Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tebang liar 15 juta hektare?

Pembatasan kapasitas produksi kayu 70% dibantah oleh departemen kehutanan. tapi kenyataan bicara lain. dan akan banyak yang MPP?

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAI duri tertancap di kerongkongan, berita ini sempat membuat acara makan malam para pengusaha kayu jadi tak nyaman. Bayangkan. Ketika pasar kayu lapis lagi cerah, tiba-tiba terbetik kabar, Departemen Kehutanan akan membatasi produksi plywood hingga 70%. Berita yang dikutip dari seorang pejabat teras Departemen Kehutanan, pekan lalu, itu sempat merisaukan Rudy Lengkong yang bertanggung jawab atas promosi ekspor nonmigas. Yang penting, katanya, adalah menaikkan kuota. "Bukan mengurangi." Untunglah keresahan itu tak berlarut-larut. Menteri Kehutanan Djamaloedin Soerjohadikoesoemo segera menjelaskan bahwa tingkat produksi pengolahan kayu tak ditentukan Pemerintah, tapi oleh kemampuan hutan. "Terserah mau memproduksi berapa, asal kapasitas hutannya mencukupi." Penjelasan ini boleh saja menenangkan hati pengusaha. Tapi, tak menjawab persoalan yang tersimpan di balik rencana pembatasan produksi itu, yakni kebutuhan akan bahan baku industri yang melampaui kemampuan hutan dalam menghasilkannya. Seberapa besar kurangnya bahan baku kayu memang masih simpang-siur. Menurut Dirjen Pengusahaan Hutan, Hendarsun Suryasanusiputra, ketimpangan itu tak seberapa. Katanya, kebutuhan industri tiap tahun cuma 40 juta meter kubik -- masih lebih besar dari kemampuan hutan yang sekitar 35 juta meter kubik. Tapi itu tak jadi soal, karena ia yakin, mesin pabrik paling banyak berputar 80% dari kapasitas yang diizinkan. Kalau ada kekurangan, "Tentu lantaran mereka bekerja jauh di atas kapasitas yang diizinkan," tuduh Hendarsun. Tapi dalam satu seminar, pembantu asisten Menteri Lingkungan Hidup, Hadi Ali Kodra, punya angka lain. Ia menilai industri pengolahan melahap kayu hampir 50 juta meter kubik tiap tahun. Ini hampir satu setengah kali lipat dari jumlah yang mampu disediakan hutan Indonesia secara lestari. Padahal, peluang impor kayu hampir mustahil. Harga kayu di Serawak US$ 195 per meter kubik, sedangkan di Samarinda paling mahal hanya US$ 120. Karena mesin harus tetap berputar, jalan pintas bagi pengusaha, ya, memanfaatkan kayu gelap. Kalau angka yang disinyalir Ali Kodra benar, berarti ada 15 juta kayu tak resmi yang ditebang tiap tahun. Dengan menghitung secara kasar, jumlah itu dapat dipanen secara liar dari 500 ribu hektare (hampir 10 kali luas DKI Jakarta) hutan alam. Kendati ia menolak gagasan pembabatan liar, kemungkinan ini diakui seorang pengusaha kayu yang juga anggota Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI). "Kalau penebangan resmi dipersulit, itu sama saja dengan menyuruh rakyat nyolong," katanya. Dipersulit? Ia bercerita bagaimana pedang penertiban yang diayunkan Menteri Djamaloedin membabat hampir semua Rencana Karya Tahunan (RKT, "tiket" HPH untuk menebang kayu) yang disusun perusahaannya. Seluruh persyaratan penyusunan RKT, yang tadinya bisa ditawar, kini harus dipatuhi tanpa kompromi. Padahal, "Kondisi hutannya terlanjur parah karena pengelolaan di masa lalu. Mana mungkin ongkosnya suruh dibayar sekarang," protesnya. Ia mengaku, agar industrinya tak mandek, ia membeli log dari HPH lain. Tak murah, karena itu jumlahnya tak sebanyak kalau memanen sendiri. Pabriknya pun megap-megap. Semula, dari 55 line yang diizinkan BKPM, ia hanya memakai seperlimanya. Dari 11 line ini, ia menyunat hingga tinggal 40%. "Bahkan sebentar lagi terpaksa cuma beroperasi 20%," katanya. Karena itu, ia terpaksa memecat 2.000 pegawainya dalam tiga bulan terakhir. "Saya ini MPP, mati pelan-pelan," katanya. Mengkaji cerita ini, barangkali benar, secara resmi izin produksi memang tak dikurangi. Tapi, lewat pelaksanaan peraturan yang superketat dan kondisi hutan yang tak lagi prima, pembatasan alamiah itu mau tak mau harus diterima. Lalu, bagaimana nasib ribuan nyawa yang bergantung pada industri kayu? Agaknya, inilah salah satu PR baru dari sejumlah PR yang cukup memusingkan itu.Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum