SETELAH ''tidur" panjang sejak krisis Juli 1997, pasar obligasi menggeliat bangkit. Bisnis surat utang itu bangun lantaran dipicu banyak faktor. Yang terpenting adalah kurs rupiah yang menguat di angka 7.000-an dan terus stabil di posisi itu sejak Mei lalu. Suku bunga perbankan yang terus turun sejak April 1999—dari 35 persen menjadi hanya 13 persen—juga menyebabkan orang melirik lagi ke obligasi. Selain pasar bertumbuh, sudah banyak juga perusahaan yang berancang-ancang menerbitkan obligasi baru. Menurut Pefindo, perusahaan pemeringkat Indonesia, setahun ke depan ini ada sekitar 15 perusahaan yang menyiapkan obligasi baru senilai Rp 12,5 triliun sampai Rp 15 triliun.
Itu jumlah yang relatif besar. Sebab, selama krisis dua tahun terakhir ini, praktis cuma dua perusahaan yang menerbitkan obligasi, yaitu Perum Pegadaian (BUMN) dan Astra International. Pasar sekunder obligasi juga rontok. Nilai obligasi jatuh jauh di bawah nilai parinya (nilai nominal). Malah, ada obligasi yang dijual dengan diskon sampai 90 persen dan investor harus ''berdarah-darah" menanggung kerugian yang sangat besar akibat emiten (perusahaan penerbit obligasi) default alias gagal membayar bunga dan menebus surat utangnya. Kini suasana lebih baik. Surat utang baru diterbitkan, pasar sekunder pun bergerak lagi. Harga obligasi telah banyak yang mendekati nilai parinya atau bahkan tak sedikit yang harganya sudah di atas nilai pari.
Perum Pegadaian, contohnya, kembali mencoba bermain di pasar obligasi dengan menerbitkan obligasi Pegadaian VI. Nilai emisinya pun lumayan besar, yaitu Rp 135 miliar, dengan jangka waktu delapan tahun. Rencananya, obligasi Pegadaian akan dicatatkan di Bursa Efek Surabaya bulan depan. Perusahaan lainnya adalah Bank NISP, yang meluncurkan obligasi Rp 500 miliar dengan jangka waktu lima tahun. Perusahaan penerbit obligasi (issuer) lain yang diberitakan akan menyusul di antaranya Sampoerna, perusahaan rokok di Surabaya, yang akan menjual surat utang senilai Rp 1,5 triliun. Tjiwi Kimia, perusahaan pulp dan kertas milik konglomerat Eka Tjipta, juga akan meluncurkan obligasi senilai Rp 2 triliun. Indah Kiat dan Bank Panin kabarnya juga sedang antre.
Apa penyebab perusahaan menoleh lagi kepada obligasi sebagai salah satu sumber modal? Jawabannya: belum banyak bank yang bersedia mengucurkan kredit karena risikonya tinggi, terutama sejak krisis. Kalaupun ada bank yang memberikan pinjaman, suku bunganya dipatok tinggi untuk menutup risiko tadi. Saat ini, suku bunga pinjaman yang paling murah sekitar 20 persen. Bunga setinggi itu masih terasa mahal karena krisis memang menyebabkan banyak perusahaan Indonesia tak mampu mencatat laba yang memadai. Tak aneh kalau masih banyak perusahaan Indonesia yang belum mampu meng-cover pinjaman berbunga tinggi.
Sementara itu, mencari utang ke luar negeri juga hampir tak mungkin dilakukan perusahaan Indonesia. Sejak krisis menerpa Indonesia pada awal Juli 1997, kepercayaan luar negeri kepada perusahaan Indonesia merosot, sama halnya dengan kemampuan membayar utang luar negeri yang juga jeblok. Sejauh ini, perusahaan yang berhasil menyelesaikan utang swastanya baru beberapa, di antaranya Astra International atau H.M. Sampoerna.
Karena buntu di mana-mana itulah obligasi menjadi alternatif yang menarik bagi perusahaan yang hendak melakukan ekspansi. Misalnya, kalau emiten mau memasang bunga 1,5 sampai 2 persen di atas JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate), harga kupon (bunga obligasi) tetap tak akan melebihi suku bunga kredit alias tetap masih lebih murah. Apalagi, trend suku bunga belakangan ini cenderung turun terus. Bahkan, banyak yang meramalkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) bakal turun hingga di bawah 10 persen.
Di sisi para pemilik uang, turunnya suku bunga pinjaman juga mendorong mereka mencari investasi yang lebih menguntungkan. Bagi investor kakap—misalnya lembaga dana pensiun, reksadana, atau asuransi—menempatkan dana di SBI ataupun deposito jelas sudah tak menguntungkan karena bunganya rendah. Saham juga bukan alternatif yang menarik karena jauh lebih fluktuatif ketimbang obligasi. Wajarlah kalau obligasi menjadi salah satu pilihan. Sebab, investor pasti untung dari pembayaran bunganya. Investor juga masih punya peluang mendapatkan keuntungan dari penjualan obligasinya di pasar sekunder.
Sambutan terhadap terbitnya surat-surat utang baru ini memang cukup bagus. Menurut Desimon, Firm Manager PT Danareksa, pasar sangat antusias menubruk obligasi-obligasi baru. Obligasi Pegadaian VI senilai Rp 135 miliar, misalnya, kelebihan permintaan (oversubscribed) besar sekali. Sebagai salah satu dari tiga underwriter (penjamin) untuk obligasi Perum Pegadaian, Danareksa sudah mendapat pesanan Rp 200 miliar, padahal jatah Danareksa cuma 37 persen dari Rp 135 miliar itu. Belum diketahui bagaimana posisi penawaran dua penjamin Pegadaian yang lain, yakni Sigma Batara dan Artha Advisindo Sekuritas.
Tjiwi Kimia, Indah Kiat, dan H.M. Sampoerna kemungkinan besar juga bakal sukses menangguk dana dari pasar surat utang ini, setidaknya jika dilihat dari rating obligasi yang dikeluarkan perusahaan yang menerbitkan obligasi ini. Dua obligasi terakhir yang dikeluarkan Pegadaian, oleh Pefindo, diberi rating A dan A-minus. Sedangkan obligasi Tjiwi Kimia I diberi rating A-minus.
Siapa tahu kesulitan modal bisa sedikit ditambal dari pasar obligasi ini, sambil menunggu krisis benar-benar berlalu dan, tentu saja, menanti beleid ekonomi pemerintah baru nanti.
M. Taufiqurohman, I G.G. Maha Adi, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini