PT CBTI (Cerat Bina Tekstil Indonesia) kini ibarat macan sirkus tanpa gigi dan kuku, yang hidup mengawang di taman safari. Perangainya sudah jauh berbeda dibandingkan dengan keadaan Februari lalu, saat Menteri Perdagangan mulai memberinya kuku sebagai importir sekaligus penyalur tunggal kapas. Sebulan kemudian hak mengimpor serat rayon viskosa dan polyester juga diberikan kepadanya. Tapi, sejak itu, kalangan Industri pemintalan seperti tak pernah berhenti menggebuki CBTI, yang dianggap hanya menambah biaya dengan sejumlah pungutannya. Dan di luar perkiraan banyak orang, kuku dan gigi yang ditanamkan itu diam-diam mulai dicopoti -- tanpa alasan yang jelas. Segalanya mulai jadi terang sesudah Dirjen Perdagangan Luar Negeri B.M. Kuntjoro Jakti, 10 Desember lalu, mengirimkan surat kepada SGS, dengan tembusan ke CBTI. Isinya, jangan kaget, menegaskan kepada surveyor itu bahwa CBTI tidak diperkenankan lagi memasukkan kapas impor. Kapas yang menjadi bahan baku industri pemintalan, ternyata, sudah sejak 25 Oktober hanya bisa dilmpor lewat enam persero pemerintah, yakni Dharma Niaga, Kerta Niaga Pantja Niaga, Tjipta Niaga, Mega Eltra, dan Sarinah Sedangkan impor serat-serat lain bebas dilakukan siapa saja tanpa perlu lewat CBTI lagi. Kapas lokal eks perkebunan negara dan Kapas Indah juga bisa dibeli langsung tanpa melalui jasa perantaraan CBTI -- seperti disebut surat Dirjen Aneka Industri kepada pabrik pemintalan awal Desember lalu. Setelah menebus jatah masing-masing, industri pemintalan bisa meminta jasa enam persero niaga tadi untuk melakukan impor serat kapas. Tak jelas benar bagaimana nasib CBTI sesudah sejumlah hak istimewanya dicabuti. Ketika mula pertama dirintis kehadirannya, usaha ini diharapkan akan bisa melayani kepentingan industri tekstil mulai dari hulu (penyediaan bahan baku pemintalan) sampai ke hilir (pemasaran pakaian jadi). Kalau sudah besar, bentuknya kira-kira akan mirip dengan sogo sosha dalam skala kecil. Tapi sebagian industri pemintalan yang tergabung dalam Sekbertal (Sekretariat Bersama Pemintalan) menolak menggunakan jasa CBTI. Alasan Sekbertal, menurut ketuanya, Aminuddin dari PT Textra Amspin, CBTI itu tidak mewakili kepentingan mayoritas pengusaha pertekstilan. Karena kepengurusannya dikendalikan pengusaha tertentu, ia mengkhawatirkan akan muncul usaha saingan mengatur saingan. Kesan itu muncul, karena pengurusnya diduga kurang melakukan dialog dengan perusahaan yang hendak dilayaninya. Bahkan, ada kesan, CBTI yang berstatus dan didirikan oleh sesama usaha swasta itu cenderung bersikap seperti penguasa. Seorang pejabat dari PT Persero Industri Sandang I menyatakan pendapat serupa. Tapi pejabat ini menyatakan yakin jika pembelian kapas ini dilakukan secara bersama dalam partai besar, mereka bisa memperoleh kapas dengan harga bersaing. Alasannya, sebagai komoditi yang biasa diperdagangkan untuk penyerahan kemudian, harga kapas bisa berubah setiap menit mengikuti fluktuasi permintaan dan penawaran. Karena itu, terbuka kemungkinan pembeli melakukan tawar-menawar (negosiasi) dengan penjual di luar negeri, bila pembelian dilakukan secara besar-besaran. Pendukung CBTI, seperti Musa dari Damatex, juga berpendapat demikian. Menurut dia, dengan memantau kegiatan di bursa komoditi penyerahan kemudian, pembeli bisa mengetahui kapan harganya akan murah, dan kapan bakal naik. Faktor-faktor penentu harga, seperti saat panen di negara-negara produsen kapas, juga bisa diketahui. "Pcrusahaan-perusahaan tekstil di Jepang pun membeli kapas lewat trading house (sogo sosha)," ujar Musa. Kini, akhirnya, impor kapas hanya bisa lewat perusahaan niaga negara. "Penunjukan importir terdaftar pada enam BUMN, agaknya, untuk menghindarkan monopoli," kata Djukardi Odang, Presiden Direktur Pantja Niaga. Kendati keenam perusahaan itu hakikatnya merupakan badan usaha milik negara, dalam soal memberikan pelayan kepada konsumen, "Kami tetap akan bersaing," tambahnya. Di luar dugaan, keputusan pemerintah itu ternyata tidak memuaskan kalangan Sekbertal, dan sekaligus mengecewakan pendukung CBTI. Sekbertal, misalnya, meminta pemerintah agar pabrik pemintalan diperbolehkan mengimpor kapas kebutuhan mereka masing-masing secara langsung, sebagaimana mereka boleh membeli kapas lokal langsung dari Kantor Pemasaran Bersama PTP dan Kapas Indah Indonesia. Sekbertal menjamin, anggotanya akan menyerap kapas produksi nasional seperti yang diwajibkan pemerintah. "Kalau kami tidak menyerap kapas lokal, cabutlah SIUP kami," kata Ketua Sekbertal Aminudin. Musa, yang menjadi pendiri CBTI, terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya karena pencabutan monopoli CBTI itu. "Bagaimana dunia usaha kita bisa maju kalau pemerintah mengeluarkan keputusan bertolak belakang. Bagaimana mungkin keputusan menteri bisa digugurkan keputusan dirjen ?" kata Musa mengungkapkan keheranannya. Menurut beberapa kalangan, keputusan pemerintah itu tampaknya masih akan berubah lagi dalam waktu tidak terlalu lama. Tapi, untuk sementara, macan CBTI harus berada di taman safari, dan orang pemintalan boleh berangin-angin menonton kemenangan mereka. M.W. Laporan Ahmed K. Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini