Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA perempuan itu berbeda polah. Yang satu amat tertutup kepada media, yang lain lagi sering mencuri perhatian juru warta. Krisis yang menerpa Airbus, pabrikan pesawat asal Eropa, mempertemukan keduanya untuk pertama kali. Di Berlin pada Selasa pekan lalu, kanselir perempuan pertama Jerman, Angela Merkel, menerima kunjungan Segolene Royal, calon presiden perempuan pertama Prancis.
Satu setengah jam—lebih lama 45 menit dari yang direncanakan—mereka berbincang, dari isu Airbus, konstitusi Eropa, hingga hubungan bilateral yang akan dibangun bila Royal terpilih menjadi Presiden Prancis, Mei mendatang. Tapi kisruh yang membelit Airbus paling menyedot perhatian keduanya.
Dari pertemuan itu, kedua tokoh ini sepakat agar produsen pesawat yang memiliki 16 pabrik di empat negara itu tidak mengorbankan pekerjanya. Royal bahkan berjanji akan menunda program restrukturisasi bila ia terpilih menjadi Presiden Prancis. Sedangkan Merkel setuju Airbus menjalankan restrukturisasi tanpa harus merumahkan karyawan.
Merkel dan Royal berkepentingan membahas Airbus karena 80 persen saham Airbus dikuasai European Aeronautic Defence and Space Company. Di perusahaan ini, pemerintah Prancis menguasai 15 persen saham. DaimlerChrysler, perusahaan Jerman, memiliki 22,5 persen saham. Dan Lagardere SCA, grup media asal Prancis, mempunyai 7,5 persen saham. Sisanya milik publik.
Pertemuan antara Royal dan Merkel itu hanya satu pekan setelah Airbus mengumumkan rencananya memangkas 10 ribu karyawan. Selama empat tahun ke depan, jumlah pekerja Airbus di Prancis akan berkurang 4.300 orang, disusul Jerman (3.700 pekerja), Inggris (1.600 pekerja), dan Spanyol (400 pekerja).
Menurut Louis Gallois, Chief Executive Officer Airbus, perusahaannya terpaksa mengurangi jumlah pekerja karena harus berhemat US$ 6,57 miliar (Rp 60,32 triliun) hingga 2010.
Untuk memenuhi target itu, Airbus akan menjual pabrik di Laupheim dan Varel (Jerman), serta pabrik di Saint-Nazaire (Prancis). Perusahaan yang bermarkas di Toulouse, Prancis, itu juga akan mencari investor baru untuk mendanai pabrik di Filton (Inggris), Meaulte (Prancis), dan Nordenham (Jerman).
Rencana itu langsung menimbulkan gelombang protes. Di Toulouse, 15 ribu pegawai mogok kerja selama dua jam tak lama setelah rencana pemangkasan diumumkan. Satu hari kemudian, para pekerja di Jerman menggelar aksi serupa. ”Kami menuntut para pemegang saham ikut menyelesaikan krisis keuangan yang terjadi,” kata Ruediger Luetjen, Ketua Serikat Pekerja Airbus Jerman.
Terpuruknya Airbus yang berdiri sejak 1970 itu dipicu oleh tertundanya pengiriman pesawat superjumbo A380 sejak dua tahun lalu. Padahal, dari 2001, ada 176 unit pesawat A380 yang dipesan oleh 16 maskapai penerbangan dunia. Menurut manajemen perusahaan tersebut, pengiriman tersendat karena ada gangguan produksi pada bagian perkabelan.
Akibat penundaan, biaya yang mesti dikeluarkan Airbus itu melonjak jadi US$ 6,6 miliar. Para investor juga tekor US$ 6,3 miliar. Perusahaan itu juga terancam kehilangan pesanan.
Salah satu yang berniat membatalkan pesanan adalah International Lease Finance Corporation. Perusahaan ini tadinya sudah memesan 10 unit A380. ”Tapi kami dapat membatalkannya dan sedang mempertimbangkan pembatalan seluruh atau sebagian pesanan,” kata Steven Udvar-Hazy, CEO International Lease di Los Angeles. Sebagai gantinya, mereka akan memperpanjang sewa Boeing 747.
Untuk mengganti pesawat berkapasitas 555 penumpang yang tak kunjung datang itu, Singapore Airlines juga telah memesan 20 unit Boeing 787-9 senilai US$ 4,52 miliar. Sebelumnya, maskapai penerbangan Singapura itu telah memesan 25 unit superjumbo A380 senilai US$ 8,6 miliar.
Kondisi ini tentu saja menguntungkan buat Boeing, yang selama ini menjadi musuh abadi Airbus. Padahal, sejak 1999, jumlah pesanan pesawat Airbus selalu di atas Boeing. Tapi sejak tahun lalu, produsen burung besi asal Chicago, Amerika Serikat, itu berhasil menyalip Airbus: jumlah pesanannya mencapai 1.050 unit. Bandingkan dengan Airbus yang hanya mendapat order 824 unit pesawat.
Yandhrie Arvian(BBC, Bloomberg, International Herald Tribune)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo