PANGSA film berwarna sedang menjulang mendekati Natal dan Tahun Baru. Tapi bukan hanya Fuji, Sakura, Kodak yang berebut konsumen. Masih ada Procolor, dengan harga Rp 500 lebih rendah daripada lainnya, siap menggaruk kantung konsumen. Adanya merk inilah yang, tampaknya, menambah beban pikiran bersaing bagi pemilik merk lainnya. Sebab, procolor yang tidak punya induk di luar negeri itu, ternyata, memakai selongsong (cartridge) film bekas. Baik berasal dari Fuji, Sakura, maupun Kodak. Sudah barang tentu PT Modern Photo Film Co., pemegang merk Fuji di Indonesia, yang paling kesal. Soalnya, Fuji sudah menggigit 75% pasaran film berwarna. Artinya, selongsong Procolor kebanyakan memanfaatkan bekas Fuji. Apalagi penjual film menyatakan Procolor produk kedua dari Fuji. "Ini jelas merugikan kami," ujar Sungkono Honoris, Direktur Modern Photo. Menurut Ny. Effi Sari, pemilik PD Cemara Sewu, yang punya paten Procolor, pemakaian selongsong bekas itu tak jadi masalah. "Justru ini yang menekan overhead kami," katanya. Selongsong itu bisa didapat dari laboratorium cuci cetak hanya dengan harga Rp 5 sebuah. Bila impor, seperti yang dilakukan pemegang merk lainnya, harganya bisa Rp 300. Mula-mula selongsong bekas disemprot cat hitam, lalu ditempeli label Procolor. Filmnya diimpor, mungkin dari Malaysia, Singapura, dalam bentuk rol besar 1.000 kaki, yang bisa dipotong menjadi sekitar 150 rol untuk 36 ekspose. Penggulungannya memakai loading film dengan memanfaatkan kotak PVC buatan sendiri, dan dikerjakan di kamar gelap. Setelah penuh, cukup dipotong dengan gunting, lalu dikemas dengan dus biru muda. Dengan tenaga sekitar 10 orang saja, seperti dikatakan Subiyanto, produksi sebulannya bisa mencapai 5.000 rol. Pasarannya, di Jakarta dan sekitarnya, bahkan -- kabarnya -- sudah menyusup ke Sumatera. Harganya paling banter Rp 3.500 tiap rol. "Yang penting, filmnya bisa dipakai," kata Subiyanto yang berkongsi dengan Ny. Effi. Tapi, menurut Surya N.D., manajer umum produksi PT First Nirwana Photo Co., yang merakit Sakura, pemakaian selongsong bekas itu kurang baik. Dan penggulungan filmnya membutuhkan persyaratan tertentu misalnya suhu udara, agar baik hasilnya. Apalagi pengaruh cat hitam itu, menurut Sungkono, mengeluarkan gas yang merusakkan film. Sehingga, selain tidak bisa tahan lama disimpan, hasilnya pun cenderung kuning warnanya. Toh, Procolor sejak akhir tahun lalu tetap beredar di pasaran sampai kini. Pemakainya kebanyakan, pemotret amatir. Soalnya, bisa mendapatkan harga lebih murah. Sementara itu, belum tampak alasan hukum bagi pemegang merk lainnya untuk menyingkirkan Procolor. Tak ada aturan yang mengharuskan membuang selongsong bekas itu. Apalagi, film yang dipakai Procolor tidak menunjukkan ciri Fuji, Kodak, dan Sakura kendati mungkin berasal dari salah satu di antaranya. Karena itulah Fuji lantas mencari jalan lain. "Mulai April tahun depan Fuji akan memakai selongsong yang hanya sekali pakai," kata Sungkono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini