Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG, Dwikorita Karnawati, mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap potensi cuaca ekstrem menjelang libur Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 atau yang dikenal sebagai libur Nataru. Ia menyampaikan bahwa di tahun ini, cuaca ekstrem yang dihadapi Indonesia dipengaruhi oleh lebih dari satu faktor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun dalam pertemuannya dengan Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Diana Kusumastuti yang salah satunya membahas soal mitigasi bencana hidrometeorologi menjelang libur Nataru, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, menyebut mitigasi bencana hidrometeorologi di akhir tahun ini sangat mendesak untuk dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami perlu sampaikan bedanya dari tahun-tahun sebelumnya. Di 2020 hanya Cold Surge saja, tahun lalu hanya Madden-Julian Oscillation (MJO). Namun di tahun ini yang dihadapi tidak hanya satu faktor saja, ada MJO, Cold Surge, La Nina lemah dan puncak musim hujan di Pulau Jawa dan Sumatera bagian selatan,” jelas Dwikorita.
Mengenal La Nina, MJO, dan Cold Surge
Untuk diketahui La Nina adalah fenomena anomali iklim global yang disebabkan oleh suhu permukaan laut di Samudra Pasifik yang mendingin, lebih dingin dibandingkan biasanya. Fenomena ini berkontribusi terhadap peningkatan curah hujan hingga 20-40 persen.
Dalam keterangan tertulis pada Jumat, 22 November lalu, Kepala BMKG Dwikorita menjelaskan bahwa meski berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi, fenomena La Nina Lemah juga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat dapat menggunakan keberlimpahan air hujan akibat La Nina secara optimal untuk mendukung ketahanan pangan dan air serta energi. Pada sektor pertanian, petani memiliki peluang percepatan tanam, perluasan area tanam padi baik di lahan sawah irigasi, tadah hujan, maupun ladang.
Dengan langkah mitigasi yang tepat, lanjut Dwikorita, tingginya curah hujan akibat La Nina juga bisa digunakan dalam meningkatkan kapasitas tampungan air di bendungan dan waduk, yang akan mendukung operasional pembangkit listrik tenaga air secara maksimum sehingga menjamin pasokan energi listrik.
Masyarakat pun dapat memanen air hujan atau rainwater harvesting dan digunakan saat musim kemarau tiba guna mengantisipasi kekeringan.
Selanjutnya, ada Cold Surge yang merupakan aliran udara dingin dari daratan Asia (Siberia) menuju wilayah barat Indonesia, yang dapat meningkatkan intensitas dan volume curah hujan di sejumlah wilayah termasuk Indonesia.
Dikutip dari laman staklim-riau.bmkg.go.id, kehadiran cold surge dapat ditandai dengan penguatan angin permukaan, penurunan suhu permukaan yang tajam, dan kenaikan tekanan permukaan di Laut Cina Selatan. Pada waktu yang bersamaan dengan hadirnya cold surge, dorongan massa udara dari belahan bumi selatan (BBS) bisa terjadi.
Dalam peringatan yang telah dikeluarkan oleh BMKG sebelumnya, selain masyarakat, peringatan juga diberikan kepada pengelola pelayaran, transportasi penyeberangan, dan nelayan, mengingat bahwa fenomena Cold Surge dapat menyebabkan gelombang tinggi yang membahayakan keselamatan dalam aktivitas pelayaran dan penangkapan ikan.
Lalu terdapat fenomena Madden-Julian Oscillation atau disingkat MJO yang turut mempengaruhi cuaca ekstrem di akhir tahun.
Dilansir dari maritim.bmkg.go.id, MJO merupakan aktivitas intra seasonal yang terjadi di wilayah tropis. Fenomena ini dapat dikenali ketika terdapat pergerakan aktivitas konveksi yang bergerak ke arah timur dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik yang biasanya muncul setiap 30 sampai 40 hari.
Istilah MJO diambil dari nama ilmuwan Rol Madden dan Paul Julian. Seperti dilansir dari psl.noaa.gov, menurut teori keduanya, MJO terjadi akibat dari variabilitas atmosfer submusim yang mempengaruhi lokasi dan kekuatan curah hujan tropis.
Fenomena bermula di atas Samudera Hindia khatulistiwa dan bergerak perlahan ke arah timur dengan kecepatan 3-5 meter per detik menuju barat dan tengah Samudera Pasifik.
Kondisi ini diikuti oleh tahap penekanan secara konvektif dan bersama-sama menimbulkan anomali curah hujan, yang menyebabkan terjadinya cuaca ekstrem.
Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III Denpasar baru-baru ini mengungkapkan bahwa MJO saat ini dalam kondisi aktif dan berada pada fase empat yang mempengaruhi potensi pertumbuhan awan hujan di Bali.
Berdasarkan keterangan prakirawati BBMKG Wilayah III, Diana Hikmah di Denpasar, Bali, Kamis, 28 November 2024, terdapat delapan fase MJO yang dikelompokkan menjadi empat bagian sesuai dengan pergerakannya, yaitu fase satu dan delapan atau wilayah barat dan Afrika.
Kemudian, fase dua dan tiga di wilayah Samudera Hindia, fase empat dan lima, yakni wilayah maritim, fase enam dan tujuh, yakni wilayah Pasifik Barat.
Egi Adyatama, Hendrik Khoirul Muhid, dan Irsyan Hasyim berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan editor: Ragam Komponen Harga Tiket Pesawat