Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cakupan audit investigasi Jiwasraya diperluas.
Melibatkan PPATK untuk mencari transaksi janggal.
Temuan baru BPK tentang lahirnya JS Saving Plan mengkhawatirkan.
SETELAH menggelar konferensi pers di kantornya, Rabu, 8 Januari lalu, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna bergegas meluncur ke Menara Radius Prawiro, kompleks Bank Indonesia, Jakarta Pusat. Sore itu, menjelang asar, agenda penting menunggu di kantor pusat Otoritas Jasa Keuangan. Segelintir orang yang mengintil Agung bukan sembarang orang. Mereka tim audit investigasi untuk kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Bertemu dengan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, rombongan dari BPK menggelar pertemuan awal (entry meeting) secara tertutup untuk rencana audit yang ditargetkan rampung dalam 50 hari ke depan. Sasaran pemeriksaan kali ini memang diperluas: bukan hanya Jiwasraya, tapi juga OJK, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Bursa Efek Indonesia, dan akuntan publik. “Kalau ada perbuatan melawan hukum dari pihak yang terlibat, akan kami sampaikan ke kejaksaan,” kata Agung, Rabu, 8 Januari lalu.
Siang sebelum pertemuan itu, Agung duduk bersampingan dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin untuk mengumumkan dimulainya audit investigasi Jiwasraya. Kejaksaan memerlukan BPK untuk menghitung kerugian negara dalam kasus dugaan fraud—kecurangan untuk keuntungan pribadi atau pihak lain—pada pengelolaan dana investasi perusahaan asuransi milik negara tersebut. Dari Senayan, Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat telah melayangkan permintaan audit investigasi serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna (tengah, depan) dan Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin (kedua dari kiri, depan) memberikan keterangan pers tentang pemeriksaan PT Asuransi Jiwasraya di Jakarta, 8 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Audit ini merupakan lanjutan dari dua pemeriksaan BPK sebelumnya. Pada 2016, auditor negara hanya memelototi laporan keuangan Jiwasraya tahun buku 2014-2015. Dari situ, terungkap 16 temuan pengelolaan investasi yang tidak sesuai dengan ketentuan, berisiko tinggi, dan berpotensi merugikan perseroan. Setahun belakangan, BPK menggeber investigasi pendahuluan (preliminary audit) setelah kasus gagal bayar terhadap nasabah JS Saving Plan, produk investasi berbalut asuransi Jiwasraya, mencuat ke publik.
Saat itu, Oktober 2018, klaim yang gagal dibayar mencapai Rp 802 miliar. Bukan hanya Saving Plan, polis produk reguler pun terancam gagal bayar lantaran kas perusahaan tak mencukupi. Hingga akhir tahun lalu, nilai klaim jatuh tempo yang tertunggak mencapai Rp 12,4 triliun. Tingkat kemampuan modal Jiwasraya untuk menutup kerugian jatuh ke level minus 850 persen dari batas kesehatan perusahaan asuransi 120 persen.
Makin lama, makin terang pula jatuhnya Jiwasraya bukan soal kesalahan investasi belaka. Dalam bahasa Agung Firman, “Persoalannya lebih kompleks dari yang dibayangkan.” Menurut dia, kasus ini bisa berdampak sistemik karena transaksinya menyangkut 17 ribu investor dan 7,7 juta nasabah.
Kejaksaan mendapati kerumitan yang sama. Saat penyidikan dimulai, Burhanuddin mantap menyebutkan kerugian negara sebesar Rp 13,7 triliun. Sumber Tempo yang mengetahui pemeriksaan ini mengatakan angka itu sebenarnya nilai rugi bersih perseroan per September 2019 yang belum otomatis bisa dianggap sebagai kerugian negara atas kecurangan pengelolaan investasi di Jiwasraya. “Harus dihitung per transaksi untuk ditemukan tindak pidananya,” ucapnya.
Kejaksaan kini memeriksa sedikitnya 5.000 transaksi. Sejak mengambil alih penyidikan dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada medio Desember 2019, tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah memanggil lebih dari 98 saksi. Sebanyak 13 orang di antaranya, terdiri atas anggota manajemen lama Jiwasraya dan pengusaha swasta, dicegah bepergian ke luar negeri. “Kami sudah tahu pelakunya, tapi kami menentukan kerugiannya dulu,” tutur Burhanuddin.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan juga dilibatkan dalam upaya membongkar skandal ini. BPK dan Kejaksaan Agung meminta PPATK menelusuri aliran dana mencurigakan untuk membuktikan investasi berisiko di Jiwasraya sengaja dilakukan demi keuntungan pribadi atau pihak lain.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin membenarkan. Dia menjelaskan, timnya akan melacak semua transaksi keuangan Jiwasraya. “Semua rekening milik PT Asuransi Jiwasraya dan pihak-pihak terkait,” ujar Badaruddin kepada Tempo, Sabtu, 11 Januari lalu.
•••
MENEROPONG masalah Jiwasraya memang tidak bisa sepotong-sepotong. Perusahaan ini terpuruk sejak 2002 lantaran krisis keuangan. Saat itu, seluruh kegiatan operasional masih dilakukan secara manual. Enam tahun berselang, perseroan dinyatakan bangkrut dengan gap antara likuiditas dan kewajiban klaim serta operasional mencapai Rp 6,7 triliun.
Sofyan Djalil, Menteri Badan Usaha Milik Negara saat itu, menunjuk Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo sebagai Direktur Utama dan Direktur Keuangan Jiwasraya—keduanya dicekal dalam kasus ini. Tugas pertama mereka merestrukturisasi keuangan Jiwasraya, yang disambut permintaan penyertaan modal negara dari jajaran direksi. Opsi ini ditolak pemerintah. Jiwasraya pun mengajukan permintaan pinjaman melalui surat utang zero-coupon bond. Namun langkah ini pun mental.
Perseroan lantas menerbitkan reksa dana penyertaan terbatas dan melakukan reasuransi selama tiga tahun. Reasuransi ini bertujuan menghilangkan kerugian di buku keuangan. Walhasil, keuntungan yang diperoleh setelahnya dianggap semu lantaran tak mencerminkan kondisi sebenarnya. Saat reasuransi dihentikan, Jiwasraya merevaluasi sejumlah aset propertinya berupa perumahan warisan Belanda. Namun imbal hasil dari penyewaan properti ini hanya 0,6 persen, kelewat kecil untuk menutup lubang di modal perseroan.
Itu sebabnya Hary Prasetyo berdalih terpaksa merambah instrumen keuangan lain, seperti saham, obligasi, deposito, dan reksa dana, untuk menggenjot pendapatan. Produk Saving Plan dengan guaranteed return 12 persen dalam satu tahun—lebih tinggi dibanding yield obligasi—diluncurkan. “Kami harus menjaga risiko modal di atas 120 persen. Kalau tidak, bangkrut untuk kesekian kali,” kata Hary saat ditemui Tempo, Kamis, 9 Januari lalu. “Kami menanggung insolvency sehingga buku keuangan harus hijau tiap tahun.”
Belakangan, pengelolaan investasi dari dana milik nasabah ditengarai bermasalah. Indikasi kecurangan tergambarkan jika menilik janggalnya pola investasi di saham dan reksa dana saham sedekade terakhir. Kejanggalan ini diungkap BPK empat tahun lalu, yakni soal pembelian saham-saham lapis kedua dan ketiga yang tak disertai kajian memadai. Transaksinya dikelola lewat 14 perusahaan manajer investasi.
Agung Firman Sampurno mengatakan Jiwasraya sebetulnya telah melepas saham dan reksa dana jeblok itu sesuai dengan rekomendasi BPK pada 2016. Namun perusahaan kembali membeli instrumen keuangan yang sama pada tahun berikutnya. “Mereka melakukan transaksi itu lagi,” ujar Agung.
Saat memimpin perusahaan pada Agustus 2018, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menemukan sebagian besar saham dan reksa dana saham memang tak bisa dijual ke pasar reguler karena harganya jeblok. Perseroan hanya mampu meraup Rp 1,7 triliun dari investasi itu. Masih terdapat Rp 8,1 triliun di 26 saham dan 107 reksa dana yang tak bisa dilepas. “Yang bisa dilakukan hanya mencairkan deposito,” tutur Hexana, Jumat, 10 Januari lalu.
Beberapa saham yang tidak bisa dijual antara lain terdapat di PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), PT Pool Advista Finance Tbk (POLA), dan PT SMR Utama, yang dimiliki atau terafiliasi dengan pengusaha Heru Hidayat—turut dicekal. Adapun manajer investasi yang menjual reksa dana berisi saham tersebut di antaranya PT Pool Advista Aset Manajemen dan PT Dhanawibawa Manajemen Investasi. Jiwasraya juga sempat membeli reksa dana melalui PT Lautandhana Aset Manajemen pada 2016-2017.
Hary Prasetyo pernah menjadi direktur utama di Lautandhana pada 2004. Sebelumnya, Hary menjadi pendiri Dhanawibawa pada 1994-1995. Belakangan, Hary menyatakan tak lagi berhubungan dengan perusahaan investasi itu. “Saya tidak mengurus itu dan tidak kenal siapa-siapa lagi di sana,” katanya.
Hary berdalih tak tahu-menahu soal penempatan investasi reksa dana yang dipakai untuk membeli saham-saham kacangan. Dia mengklaim urusan ini tanggung jawab manajer investasi. Seleksi manajer investasi pun, menurut dia, dikaji kepala divisi investasi. “Yang sampai ke saya hanya kajian reksa dana bisa mencapai yield sekian.”
•••
Aktivitas di kantor Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta.
TERUNGKAPNYA skandal investasi Jiwasraya ini memancing pertanyaan besar tentang peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga independen pengawas industri jasa keuangan. Seorang mantan petinggi Bursa Efek Indonesia mengaku dulu sudah membicarakan bahaya penempatan dana Jiwasraya pada saham berisiko tinggi dengan sejumlah pejabat lembaga independen itu.
Ketidakwajaran pembelian saham TRAM, misalnya, terjadi saat kinerja perusahaan milik Heru Hidayat tersebut terpuruk pada 2013-2014. Transaksi itu, kata dia, ditengarai dilakukan di tengah penghentian perdagangan (suspense) TRAM oleh otoritas pasar modal. Kustodian Sentral Efek Indonesia juga pernah memuat laporan kepemilikan saham Jiwasraya yang melampaui ambang batas di TRAM. Setelah saham dilepaskan, Jiwasraya membeli unit reksa dana yang berisi saham TRAM lagi.
Temuan preliminary audit Badan Pemeriksa Keuangan menambah kecurigaan. Produk JS Saving Plan, akar masalah yang membebani beban keuangan perusahaan karena mematok imbal hasil tinggi, beredar di pasar sejak 2013 tanpa dilengkapi dokumen kajian risiko biaya dana (cost of fund) dari divisi terkait di Jiwasraya. “Pengajuan cost of fund langsung kepada direksi,” ucap Agung Firman. Dia menduga sejumlah pihak memiliki konflik kepentingan dalam pemasaran Saving Plan lantaran mendapat komisi atas penjualan produk tersebut.
Masalahnya, sejak di bawah Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, setiap produk asuransi harus mendapat izin dari regulator dan pengawasan. Peran Bapepam-LK diambil alih OJK, yang resmi beroperasi pada 2012.
OJK menyatakan timnya telah memanggil manajemen Jiwasraya untuk mengevaluasi saham yang sudah lama bermasalah. Pada 2017, kata juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, lembaganya tak menemukan saham dan reksa dana saham yang melebihi batas investasi, yakni 10 persen saham untuk setiap emiten dan 20 persen reksa dana pada setiap manajer investasi. Menurut OJK, transaksi aset investasi Jiwasraya menjadi tanggung jawab direksi. “OJK hanya melakukan pengawasan berbasis risiko,” ujar Sekar.
Soal produk JS Saving Plan, komisioner OJK yang juga Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank 2012-2017, Firdaus Djaelani, pernah membenarkan informasi bahwa produk tersebut diluncurkan atas izinnya. Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank II Dumoli Pardede, dia mengungkapkan, juga menyetujui penjualan produk tersebut. Upaya Tempo meminta tanggapan Dumoli lewat telepon dan pesan pendek belum membuahkan hasil.
Saat itu, menurut Firdaus, Hary Prasetyo berjanji menghasilkan pendapatan investasi tinggi bagi perseroan sehingga bisa menutup bunga dan biaya operasional pemasaran JS Saving Plan. Caranya: menggunakan instrumen saham dan reksa dana. “Dia pandailah memainkan saham. OJK yakin dan sampai saya selesai tidak ada masalah di produk itu,” tutur Firdaus saat ditemui Tempo, 20 Februari 2019. Firdaus menyatakan tak tahu-menahu bahwa investasi tersebut berujung pada pihak yang saling terafiliasi. Setahu dia, likuiditas Jiwasraya kembali anjlok saat pasar modal terpuruk dan manajemen lama diganti.
Saat Hendrisman Rahim dan Hary lengser pada Januari 2018, kasus gagal bayar memang belum mencuat ke publik. Kala itu, keduanya masih menerima tantiem dari kinerja 2017, yang diklaim meraup laba Rp 2,4 triliun. Belakangan, manajemen meralat laba 2017 menjadi Rp 360 miliar. Laporan tersebut mendapat opini modifikasian dari PricewaterhouseCooper karena kurangnya pencatatan pencadangan Rp 7,7 triliun, yang berarti laba perseroan harus dikurangi senilai itu juga. Kepercayaan nasabah Jiwasraya pun menurun hingga mereka enggan memperpanjang (roll over) penempatan dananya. Kasus gagal bayar meledak dan berujung pada penyidikan hukum. Tak aneh jika BPK nantinya turut menyasar Kementerian BUMN sebagai pemilik perusahaan asuransi jiwa tertua di negeri ini tersebut. “Semua lingkup masuk pemeriksaan,” kata Agung Firman.
Menteri BUMN Erick Thohir memastikan kementeriannya siap mendampingi BPK dan Kejaksaan Agung dalam penyelesaian kasus Jiwasraya. Pada saat yang sama, Kementerian BUMN telah menyiapkan langkah agar nasabah mendapat kepastian mengenai nasib dananya. “Kami tidak mau dianggap melarikan diri,” tutur Erick.
Dia menegaskan, pemerintah tak akan menggelontorkan dana talangan (bail out) kepada Jiwasraya. “Tapi juga tidak akan membangkrutkannya.”
PUTRI ADITYOWATI, KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo