Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OBROLAN santai antara Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dan sejumlah ketua muda di lembaga peradilan tertinggi itu terhenti ketika seorang anggota staf Hatta datang menyela. Masuk ke ruangan Ketua MA di lantai dua gedung Mahkamah Agung sembari membungkuk, anggota staf itu mengabarkan tamu yang dinanti telah tiba. Tamu yang dimaksud tak lain Pragsono, hakim Pengadilan Negeri Semarang yang juga hakim tindak pidana korupsi di pengadilan tersebut.
Bekas Ketua Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah, itu menemui Hatta untuk menjelaskan kasus penangkapan dua hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di depan Pengadilan Negeri Semarang karena kedapatan tengah bertransaksi suap. "Rupanya, sejak awal ia tahu upaya suap itu," kata Djoko Sarwoko, Ketua Muda Pidana Khusus MA, yang juga hadir dalam pertemuan itu, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Pada 17 Agustus lalu, selepas upacara HUT Kemerdekaan Indonesia ke-67, sepuluh penyidik KPK mencokok dua hakim ad hoc Tipikor, Kartini Juliana Mandalena Marpaung dan Heru Kusbandono. Keduanya ditangkap saat bertransaksi suap di halaman Pengadilan Negeri Semarang. Selain menyita mobil Heru dan Kartini yang dipakai transaksi, Komisi merampas duit suap Rp 150 juta dalam paper bag cokelat.
Kartini adalah hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Sedangkan Heru, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak, diduga menjadi makelar perkara sekaligus kurir yang mengantar uang ke Kartini.
Dua jam sebelumnya, penyidik meringkus Sri Dartuti di dekat Bank BCA Kota Semarang. Penangkapan adik Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah nonaktif Grobogan, Jawa Tengah, Muhammad Yaeni, itu tak lama setelah ia menyerahkan uang suap kepada Heru untuk diantar ke Kartini. KPK menduga duit kolekan dari anggota DPRD Grobogan itu untuk menyogok majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor Semarang agar memvonis bebas Yaeni dalam perkara dugaan korupsi pemeliharaan mobil dinas DPRD Grobogan 2006-2008 senilai Rp 1,9 miliar.
Selain Kartini, hakim perkara Yaeni adalah Pragsono dan hakim ad hoc Asmadinata. Pragsono menjadi ketua majelis perkara menggantikan Lilik Nuraini, yang dipindahkan ke Pengadilan Negeri Tondano, Sulawesi Utara, akhir Juni lalu. Lilik dipindah karena terbukti melanggar kode etik lantaran kerap membebaskan terdakwa korupsi di Semarang.
Ketika bertemu dengan Hatta dan sejumlah ketua muda di MA, Pragsono memberikan pengakuan mengejutkan. Ia mengaku hakim yang pertama kali bertemu dengan Heru guna "mengatur" perkara Yaeni. Petinggi MA makin dibuat geleng-geleng kepala ketika Pragsono mengatakan sempat memprotes jumlah duit suap yang awalnya hanya Rp 100 juta. Karena protes itu, Heru menaikkan angkanya menjadi Rp 150 juta.
Pragsono juga mengatakan hakim Asmadinata tahu upaya suap itu. Tiga hakim perkara Yaeni, kata dia, pernah beberapa kali bertemu dengan Heru. Sebelum berpamitan, ujar Djoko, Pragsono mengaku pasrah dan siap jadi tersangka kasus suap itu. Sehari berselang, MA meminta KPK mengusut keterlibatan Pragsono dalam kasus itu. "Seharusnya, kalau sudah tahu upaya suap itu, ia tidak menemui Heru," tutur Djoko.
Sebelum mendatangi petinggi MA, Pragsono menyampaikan pengakuan dosanya itu kepada Wakil Ketua Pengadilan Negeri Semarang Ifa Sudewi lewat pesan pendek tak lama setelah penangkapan Kartini dan Heru. Kepada Ifa, Pragsono mengaku sudah berniat menerima uang itu karena terjepit. "Ia mengaku terus-menerus ditawari uang itu," kata Ifa.
Cerita berbeda disampaikan Heru lewat pengacaranya, Bahari Gultom. Menurut Heru, Pragsono justru yang aktif meminta duit kepadanya. Sehari sebelum penangkapan, ia meminta Heru menyerahkan duit kepada Kartini di salah satu restoran di Semarang. Heru menolak karena tempat itu terlalu ramai. Keesokan harinya, Pragsono menelepon Heru agar mengantar duit ke pengadilan sebelum ia pergi ke bandar udara. "Uangnya nanti diserahkan ke Kartini, ya?" begitu permintaan Pragsono kepada Heru seperti dituturkan Bahari.
Bukan hanya Pragsono, menurut Bahari, keterlibatan Asmadinata dalam kasus ini juga terang. Hakim ad hoc dari jalur pengacara ini dianggap sejak awal tahu persis rencana "pengaturan" perkara Yaeni. Selama bertugas di Pengadilan Tipikor Semarang, sedikitnya empat kali Asmadinata menjadi mitra Kartini memvonis bebas terdakwa korupsi. Selain beberapa kali bertemu dengan kliennya, kata Bahari, Asmadinata diplot mendapat jatah suap itu. "Mereka yang aktif," ujarnya.
Penyidik KPK pada Senin pekan lalu memeriksa Pragsono dan Asmadinata di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Seusai pemeriksaan, kepada wartawan, Pragsono tak membantah tahu bakal adanya suap dari Yaeni. Ia siap dipecat dan dijadikan tersangka jika terbukti bersalah. Sedangkan Asmadinata buru-buru menghindar. "No comment." Karena keterlibatan mereka mulai terang, Rabu pekan lalu KPK meminta Imigrasi mencegah keduanya bepergian ke luar negeri.
Seorang hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang mengatakan bukan hanya majelis perkara Yaeni yang diduga terlibat "pengaturan" perkara yang berujung pada suap. Ia pun menyebutkan keterlibatan Ketua Pengadilan Negeri Semarang yang juga Ketua Pengadilan Tipikor Semarang, Sutjahjo Padmo Wasono. Ketua pengadilanlah yang menunjuk tim Kartini menangani perkara itu. "Sejak berkasnya lengkap, Heru sudah meminta perkara itu ditangani tim Kartini," tutur hakim ini.
Indikasi lain, kata dia, ketua pengadilan masih ngotot mempertahankan Kartini dan Asmadinata di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Padahal MA sudah menerbitkan surat keputusan kepindahan dua hakim itu sejak 9 Agustus lalu. Kartini dipindah ke Pengadilan Negeri Gorontalo dan Asmadinata ke Pengadilan Negeri Ambon. "Karena ketua pengadilan tahu keduanya hakim setengah pengacara," kata dia, "maksudnya hakim yang juga senang membela terdakwa."
Djoko Sarwoko juga mencium gelagat keterlibatan ketua pengadilan. Pada akhir Maret lalu, tak lama setelah tim Kartini memvonis bebas bekas Bupati Sragen Untung Wiyono, ia meminta Wakil Ketua Pengadilan Negeri Ifa Fatimah tidak menempatkan Lilik, Kartini, dan Asmadinata dalam satu tim majelis hakim. Tapi permintaan Djoko ini tak bisa dijalankan Ifa. Kepada Djoko, Ifa mengatakan ketua pengadilan berkeras tak mau merombak tim itu. "Ini kan aneh," katanya.
Menurut sumber Tempo, keterlibatan Lilik dalam kasus ini tak bisa dipandang sebelah mata. Dalam kasus Ketua DPRD Grobogan, menurut dia, Lilik sebagai ketua majelis awal perkara pasti tahu skenario rekayasa perkara itu. Ia juga yang memutuskan Yaeni tak ditahan selama persidangan.
Sutjahjo membantah jika disebut ikut "mengatur" perkara Yaeni. Pembagian perkara ke tim, kata dia, sudah adil dan tidak berdasarkan pesanan. Ia juga mengaku tak mengenal Heru. Ditemui Tempo di kantornya di Pengadilan Negeri Tondano, Lilik juga membantah terlibat "pengaturan" perkara Yaeni. Ia baru tahu adanya suap setelah penangkapan Kartini. "Saya tak mengenal Heru dan tak dekat dengan Kartini," ujar Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tondano ini.
Ketua Bidang Pengawasan Hakim Komisi Yudisial Suparman Marzuki menilai Kartini dan Heru hanya bagian kecil mafia perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Pihaknya, kata dia, tengah mengusut tuntas jaringan Kartini ini. Tim Kartini, ujar dia, tak pernah tersentuh pengawasan internal pengadilan kendati kerap membebaskan terdakwa korupsi. "Tapi akhirnya mereka kena batunya," tutur Suparman.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto berjanji akan menelisik keterlibatan semua hakim dalam kasus suap yang melibatkan Kartini dan Heru. Komisi juga akan menelisik apakah suap itu hanya Rp 150 juta. "Terus kami dalami keterlibatan mereka," ujar Bambang. Tak terkecuali, kata dia, orang yang diduga memerintah suap.
Soal siapa yang menyuruh suap, kepada penyidik KPK, Heru mengaku dimintai bantuan Yaeni untuk "mengatur" perkaranya. Setelah ada permintaan uang dari hakim, kata Heru, Yaeni menyuruhnya mengambil duit sogokan hakim ke Sri Dartuti. Pengacara Heru, Bahari Gultom, tak membantah cerita itu. Menurut Bahari, Heru hanya membantu karena ia sudah berteman lama dengan Yaeni. "Jadi, yang punya inisiatif menyuap itu Yaeni," katanya.
Dituduh seperti itu, Yaeni langsung berkelit. Politikus PDI Perjuangan ini mengaku tak pernah meminta Heru menyuap hakim. Ia juga mengaku kenal Heru hanya sebatas teman. Setelah penangkapan itu, majelis perkara kasus Yaeni, minus hakim Kartini, langsung tampil garang. Senin pekan lalu, majelis yang dipimpin Pragsono memvonis Yaeni 2 tahun 6 bulan penjara.
Anton Aprianto (Jakarta), Rofiudin (Semarang), Isa Anshar Jusuf (Tondano)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo