MENTERI perminyakan Arab Saudi, Sheik Ahmad Zaki Yamani, jarang memberikan pernyataan. Tapi, pekan lalu, dia mendadak bicara mengenai perlunya harga minyak berat diturunkan antara US$ 0,50 dan US$ 1,50 per barel. "Waktunya sudah tiba untuk menurunkan harga minyak berat karena permintaan akan minyak bakar berkurang, dan harganya juga mulai turun," katanya kepada koran Al-Sharq-al-Awsat di Jeddah. Seruan itu, tentu saja, menarik perhatian karena dikemukakan hanya beberapa hari menjelang Dewan Menteri Perminyakan OPEC bertemu di Taif, Arab Saudi, mulai Senin pekan ini. Jenis minyak berat, yang sejak Februari harganya ditetapkan US$ 26,50 per barel, mengalami tekanan hebat sesudah para buruh tambang batu bara Inggris menghentikan pemogokan panjang mereka. Pusat listrik, yang ketika pemogokan terpaksa memakai minyak berat, kini bisa kembali menggunakan batu bara. Konsumsi listrik hari-hari ini juga mulai berkurang karena negara-negara di belahan Utara kini akan memasuki musim panas, Juni ini. Serangkaian perubahan itu, pada akhirnya, menyebabkan harga minyak berat di pasar tunai (spot) merosot jadi US$ 25,20 per barel. Jenis minyak Brent keluaran Inggris, yang setara dengan jenis minyak ringan OPEC Arabian Light (US$ 28), hanya diperdagangkan dengan harga US$ 26,80 per barel. Ketika buruh tambang batu bara masih mogok, Saudi menggunakan jenis minyak beratnya untuk membantu penjualan minyak ringan dan mediumnya, yang sulit dijajakan. Tapi cara penjualan dengan sistem paket seperti itu sekarang tak bisa dilakukannya lagi. Akibatnya, bulan lalu, produksi minyak Arab Saudi diperkirakan tinggal 2,8 juta barel sehari. Tingkat produksinya itu jelas jauh di bawah situasi tahun 1980, saat Iran dan Irak sebagai dua produser minyak tak bisa memompa minyaknya secara penuh karena terlibat peperangan. Tahun itu, Saudi bisa menggenjot produksinya hingga melampaui sembilan juta barel. Menghadapi kenyataan di pasar, Sheik Yamani tampaknya akan membawakan soal perkembangan terakhir minyak berat itu dalam pertemuan di Taif. Di situ, mungkin, dia akan menghadapi tentangan penganut garis keras, seperti Libya dan Aljazair. Adalah kedua negara ini yang Januari lalu ngotot minta agar minyak berat dinaikkan harganya dari US$ 26 jadi US$ 26,50. Sedangkan harga patokan OPEC untuk jenis Arabian Light Crude (ALC) diturunkan dari US$ 29 jadi US$ 28. Mulai I Februari kemudian harga pembeda (differential) untuk kedua jenis minyakitu adalah US$ 1,50 per barel. Persetujuan memperkecil harga pembeda itu diduga mencerminkan upaya OPEC untuk mengaitkan harganya dengan situasi pasar. Sialnya, sejak itu, besarnya harga pembeda itu belakangan ternyata bisa lebih kecil dari US$ 1 per barel. Artinya, pasar bebas menunjukkan tanda-tanda kebanjiran minyak ringan, yang harganya cenderung turun. Besar dugaan, ada sejumlah negara anggota OPEC diam-diam menggenjot produksinya hingga melampaui kuota. Dan bukan tak mungkin produksi 13 negara anggota OPEC kini sudah berada di atas kuota produksi maksimum 16 juta barel sehari. Mana Said alOteiba, menteri perminyakan Persatuan Emirat Arab (PEA), rupanya cukup waspada menghadapi kemungkman itu. "OPEC siap memotong kuota produksinya jika situasi memintanya," kata Oteiba di Bahrain. Tidak jelas siapa yang telah berani melanggar kesepakatan itu. Kepada koran Al-Sharq-al-Awsat, Yamani menyatakan bahwa tak ada niat sedikit pun bagi Saudi untuk menggenjot produksi minyaknya dengan memberi potongan harga - sekalipun negaranya mempunyai kemampuan memonopoli pasar. Tapi, "Kami lebih suka membicarakan soal itu dengan anggota OPEC lainnya untuk memelihara integritas dan kekuatan di pasar minyak," katanya. Ketika ditanya wartawan, Menteri Yamani menyatakan bahwa soal harga tidak akan jadi pembicaraan pokok. Kata dia, tujuan organisasi negara-negara eksportir minyak, OPEC, berkumpul adalah untuk mempertahankan tingkat harga sekarang. Jawaban itu, tentu saja, kurang memuaskan kalangan pengamat. Berkumpulnya Dewan Menteri (Saudi, Indonesia, PEA, Nigeria, dan Venezuela) sebagai pengawas produksi itu saja sudah menarik perhatian. Kata Yamani, mereka perlu berkumpul segera untuk mempelajari perkembangan pasar terakhir. Sementara itu, diJakarta, Menteri Pertambangan dan Energi Subroto menyatakan bahwa salah satu acara utama pertemuan adalah mendiskusikan tingkat harga - tanpa menyebut-nyebut kemungkinan penyesuaian harga baru. Kepada kantor berita Reuter, Menteri mengakui bahwa pasar sekarang sedang lemah, minyak berat tertekan, tapi jalan terbaik adalah menunggu bulan Juli sebelum mengambil putusan. Tanggal 22 Juli disebut Subroto merupakan saat penyelenggaraan pertemuan reguler OPEC di Jenewa. Dari Taif, kota peristirahatan di Saudi itu, belum banyak perkembangan baru bisa dicatat pada hari pertama pertemuan Dewan Menteri tadi. Menteri Yamani hanya mengatakan bahwa situasi pasar minyak terakhir telah didiskusikan selama dua setengah jam. Tapi dia menolak merincinya. Di akhir pertemuan hari pertama itu, para menteri sepakat untuk tetap mempertahankan harga resmi tiap-tiap jenis minyak. Artinya, minyak berat tetap US$ 26,50, dan minyak ringan (ALC) US$ 28 per barel. Untuk sementara, Indonesia memang tak perlu cemas, sekalipun minyak ringannya (Minas) mulai berkurang jumlah penjualannya di Jepang. Kalkulator toh tampaknya perlu disiapkan untuk menghitung kemungkinan terburuk pada saat musim panas di belahan bumi Utara memasuki puncaknya Juli-Agustus nanti. Mudah-mudahan pukulannya tidak terlalu menyakitkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini