Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bukan Cuma Kabel Copot

Migrasi Garuda Indonesia ke sistem teknologi informasi baru tak mulus. Jadwal penerbangan kacau. Sabotase?

29 November 2010 | 00.00 WIB

Bukan Cuma Kabel Copot
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

MALEM Sambat Kaban mestinya sudah tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, pukul setengah tiga sore, Senin pekan lalu. Seorang kolega menunggu di terminal kedatangan. Tapi, apa daya, pesawat GA 239 yang menerbangkannya dari Bandara Achmad Yani, Semarang, molor dua jam dari jadwal keberangkatan pukul 13.00.

Siang itu Kaban bersama istrinya, Nurmala Dewi, berencana kembali ke Jakarta setelah mengunjungi korban erupsi Merapi di Klaten, Jawa Tengah. Seperti biasa, tiga jam sebelum keberangkatan, mantan Menteri Kehutanan itu meminta konfirmasi kepada Garuda melalui telepon. ”Mereka memastikan penerbangan sesuai dengan jadwal,” kata Kaban pekan lalu.

Jadwal penerbangan Garuda Indonesia memang kacau sejak Sabtu, 20 November lalu. Ratusan penerbangan di sejumlah bandara tertunda. Efek berantai pun muncul hingga empat hari berikutnya. Puncaknya, Selasa pekan lalu: 13 jadwal terbang dari Jakarta tujuan Palembang, Semarang, Medan, Surabaya, Makassar, dan Kuala Lumpur dibatalkan.

Kekacauan jadwal penerbangan itu gara-gara perusahaan penerbangan milik negara ini menerapkan sistem teknologi informasi baru bernama Integrated Operation Control System (IOCS). Sistem ini, menurut Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, mengintegrasikan tiga hal, yakni pergerakan pesawat, jadwal penerbangan, dan awak kabin atau kru yang selama ini dikelola terpisah. ”Supaya efisien,” kata dia, yang ditemui di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Selasa pekan lalu.

Emirsyah menjelaskan, sistem baru pergerakan pesawat dan jadwal penerbangan telah berjalan tiga tahun ini. Dalam tiga bulan terakhir, sistem manajemen kru dioperasikan, paralel dengan sistem lama. Tapi sistem lama masih memegang kendali, sedangkan yang baru sebagai cadangan. Lantas peran dibalik. Kamis pekan lalu, sistem lama disetop. Eh, tiba-tiba Jumat pagi, pukul 10.00, sistemnya mati.

Saat itulah operator mengoperasikan kembali sistem lama. Pembaruan dan revisi pergerakan pesawat, jadwal penerbangan, serta kru pun dilakukan dengan sistem lama. Begitu sistem baru nyala lagi, empat jam kemudian status kru berubah. Agenda yang diterima pilot dan awak kabin berbeda dengan jadwal di pusat operasi. Presiden Asosiasi Pilot Garuda Indonesia Kapten Stephanus Gerrardus, misalnya, baru saja mendarat dari Singapura pukul 11 malam. Tiba-tiba ia ditelepon disuruh menerbangkan pesawat ke Medan. ”Setelah saya masuk ke pesawat, eh, sudah ada kru lain,” kata dia.

Mestinya, kata sumber Tempo, persoalan ini diatasi dengan program tertentu, untuk mengunduh database di sistem lama, lantas mengunggahnya ke sistem baru. Tapi, yang terjadi hari itu, petugas merevisi data secara manual ke sistem baru. Satu per satu awak ditelepon untuk mengecek posisi mereka. Proses ini memakan waktu lama.

Sumber lain berbisik, tim teknologi informasi Garuda yang mestinya merapikan kekacauan data sedang ngambek. Tuntutan kru Biro Sistem Teknologi Informasi ihwal program penambahan fitur kerap tak digubris manajemen Garuda. Puncaknya, ketika manajemen memutuskan menyetop sistem lama. Tim teknologi informasi menyarankan penundaan karena sistem belum bersinergi. Tim berkali-kali meminta penambahan fitur, tapi tidak dipenuhi meski sudah mereka ingatkan bahwa hal ini bisa mengganggu proses penjadwalan kru.

Toh, direksi berkeras melakukan ”tukar guling” sistem lama dengan baru. ”Mungkin mengejar (standar yang diminta) Skyteam,” kata sang sumber. Selasa pekan lalu, Garuda Indonesia tercatat resmi sebagai anggota baru Skyteam, aliansi maskapai penerbangan terbesar kedua di dunia setelah Star Alliance. Alhasil, ketika terjadi kekacauan, tim teknologi informasi ogah terlibat. Mestinya, proses pembaruan data menggunakan program memakan waktu 1-2 hari saja. Apalagi data yang perlu direvisi setiap hari sekitar 100 orang. ”Tidak perlu meng-entry 2.600 kru secara manual.”

Direksi menepis dugaan hubungan karyawan-manajemen yang tak harmonis sebagai pemicu kesemrawutan itu. Menurut Emirsyah, berdasarkan hasil pemeriksaan internal, kegagalan migrasi lantaran salah satu kabel jaringan copot. Kondisi perangkat keras dan lunak tidak jadi masalah. ”Kami menginvestigasi, siapa orang terakhir yang masuk ruangan lalu mengakses sistem dan peralatan.”

Keesokan harinya, Direktur Teknologi Informasi dan Strategis Elisa Lumbantoruan meralat. Kekacauan, kata dia, terjadi karena jalur komunikasi padat, sehingga sistem baru tidak berfungsi alias hang. Sebagai solusi kilat, salah satu kabel dicopot, yakni indikator lampunya yang tidak menyala wajar. ”Jadi bukan kabel copot, melainkan dicopot.” Manajemen menyelidiki, siapa yang membikin jalur komunikasi ruwet.

Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar tak percaya kabel bisa terlepas begitu saja. ”Maaf kata, itu sabotase. Usut itu.”

l l l

Garuda Indonesia membeli Integrated Operation Control System dari Lufthansa System, perusahaan jasa perangkat lunak penerbangan Lufthansa Group, Jerman. Perjanjian kerja sama diteken pada Mei 2005. Saat itu Garuda harus membayar uang muka 170 ribu euro (sekitar Rp 2 miliar). Cicilannya 10.714 euro (Rp 128 juta) per bulan, selama lima tahun.

Pembelian dilakukan melalui Lufthansa System Indonesia, perusahaan patungan antara Garuda Indonesia dan Lufthansa System. Garuda memegang 51 persen kepemilikan dengan menyetorkan perangkat keras senilai 591 ribu euro (Rp 7 miliar), perangkat lunak 1,271 juta euro (Rp 15 miliar), dan sumber daya manusia senilai 692 euro (Rp 8,3 juta). Bayangkan, kata sumber Tempo, sekitar 40 orang dari tim teknologi informasi berpengalaman puluhan tahun cuma dihargai Rp 7,9 juta. Sedangkan Lufthansa memiliki 49 persen saham dengan memberikan dana tunai 1,8 juta euro (Rp 21 miliar).

Saat itu Lufthansa berjanji memberikan sistem generasi terbaru bernama Future Airline Core Environment (FACE). British Midland Airways dan Cathay Pacific Airlines juga tercatat sebagai pemesan. Tapi Cathay Pacific mundur di tengah jalan. Maskapai asal Hong Kong ini berpaling ke sistem lain, Amadeus, karena akan bergabung dengan Star Alliance. Tinggallah British Midland dan Garuda.

Pertengahan 2007, Lufthansa menyatakan pengembangan FACE gagal, dan dihentikan. Konon, proyek ini tidak ekonomis setelah Cathay Pacific mundur. Mestinya, Garuda bisa menggugat Lufthansa atas kegagalan tersebut. Menurut kontrak, gugatan bisa diajukan ke arbitrase di Singapura. Bukannya menuntut, manajemen malah membeli 49 persen saham Lufthansa di perusahaan patungan tadi. Pembelian dilakukan melalui anak perusahaan Garuda, Aerowisata, senilai 5,5 juta euro (Rp 66 miliar). Lantas Aerowisata berganti nama menjadi PT Aero System Indonesia.

Emirsyah mengatakan Lufthansa gagal membuat sistem sesuai dengan persyaratan. ”Kami minta dengan parameter yang lebih bagus dari apa yang ada sekarang.” Tapi mereka tidak berhasil. Karena itu, Emirsyah menambahkan, Garuda mengambil alih perusahaan patungan. Pertimbangannya, ”Untuk apa kami berpatungan kalau tak bisa memanfaatkan. Akhirnya kami beli.”

l l l

SISTEM baru (netline) dari Lufthansa disiapkan menggantikan sistem lama Garuda bernama Crew Management System, yang dipakai sejak 1980-an. Lima tahun telah berlalu sejak pembelian, Mei 2005, Garuda belum mengoperasikan optimal perangkat lunak baru tersebut. Garuda tetap harus membayar, kendati perangkat lunak belum dipakai penuh.

Manajemen segera mengganti sistem lama dengan sistem baru. Inilah yang membikin pengeluaran Garuda membengkak. Sebelum Lufthansa masuk, pengeluaran teknologi informasi, termasuk biaya komunikasi, hanya Rp 1,2 miliar per penerbangan. Tapi, sejak perusahaan patungan Lufthansa System Indonesia berdiri, biaya teknologi informasi menjadi Rp 9,2 miliar. Itu belum termasuk biaya komunikasi.”

Celakanya, hubungan Lufthansa System Indonesia dengan Biro Sistem Informasi Garuda Indonesia kurang harmonis. Lufthansa System berperan sebagai operator yang memegang data (pergerakan pesawat, kru, jadwal penerbangan) dan aplikasi. Sedangkan Biro Sistem Informasi, yang dulunya operator, kini kebagian mengelola infrastruktur, seperti jaringan. Maka, menurut sumber tadi, ketika sistem mati pada Jumat dua pekan lalu, keduanya saling tuding. Lufthansa System Indonesia mengatakan jaringannya yang mati. Sebaliknya, menurut Biro Sistem Informasi, persoalan ada di jalur komunikasi. Yang jelas, korban semrawutnya sistem informasi tersebut adalah calon penumpang.

Retno Sulistyowati (Jakarta), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus