Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAWAM Mimbar, pemilik angkutan kota di Kediri, Jawa Timur, mengandangkan tiga unit mobilnya. Kamis pagi dua pekan lalu, para sopir yang mengemudikan angkutan miliknya tak bisa membeli Premium karena stasiun pengisian bahan bakar kehabisan stok. ”Bagaimana mau jalan?” tutur pria 70 tahun ini. Beberapa armada lain bernasib sama karena tak kebagian Premium di pompa bensin setelah antre berjam-jam. Tak cuma angkutan umum, antrean mobil pribadi dan motor di Kota Tahu itu pun mengular panjang.
Kelangkaan Premium tak hanya terjadi di Kediri. Surabaya, Bojonegoro, Jember, Madiun, Pacitan, dan Madura pun bernasib sama. Tak sampai sore, sejumlah pompa bensin tutup karena kehabisan Premium dan solar. ”Wabah” kelangkaan menular ke luar Jawa. Di Balikpapan, antrean pembeli di pompa bensin bisa mencapai 20 meter. Sejumlah stasiun pengisian bensin di Palopo, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, sudah tutup sejak pukul 11.00. ”Sejak pukul 9 pagi, bensin sudah habis,” kata Anwar, petugas di SPBU Yos Sudarso. Sebenarnya stok dari Pertamina masih cukup, tapi pembeli mendadak bertambah, termasuk yang menggunakan jeriken.
Dalam tiga minggu terakhir terjadi kelangkaan Premium. Pemicunya, berita bahwa konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi telah melampaui kuota yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010. Kuota bahan bakar minyak bersubsidi tahun ini sebesar 36,5 juta kiloliter. Sampai Oktober lalu, konsumsi sudah mencapai 31,6 juta kiloliter. Lantaran jatah kuota subsidi tinggal sedikit, Pertamina ”mengurangi” pasokan bensin murah. Stasiun pengisian bahan bakar pun kelabakan karena stok menipis.
Lantaran kejadian itu sudah memicu keresahan di masyarakat, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) bergerak cepat. Pada 15 November lalu, lembaga ini meminta Pertamina tetap mendistribusikan bahan bakar minyak bersubsidi meski kuota sudah mepet. ”Kuota memang hampir habis. Tapi bukan berarti tidak bisa memasok,” kata anggota Komite BPH Migas, Adi Subagyo, kepada Tempo di Jakarta, pekan lalu.
Sumber Tempo membisikkan, tahun lalu Pertamina meminta pemerintah membayar ”kerugian” karena telah memasok bahan bakar minyak melebihi kuota 37 juta kiloliter. Namun pemerintah tidak menggantinya, sehingga perusahaan pelat merah itu menderita rugi Rp 6,9 triliun. Kali ini Pertamina enggan memasok bahan bakar minyak bersubsidi melebihi kuota karena tak ada jaminan dari pemerintah untuk memberikan ganti rugi. ”Itu sebabnya, sempat ada pengurangan jatah bahan bakar minyak ke pompa-pompa bensin,” katanya.
Beruntung keresahan tak berlanjut. Pertamina melunak. Mereka sudah mulai memasok lagi bensin dan solar murah ke semua daerah. Pekan lalu kelangkaan mulai reda. Kebetulan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sudah sepakat menambah kuota bahan bakar minyak bersubsidi 2 juta liter dari 36,5 juta kiloliter menjadi 38,5 juta kiloliter.
Kesediaan Pertamina mendistribusikan lagi bahan bakar minyak bersubsidi juga tak lepas dari pembicaraan alot antara BPH Migas dan perusahaan minyak negara itu. BPH Migas meyakinkan Pertamina akan mendapat jaminan ganti rugi dari pemerintah jika memasok melebihi kuota. Jaminannya ada dalam surat penunjukan Pertamina sebagai pengedar bahan bakar minyak bersubsidi. ”Kami tetap menyalurkan sesuai kebutuhan. Tapi kami tidak akan melayani pembelian bensin dengan jeriken,” kata juru bicara Pertamina, Mochamad Harun, di Jakarta pekan lalu.
Di mata Harun, kelangkaan bahan bakar minyak bersubsidi terjadi karena masyarakat salah persepsi terhadap arti kuota bahan bakar minyak bersubsidi. Mereka berpikir, kuota habis berarti stok bahan bakar minyak habis. ”Padahal tidak begitu. Stok bahan bakar masih banyak,” ujarnya. Kuota, kata dia, bukan cadangan pasokan, tetapi hanyalah administrasi dalam APBN. Tapi, karena masyarakat salah mengartikan dan menganggap stok Premium dan solar habis, terjadilah aksi borong di mana-mana. ”Akibatnya stok bensin dan solar di pompa-pompa bensin menipis.”
Menteri Keuangan Agus Martowardojo meminta masyarakat tidak resah. Bekas Direktur Utama Bank Mandiri itu memastikan dana subsidi bahan bakar minyak masih melimpah. Dana subsidi bensin dan solar masih ada sekitar Rp 30 triliun dari alokasi dana subsidi Rp 88,9 triliun. ”Tidak perlu ada penambahan dana dalam APBN,” katanya.
MASIH melimpahnya dana subsidi bahan bakar minyak membuka kotak pandora. Kelangkaan Premiun di sejumlah daerah di Tanah Air bukan semata-mata kuota akan habis, tapi diduga kuat ada faktor lain: berhubungan dengan rencana pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi.
Dugaan itu bukan tanpa alasan. Di Jawa Timur, misalnya, kelangkaan Premium selama tiga pekan terakhir gara-gara ada uji coba pembatasan bahan bakar minyak. Ceritanya berawal dari undangan Pertamina kepada Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya, Panglima TNI Angkatan Laut Armada Timur, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk bertemu di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Sabtu, 20 November lalu.
Namun, karena undangannya mendadak, hanya Gubernur Soekarwo, Kepala Polda Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, dan Panglima Kodam Mayor Jenderal Gatot Nurmantyo yang datang. ”Pada saat rapat kami dikasih tahu Pak Iskandar (pejabat Pertamina Jawa Timur) sejak 1 November ada uji coba pengurangan bahan bakar minyak,” kata Soekarwo kepada wartawan di Surabaya pekan lalu.
Jawa Timur dipilih karena dianggap sebagai daerah yang kondusif dari gejolak sosial. Jawa Tengah belum memungkinkan karena meletusnya Gunung Merapi, dan Jawa Barat masih belum siap. Mendengar itu, Soekarwo mengaku terkejut. ”Kapolda dan Pangdam juga kaget. Kami seharusnya diajak bicara dulu,” ujarnya.
Saat uji coba, kata Soekarwo, jatah bahan bakar minyak bersubsidi di Jawa Timur dikurangi sekitar lima persen. Akibatnya, terjadi kelangkaan Premium di sejumlah daerah di Jawa Timur. Soekarwo mengajukan protes kepada Menteri Energi Darwin Zahedi Saleh, Pertamina, dan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. ”Ini bagaimana? Apa tidak dipikirkan kalau terjadi kelangkaan bahan bakar minyak, ekonomi Jawa Timur bisa macet,” ujarnya.
Anehnya, Pertamina menyangkal telah menggelar uji coba pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi. ”Belum ada uji coba. Masih menunggu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,” ujar Harun.
Pertamina boleh menyangkal. Toh, pemerintah memang sedang mempersiapkan rencana pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi. Menurut Hatta, lonjakan konsumsi bahan bakar minyak akan terus berulang di masa-masa akan datang. Karena itu, perlu ada pembatasan. ”Kami berharap pada 1 Januari 2011 bisa dimulai,” ujarnya di Jakarta pekan lalu.
Beberapa opsi pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi telah disiapkan. Sedikitnya ada tiga opsi sedang dikaji: pertama mobil pribadi (pelat hitam) dilarang membeli Premium atau solar. Kedua, kendaraan roda empat keluaran tahun 2005 ke atas dilarang membeli Premium atau solar, dan pemberian subsidi tunai. Selasa pagi pekan lalu, Hatta memimpin rapat untuk membahas opsi-opsi itu. Hadir Menteri Agus, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Legowo, para pejabat BPH Migas, Kementerian Perhubungan dan Perindustrian.
Sumber Tempo membisikkan, opsi menciut tinggal dua, yakni larangan kendaraan pelat hitam membeli Premium dan kendaraan pribadi produksi 2005 ke atas yang dilarang membeli Premium. Pemerintah juga masih menghendaki ada subsidi bagi masyarakat tak mampu. Karena itu, angkutan umum, kendaraan roda dua dan tiga, serta nelayan masih boleh membeli Premium.
Tampaknya, kata sumber ini, keputusan akan mengarah ke opsi pertama: mobil pelat hitam dilarang membeli Premium. Berdasarkan masukan dari Pertamina, melarang kendaraan di atas 2005 membeli Premium sulit dilakukan karena pengawasan dan penentuan spesifikasi kendaraannya tak mudah. ”Opsi pertama akan disampaikan ke Dewan pada awal Desember mendatang,” ujarnya. Jadi, bersiaplah para pemilik mobil! Kali ini Anda harus membeli Pertamax, bukan Premium lagi.
Nieke Indrietta, Evana Dewi (Jakarta), Fatur Rohman Taufiq (Surabaya), Muhammad Adnan Husain (Sulawesi Selatan), Hari Tri Wasono (Kediri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo