SETELAH majelis Hukim pada Pengadilan Negeri Jember bersidang
untuk ke duapuluh kalinya, para tertuduh dalam perkara
pembunuhan di desa Wringintelu dijatuhi hukuman (TEMPO 17
Agustus 1974). Mereka masing-masing dijatuhi hukuman penjara
lima tahun, segera masuk, dipotong masa tahanan. Vonis
dijatuhkan Oktober lalu, sekalipun sejak sidang pertama sampai
sidang terakhir ini ke lima tertuduh masih tetap menolak tuduhan
sebagai yang melakukan pembunuhan. Tapi majelis punya pendapat
lain, mereka terbukti bersalah melakukan pembunuhan baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Cocok dengan pasal 340 jo
pasal 5 5 KUHP.
Sejak sidangnya yang pertama, para tertuduh menolak hasil
pemeriksaan pendahuluan Komdak X Jawa Timur. "Mungkir adalah hak
mereka", tutur Hakim Ketua Ny. Harini Wiyoso SH kepada pembantu
TEMPO, "tetapi sidang inilah yang akan membuktikannya". Tapi
mengapa sampai proses verbal itu bisa dirangkaikan demikian rapi
hingga bisa menjadi cerita yang menarik? Kata terdakwa I.
Soewarno "Selama dalam pemeriksaan Komdak X, kami digebuki baik
dengan kayu, besi sampai pemukul plastik yang diisi pasir atau
cuma tangan biasa dengan variasi sulutan-sulutan puntung rokok.
Rekonstruksi yang diadakan di Wringintelu, berada di bawah
ancaman alias didikte". Keterangan tertuduh I ini diiyakan ke
empat tertuduh lainnya.
"Kalau saudara digebuki, kalau saudara didikte, mengapa saudara
mengakui saja proses verbal itu dalam pemeriksaan Kejaksaan?",
tanya Jaksa Slamet Soegiyanto. "Kami takut dikembalikan ke
Komdak", kata mereka bersama-sama. Mereka takut bayangan akan
digebuki. Dan mereka menganggap di depan sidang pengadilan bisa
mengatakan hal sebenarnya. Bahwa mereka tidak melakukan
pembunuhan.
Bunuh Diri?
Misteri pembunuhan itu terjadi 28 Juni 1974 ketika di desa
Wringintelu Kecamatan Puger, Kabupaten Jember tengah
dilangsungkan Pertemuan Nasional Kontak Tani. Sehari sebelum
penutupan, di sebuah kandang penduduk sana tahu-tahu ditemukan
sesosok mayat ketika masyarakat dan kebanyakan peserta yang
datangnya dari seluruh pelosok Indonesia tengah bersembahyang
Jumat. Korban sendiri akhirnya diketahui bernama Matsaleh,
anggota kontingen Jawa Timur yang berasal dari desa Sungai
Lebak, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten Lamongan. Menurut
pemeriksaan sementara, korban tewas karena bunuh diri.
Tetapi Komdak X Jawa Timur yang akhirnya menangani peristiwa ini
mempunyai pendapat lain: Maka diangkutlah para anggota kontingen
Jawa Timur yang berasal dari dari Kabupaten Lamongan. Tiga bulan
kemudian terbongkarlah misteri kematian Matsaleh ini. Versi
Komdak X bagian Reskrim menyatakan kesimpulan bahwa korban
ternyata "dikerjai" bersama-sama. Begini.
Pada waktu itu, ketika Matsaleh hendak berangkat ke mesjid,
korban diajak kembali ke rumah pondokannya oleh Abdul Kadir
(terdakwa III) karena ada sesuatu yang tertinggal. Kemudian
berangkat lagi memintas lewat samping rumah. Abdul Kadir
berjalan di belakang, Matsaleh di depan. Setiba di belakang
kamar mandi tempat pondokan mereka, tiba-tiba Kamid (terdakwa V)
memukulkan sebuah bambu ke kepala Matsaleh. Korban jatuh. Dan
dalam kandang lalu muncul Irawan (terdakwa lV) dan Nachiyu
(terdakwa II) yang langsung mengangkut korban ke dalam kandang
sapi.
Dalam keadaan tak sadar, korban digorok oleh Abdul Kadir dan
mati. Setelah itu mereka berempat berangkat ke mesjid, seperti
tak terjadi sesuatu. Mereka baru menggabungkan diri melihat
korban di kandang setelah turun dari mesjid bersama penduduk
lainnya. Sementara itu yang menjadi dalang pembunuhan dituduh
Soewarno (terdakwa I), suami salah seorang anggota kontingen
yang bernama Nafsiyah juga dari Lamongan. Menurut Soewarno, dia
ke Wringintelu cuma mau menjenguk isterinya. Tetapi polisi punya
pendirian lain, Soewarno-lah yang menjadi dalangnya.
Syafii
Tetapi kabarnya dalang utamanya masih ada lagi sesuai dengan
versi kisah pembunuhan ini. Namanya Syafii, berasal dari desa
Sungai Lebak, Kecamatan Karanggeneng Lamongan tempat asal
korban. Menurut versi polisi, Syafii inilah yang membayar
Soewarno agar yang terakhir ini membunuh Matsaleh bersama
Nachiyu dkk. Untuk itu Soewarno akan memperoleh imbalan Rp
500.000 dan sebuah vespa dari Syafii kalau korban betul-betul
mati. Janji itu dipenuhi sekalipun Syafii melarat. Sebab yang
penting, Matsaleh yang jadi rival Syafii dalam pemilihan kepala
desa Sungai Lebak, harus mati. Ternyata memang kemudian Syafii
memenangkan jabatan kepala desa.
Sampai perkara ini divonis, tokoh utama yang menjadi otak
pembunuhan Matsaleh yang bernama Syafii ini belum pernah
dipanggil untuk menjadi saksi. Padahal menurut jalan cerita
pembunuhan ini tokoh Syafii ini justru sebagai dalang utama.
Malahan setengah tahun yang lalu, ketika kelima penduduk
Lamongan yang saling berjauhan, tidak saling mengenal sebelumnya
dihadapkan dalam sidang pengadilan Jember, Syafii dilantik
sebagai kepala desa Sungai Lebak oleh Bupati Lamongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini