga 300 buah donat seharga Rp 1.000 per buah.

Nama Country Donuts muncul spontan. Ia ingin dagangannya diberi nama yang mudah diingat orang. Memang kita juga mengenal Country Style Donuts, waralaba asal Kanada. Tapi Salim tak merasa menconteknya.

Dua tahun berselang, Country Lestari melebarkan sayap ke Surabaya dan Bandung. Tak lama kemudian, mereka mencoba bisnis waralaba ke Cirebon, Yogyakarta, dan Semarang. Kini Country Lestari memiliki sembilan mitra waralaba yang tersebar di Medan, Pekanbaru, Batam, Sidoarjo, Malang, dan Makassar. Pada akhir tahun lalu, Salim memboyong pabriknya yang di Pondok Gede ke Ciracas. Konsep berdagang dari rumah ke rumah masih berlanjut. Di setiap cabang dan jaringan waralaba, Country Lestari hanya mendirikan pabrik dengan sejumlah penjaja. ”Konsep kami memang tanpa gerai,” tuturnya.

Untuk ukuran bisnis rumahan, Country Lestari tergolong cekatan mendapatkan pembeli. Melalui 12 pabrik dan mitra waralaba, saban hari terjual 15 ribu hingga 20 ribu donat seharga Rp 2.500 per buah. Khusus bisnis waralaba, Salim mematok fee Rp 75 juta atas merek dagang, label, dan kemasan. Bila ingin lengkap dengan mesin dan segala peralatan, sang mitra mesti menyetor Rp 200 juta.

Dari sini Country Lestari akan mendapat bagi hasil enam persen jika omzetnya lebih dari Rp 30 juta sebulan. Namun, bila tidak mencapai itu, tak ada kewajiban menyetor. Paling, hanya mengganti biaya bahan baku yang sebagian dipasok dari Jakarta.

Sayang, kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir 2005 sempat membuat bisnisnya jeblok. Pasalnya, harga bahan baku terus melonjak. ”Saat itu saya klojotan,” katanya.

Tapi Salim bertekad, tahun ini adalah kebangkitan. Memang, omzetnya saat ini belum pulih seperti sebelum kenaikan harga BBM. Saat itu, produksinya bisa mencapai 60 ribu sehari. ”Makanya, kudu pinter-pinter cari akal,” katanya. Keunikan cara pemasaran memang penting, terutama dengan datang dan lahirnya berbagai merek donat dari luar negeri yang kini tengah digemari anak-anak muda.

Apalagi bisnis donat rumahan tengah menjamur dalam dua tahun terakhir. Salah satunya Iqbal, 33 tahun. Pemilik pabrik Salwa Donat di Citereup, Jawa Barat, ini berbisnis donat rumahan sejak 10 tahun lalu. Omzetnya juga tak kalah seru: Rp 13 juta sehari, dari penjualan 22 ribu donat.

Selain itu, para pengusaha donat rumahan ini harus bersaing dengan produsen donat franchise dari luar negeri. Itulah sebabnya Khoerrusalim membalik 180 derajat konsep promosi yang biasanya memakan biaya tinggi. Melalui promosi dengan membuat acara pendidikan kepada anak-anak, donat rumahan bisa menjadi ladang rezeki.

Retno Sulistyowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus