Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bila ptp terus merugi

Seluruh pt perkebunan merugi rp 25 milyar. wardoyo mengundang swasta untuk membeli sebagian saham milik ptp. sumarlin tak setuju.

15 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Pertanian Wardoyo mengumumkan sebuah berita yang tak enak awal pekan lalu. Usai berjumpa dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, Wardoyo mengungkap jumlah kerugian yang diderita perkebunan Pemerintah sepanjang tahun 1991. Kerugian itu hampir Rp 25 milyar. Menurut Menteri, gagalnya proyek perluasan penanaman kelapa sawit, kakao, dan karet oleh PT Perkebunan (PTP) di Irian Jaya (PTP II), Kalimantan Timur (PTP VI), dan Kalimantan Barat (PTP VII merupakan sebab-sebab utama. Selain itu harga hasil bumi di pasaran internasional terus merosot. Untuk mengatasinya Pemerintah berniat mengadakan kerja sama dengan pihak swasta. Presiden Soeharto sendiri, kata Wardoyo, menyetujuinya. Tapi caranya bagaimana? Wardoyo mengajukan gagasan untuk mengundang saham swasta ke dalam badan usaha milik negara (BUMN) itu. "PTP kesulitan dana untuk mengembangkan proyek-proyeknya. Oleh sebab itu kita memerlukan dana dan tangan swasta untuk ikut serta menjalankannya," kata Wardoyo. Agaknya ia terkesan oleh gerak perkebunan swasta yang berkembang pesat. Swasta menguasai 8,6% dari total areal perkebunan di Indonesia yang hampir 12 hektare. Sedangkan PTP hanya memiliki 7.6%, sisanya perkebunan rakyat. Menurut Wardoyo, bukan hanya lahannya yang bertambah, kemandiriannya pun semakin tangguh. Contohnya, Torganda yang berhasil membangun pabrik pengolah sawit. Sewaktu mulai beroperasi tahun 1981, Torganda hanya menanami areal seluas kira-kira 5,5 hektare. Panen pertama (1984) cuma memetik 1.600 ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Tahun-tahun berikutnya arealnya terus ditambah hingga menjadi sekitar 9.000 hektare. Panennya pun meningkat hingga hampir 200 ribu ton pada 1991. "Tenaga kerja yang terserap kira-kira 3.000 orang," kata Dirut Torganda Raja D.L. Sitorus. Dulu Torganda menjual TBS-nya ke perusahaan lain untuk diolah. Kini, setelah merasa kuat, Torganda mendirikan pabrik untuk mengolah sendiri kelapa sawitnya menjadi minyak sawit kasar (CPO) dan minyak inti sawit (kernel), yang selanjutnya dipasarkan ke dalam dan luar negeri. Tiap tahun pabrik ini akan memproduksi 36 ribu ton CPO dan 9 ribu ton kernel. "Berarti akan menghasilkan devisa US# 19,5 juta." Nah, ini justru perhitungan Wardoyo, bukan Sitorus. Contoh perkebunan swasta lain yang sukses bisa dilihat di PT Gunung Madu Ptantations, perkebunan tebu di Lampung Tengah. Menurut Gunawarman, salah seorang manajer perusahaan itu, Gunung Madu menggarap perkebunan tebu seluas 19 ribu hektare dan memanen 1,4 juta ton per tahun. Gunung Madu juga memiliki pabrik gula sendiri yang mampu menghasilkan 100 ribu ton gula setiap tahun dan dipasarkan lewat Badan Urusan Logistik (BULOG). Tenaga kerja lepas yang terserap mencapai 10 ribu buruh pemotong tebu. "Karyawan tetap berjumlah 1.800 orang. Mereka mendapat sejumlah fasilitas, seperti perumahan dan tunjangan kesehatan," kata Gunawarman. Banyak yang mengakui, swasta memang lebih lincah menjalankan roda perusahaan daripada perusahaan Pemerintah. Tampaknya, itu pula yang mendorong Pemerintah mengajak swasta untuk menebus kerugian Rp 25 milyar tadi. Namun, bagi Direktur Utama PTP XXIXXII di Jawa Timur, H.F.B. Surbakti, menjual saham kepada swasta sama halnya dengan menodai fungsi BUMN sebagai agen pembangunan yang memiliki komitmen untuk membantu rakyat banyak, seperti melaksanakan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). "Tugas ini tidak dibebankan kepada swasta," begitu alasan penolakan Surbakti. Langkah yang baik, menurutnya, adalah membebaskan PTP dari birokrasi yang selama ini menghambat. "Bayangkan, untuk menambah modal saja kita harus minta izin pada Menteri Keuangan, untuk bergerak harus izin pada Menteri Pertanian. Padahal prosesnya lama dan belum tentu diizinkan. Itu sebabnya BUMN jauh ketinggalan dari swasta," kata Surbakti. Senada dengan pernyataan itu, dalam sebuah seminar di Inggris beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin juga menegaskan tak akan menjual saham BUMN seperti yang disarankan Wardoyo. Tapi Pemerintah membuka kesempatan bagi investor swasta nasional maupun asing untuk memasuki sektor-sektor yang selama ini didominasi BUMN perkebunan. Artinya, BUMN terpacu untuk bersaing. Tentang perbedaan pandangan itu Wardoyo berucap, "Saya tidak mengatakan menjual saham Pemerintah, melainkan mengundang saham swasta. Artinya, menyertakan modal swasta untuk mengembangkan proyek-proyek PTP." Orang awam mungkin agak sulit membedakan istilah "menjual" dan "mengundang". Tapi bekas direktur Pembinaan BUMN, Fuad Bawazier, menafsirkannya begini. PTP menerbitkan saham baru, lalu menawarkannya pada siapa saja, termasuk swasta. "Ini bukan berarti menjual saham Pemerintah, melainkan hanya mengubah struktur permodalan," ia memaparkan. Kalau tafsiran Fuad benar, maka swasta diharapkan melakukan penyertaan modal. Sebaliknya, Pak Sumarlin cenderung swasta terjun langsung ke perkebunan, tanpa menitipkan modal mereka ke PTP milik Pemerintah. Dan hal inilah yang memang sedang terjadi sekarang dan akan terus terjadi. Priyono B. Sumbogo, Ivan Harris, dan Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus