BADAN Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kini maki gencar melancarkan gebrakan ke dalam. Sejumlah 32 perusahaan, yang dianggap tidak mampu mewujudkan proyeknya, melakukan penyimpangan berupa penjualan kekayaan perusahaan, dan tidak melaksanakan proyeknya sesuai dengan ketentuan BKPM, dicabut izinnya. Dan mereka diwajibkan mengembalikan semua fasilitas yang telah diberikan: bebas pajak lima tahun dan keringanan bea masuk. PMDN Sum-UT ternyata yang paling banyak kena. Ada 13 PMDN di sana, terhitung sejak 11 Mei 1985, "Diberi waktu enam bulan untuk memenuhi kewajibannya," ujar Rulung Bukit, ketua BKPMD Sum-Ut. Tahun-tahun sebelumnya di Sum-Ut hanya 1-2 PMDN yang dicabut izinnya. Itu pun pelaksanaannya langsung ditangani BKPM Pusat, kata Rulung, kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Menurut Rulung, pihaknya sudah sejak awal tahun ini mempersiapkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai bekal untuk menjalankan aksinya, sesuai dengan perintah BKPM Pusat. "Kelengkapan perizinan, realisasi modal, dan volume produksi adalah tolok ukur yang kami pakai," ujarnya. Tolok ukur ini tampaknya yang menyebabkan PT Kilang Rokok Sehat ikut terkena tindakan itu. Perusahaan yang sampai sekarang masih memproduksi 100 juta batang rokok putih per bulan itu, anehnya, pada tahun 1975 sudah mengajukan surat pembatalan status PMDN-nya. "Entah kenapa setahun yang lalu tiba-tiba SPT-nya muncul," ujar Widjono - direktur pabrik rokok merk Soor dan Indo Jaya, yang cukup banyak digemari anak Medan itu - yang mengaku sampai sekarang belum mampu memahami tindakan BKPM atas perusahaannya. Sedangkan yang lainnya umumnya sudah gulung tikar terlebih dahulu, setelah sempat beroperasi. Bahkan PT Hapinis Oriental, perusahaan karet remah yang berdiri sejak 1965, sebelum gulung tikar pada tahun 1984, setiap tahun mampu mengekspor 6.000 sampai 7.500 ton karet remah ke Singapura dan Amerika Serikat. "Harga di pasaran internasional sekarang hanya Rp 750 jadi keuntungan terlalu minim," ujar Amanat Dalimunte, pemilik perusahaan itu, yang belum sempat menghitung jumlah kekayaannya yang harus disetorkan pada pemerintah. Jadi, beruntunglah mereka yang belum sempat berbuat apa-apa dengan status PMDN-nya. Mereka adalah PT Bukit Barisan, yang memperoleh SPT tahun 1972 untuk bidang tekstil, dan PT Pertambanan Rino Deli, yang memperoleh SPT tahun 1971. "Kedua perusahaan itu tidak dikenai kewajiban apa-apa," ujar Rulung Bukit. Lalu untuk apa gebrakan itu? "Untuk memberi kesempatan pada yang lain. Bulan depan akan turun Daftar Skala Prioritas (DSP) PMDN untuk Sum-Ut," ujar Rulung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini