Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksektufi Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut pembangkangan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kesalahan fatal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti diberitakan sebelumnya, DPR melalui Badan Legislasi berupaya menganulir putusan MK tentang ambang batas pencalonan dan usia kandidat Pilkada melalui revisi UU Pilkada—yang pembahasannya dikebut pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Walhasil, sikap DPR memicu gelombang aksi massa di berbagai daerah. Hal itu pun, menurut Bhima, menjadi sentimen negatif bagi perekonomian. "Investor dan pelaku usaha akan mempersepsikan bahwa banyak aturan, tidak hanya soal Pilkada tapi juga perdagangan dan investasi, yang bergonta-ganti," kata Bhima kepada Tempo, Kamis, 22 Agustus 2024.
Padahal, Bhima menambahkan, mestinya DPR dan pemerintah membangun iklim investasi yang kondusif, transparan, dan terukur. Sebab, pelaku usaha akan memasukkan risiko politik dalam perencanaan ekspansi bisnis mereka.
"Kalau ribut terus karena pemerintah tidak bisa dipercaya soal aturan, investor akan pindah ke negara lain," kata Bhima. "Jadi, masalanya bukan di luapan ekspresi masyarakat, tapi ketidakpastian kebijakan dan risiko stabilitas politik jangka panjang."
Selama ini, Bhima menambahkan, melambatnya konsumsi rumah tangga, terganggunya perdagangan, juga ditimbulkan dari pengambilan kebijakan yang salah. Permasalahan ekonomi serupa pun bisa terjadi ketika DPR melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Sebab, ketika DPR mengutak-atik putusan MK tentang aturan Pilkada, artinya tidak ada kejelasan regulasi di Indonesia.
Selanjutnya: Sebelumnya, dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengabulkan....
Sebelumnya, dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora soal UU Pilkada. Dalam putusannya, MK menyebut partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun tidak memiliki kursi di DPRD.
MK memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
MK juga memutus Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. MK menolak permohonan dari dua mahasiswa, Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah sebelum adanya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024. Adapun putusan MA yang dikeluarkan pada 29 Mei 2024 itu mengubah syarat usia calon kepala daerah menjadi saat pelantikan calon terpilih. Sebelumnya, syarat tersebut berlaku saat penetapan calon oleh KPU.
Namun, sehari kemudian, Baleg DPR menggelar rapat untuk RUU Pilkada. Hasilnya, Baleg menganulir putusan MK. Adapun rencananya, revisi UU Pilkada itu akan disahkan melalui rapat paripurna hari ini tetapi ditunda karena tidak kuorum.
Terhadap kekisruhan aturan ihwal Pilkada, Presiden Jokowi menyatakan dia menghormati putusan MK maupun DPR. Sebab, keduanya merupakan bentuk kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara.
"Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," kata Jokowi melalui pernyataan video yang dibagikan Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu, 21 Agustus 2024. "
Pilihan Editor: DPR Melawan Putusan MK, Rupiah Ikut Melemah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini