Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Apa Untung-Rugi Menaikkan Tarif KRL Jabodetabek

Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberatkan masyarakat. Ekonom meminta subsidi kendaraan listrik dialihkan untuk KRL.    

6 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah penumpang yang menaiki kereta di Stasiun Kebayoran, Jakarta, Desember 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ongkos KRL Jabodetabek terakhir kali naik pada 2016.

  • Hasil survei Badan Kebijakan Transportasi menunjukkan sebanyak 56,06 persen penumpang KRL berpenghasilan kurang dari Rp 4 juta sebulan.

  • Kenaikan tarif KRL Jabodetabek berkisar Rp 2.000-3.000. 

Desy Aldewistya mengaku khawatir akan rencana pemerintah menaikkan tarif kereta rel listrik Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi alias KRL Jabodetabek. Pegawai lembaga swadaya masyarakat di Jakarta tersebut hampir setiap hari bepergian ke beberapa wilayah. Selama ini KRL menjadi moda transportasi andalan Desy untuk berhemat, sehingga kenaikan tarif akan berdampak besar baginya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menilai KRL sebagai sarana transportasi umum seharusnya dapat diakses dengan murah. “Kalau tarifnya tinggi, pekerja lapangan dengan gaji UMR seperti aku akan sangat terbebani,” ujar Desy kepada Tempo, Ahad, 5 Mei 2024.

Selain memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah, menurut dia, kenaikan tarif KRL berpotensi mendorong masyarakat berpenghasilan menengah ke atas kembali menggunakan kendaraan pribadi. Padahal warga Jabodetabek membutuhkan layanan transportasi publik yang mudah diakses dan murah untuk mengatasi masalah kemacetan.   

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengguna KRL lainnya, Irma Rahmayuni, menilai rencana kenaikan tarif KRL belum sejalan dengan peningkatan kualitas layanannya. Warga Tangerang Selatan yang berkantor di Jakarta Selatan itu mengeluhkan fasilitas seperti eskalator yang sering mati dan kepadatan penumpang di stasiun-stasiun transit, seperti di Stasiun Manggarai dan Tanah Abang. 

“Aku enggak setuju tarif KRL dinaikkan kalau tidak ada perubahan signifikan dari pelayanan dan fasilitasnya,” kata Irma. 

Adapun komunitas konsumen KRL, KRLMania, menilai kenaikan tarif wajar dilakukan, mengingat manajemen PT Kereta Commuter Indonesia sudah melakukan banyak perbaikan bila dibandingkan dengan kondisi pada 2016. Kendati demikian, juru bicara KRLMania, Gusti Raganata, menyebutkan perbaikan fasilitas belum merata. 

Gusti menuturkan kenaikan tarif KRL dapat membuat konsumen berpindah ke kendaraan pribadi sehingga konsumsi bahan bakar minyak bisa melonjak. Akibatnya, kebutuhan subsidi BBM meningkat. “Seharusnya seimbang (antara anggaran untuk) subsidi BBM dan transportasi umum, termasuk KRL,” kata Gusti kepada Tempo, kemarin.   

Dia meminta pemerintah berhati-hati dalam menentukan besaran kenaikan tarif KRL. Terlebih, harga sejumlah bahan pokok belakangan sedang tinggi. Gusti berpendapat kenaikan tarif KRL dapat mendorong inflasi. Apalagi KRL Jabodetabek merupakan sarana transportasi umum dengan jumlah penumpang yang sangat besar.  

Terakhir Kali Naik pada 2016

Kereta Commuter Line rute Bogor-Jakarta melintas di Stasiun Kalibata, Jakarta, November 2023. TEMPO/Subekti

Pemerintah berencana menaikkan ongkos KRL tahun ini setelah terakhir kali naik pada 2016. Saat ini tarif KRL yang berlaku per 25 kilometer sebesar Rp 3.000. Rencananya, tarif KRL naik sebesar Rp 2.000 menjadi Rp 5.000 per 25 kilometer. Sedangkan untuk tarif lanjutan sepanjang 10 kilometer berikutnya tetap kelipatan Rp 1.000.

Pembahasan kenaikan tarif KRL berlangsung sejak awal 2022. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pernah menyatakan tarif KRL tidak akan naik pada 2023. Namun ia mengungkapkan ada wacana pembedaan tarif berdasarkan kemampuan finansial penumpang KRL. 

Budi berujar, penumpang KRL dengan kemampuan finansial yang tinggi bakal dikenai ongkos yang berbeda. Sekretaris Perusahaan PT Kereta Commuter Indonesia Anne Purba mengatakan belum ada kesepakatan ihwal regulasi kenaikan tarif KRL. Perusahaan, tutur dia, masih menunggu keputusan Kementerian Perhubungan. 

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan mengatakan gagasan kenaikan tarif KRL Jabodetabek muncul untuk memastikan subsidi kewajiban pelayanan publik atau public service obligation/PSO yang digelontorkan pemerintah bagi masyarakat kurang mampu bisa lebih tepat sasaran. 

Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, berujar subsidi PSO diberikan untuk memastikan layanan KRL berjalan baik dengan tarif yang terjangkau. Namun, masalahnya, biaya operasional KRL terus naik akibat inflasi sehingga pemerintah perlu melakukan berbagai upaya agar PSO tepat sasaran. 

Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan menyatakan terus mengkaji besaran tarif yang pas agar tidak memberatkan masyarakat dan anggaran negara. Berdasarkan catatan Tempo, realisasi subsidi PSO khusus KRL Jabodetabek bisa lebih besar daripada yang diprogramkan. Pada 2021, contohnya, realisasi subsidi PSO KRL mencapai Rp 2,14 triliun dari program senilai Rp 1,99 triliun.  

Hasil Survei Kementerian Perhubungan

Adita menyatakan Kementerian Perhubungan sudah menyurvei kesanggupan dan kemauan para penumpang KRL pada awal 2022. Survei yang dilaksanakan Badan Kebijakan Transportasi itu menunjukkan sebanyak 56,06 persen penumpang KRL berpenghasilan kurang dari Rp 4 juta sebulan dan 43,94 persen berpenghasilan lebih dari Rp 4 juta. Dia mengklaim mayoritas konsumen KRL tidak keberatan apabila tarif naik.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI Tulus Abadi juga menilai kenaikan tarif KRL sudah pantas dilakukan karena tidak pernah naik sejak delapan tahun lalu. Meski demikian, YLKI menyarankan agar diberlakukan tarif khusus terhadap kelompok tertentu, seperti masyarakat yang bergaji upah minimum, orang lanjut usia, pelajar, dan penyandang disabilitas.

Tulus menambahkan, subsidi PSO angkutan kereta sangat besar jika dibandingkan dengan subsidi angkutan jalan atau bus perintis. Pada 2023, subsidi PSO KRL Jabodetabek sebesar Rp 1,6 triliun, sedangkan subsidi angkutan jalan se-Indonesia hanya Rp 177, 42 miliar. “Warga Jabodetabek mendapat keistimewaan, sementara bus perintis hanya mendapat sekitar 10 persen dari nilai subsidi KRL. Tidak berimbang,” kata Tulus kepada Tempo, kemarin.   

Komisi Transportasi Dewan Perwakilan Rakyat meminta kenaikan tarif KRL dilaksanakan pada tahun ini. Anggota Komisi Transportasi DPR, Suryadi Jaya Purnama, memberikan tiga catatan sebagai pertimbangan bagi Kementerian Perhubungan.

Pertama, Suryadi menyatakan, jangan sampai kenaikan tarif membebani mayoritas penumpang KRL. Komisi Transportasi meminta Kementerian Perhubungan merujuk pada rata-rata penghasilan pengguna KRL. Kedua, jangan sampai kenaikan tarif membuat penumpang KRL beralih ke kendaraan pribadi. Ketiga, harus ada peningkatan kualitas pelayanan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang dengan Kereta Api.

DPR menilai masih banyak keluhan soal keterlambatan kereta, kepadatan penumpang pada jam-jam sibuk, rusaknya elevator di beberapa stasiun, dan jatuhnya penumpang di celah peron stasiun. Suryadi mengatakan persoalan-persoalan itulah yang membuat Kementerian Perhubungan tak kunjung menaikkan tarif KRL, meskipun PSO KRL dianggap tidak tepat sasaran.   

“Kami meminta rencana kenaikan tarif KRL dapat dipertimbangkan lagi, mengingat rekomendasi kebijakan tarif KRL telah diselesaikan oleh BKT Kementerian Perhubungan pada 2023,” ujar Suryadi kepada Tempo, kemarin.   

Calon penumpang menempelkan kartu multi-trip (KMT) di Stasiun Jakarta Kota, Jakarta, Agustus 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Rencana kenaikan tarif KRL mendapat berbagai komentar dari sejumlah pakar transportasi. Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas berpendapat tarif KRL Jabodetabek sudah selayaknya naik menyesuaikan inflasi dan kenaikan upah minimum. “Kenaikan harga juga terjadi di semua jenis barang. Jadi tarif KCI pun sudah selayaknya naik,” ujarnya. 

Darmaningtyas mengatakan sudah banyak survei yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, PT KAI (Persero), dan YLKI yang sama-sama merekomendasikan penyesuaian tarif sebesar Rp 2.000-3.000. 

Surat keputusan Menteri Perhubungan ihwal kenaikan tarif KRL, kata Darmaningtyas, sudah ada sejak 2022. Menurut dia, kenaikan tarif KRL juga berkaitan dengan kebutuhan investasi untuk mengganti gerbong yang sudah tua. Adapun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, ia menambahkan, pemerintah masih bisa memberikan subsidi secara khusus.  

Di sisi lain, guru besar bidang transportasi Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, menilai kenaikan tarif KRL lebih ditujukan untuk menutup biaya operasional dan perawatan ketimbang kebutuhan investasi untuk mengganti fasilitas yang sudah tua. 

Dia mengimbuhkan, peremajaan fasilitas kereta merupakan hal yang penting, mengingat jumlah penumpang KRL yang makin besar serta pelayanan yang perlu dipertahankan. Sementara itu, penambahan gerbong kereta atau penggantian gerbong yang sudah tua merupakan sunk cost atau biaya yang terjadi di masa lalu untuk jangka waktu pelayanan yang cukup panjang.

Sutanto menekankan, kenaikan tarif KRL akan berdampak pada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, sehingga pemerintah harus bijaksana dalam merumuskan tarif baru. Meski demikian, dia menggarisbawahi tarif murah yang dinikmati penumpang berpenghasilan menengah ke atas menjadi penting. “Karena hal ini menunjukkan bahwa golongan penumpang tersebut mau berpindah dari kendaraan pribadinya,” ucap Sutanto. 

Ia berharap pemerintah menetapkan besaran kenaikan dalam batas daya beli masyarakat golongan menengah ke bawah yang mungkin tidak memiliki alternatif transportasi lain. Terlebih apabila alternatifnya adalah sepeda motor yang sudah menjadi sangat problematik.

Berpendapat berbeda, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies atau Ideas Yusuf Wibisono menganggap rencana kenaikan tarif KRL memprihatinkan. Dia mengungkapkan perubahan tarif tidak tepat dilakukan di tengah rendahnya daya beli masyarakat serta bertentangan dengan tujuan menekan kemacetan di perkotaan.   

Yusuf mengatakan KRL adalah sarana transportasi massal yang ditujukan untuk publik secara umum tanpa membedakan kelas ekonomi. Dia menegaskan, keberadaan KRL sebagai transportasi massal yang andal, aman, dan terjangkau sangat krusial untuk efisiensi sektor transportasi. Termasuk untuk menekan kemacetan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya kelas bawah dan menengah. 

Seharusnya, ujar Yusuf, subsidi KRL digelontorkan makin besar seiring dengan upaya menekan kemacetan, menghemat subsidi bahan bakar minyak, dan transisi energi menuju net zero emission. “Sebuah kesalahan fatal jika penumpang KRL justru mendapat disinsentif berupa kenaikan tarif,” kata Yusuf. 

Ia berpendapat semua penumpang KRL berhak mendapatkan pelayanan transportasi massal dengan tarif tiket yang setara sebagai bentuk pelayanan publik, bahkan bagi masyarakat yang mampu sekalipun. Makin banyak masyarakat kelas menengah ke atas yang menggunakan KRL, menurut dia, akan makin besar keuntungan bagi masyarakat dan perekonomian. 

Subsidi tiket KRL, menurut Yusuf, justru harus ditingkatkan yang diiringi dengan peningkatan kapasitas dan daya angkut KRL. Tujuannya agar makin banyak masyarakat yang menggunakan KRL, apa pun kelas ekonomi mereka. 

Pengalihan Subsidi Kendaraan Listrik  

Ihwal besaran subsidi untuk angkutan kereta, Yusuf berujar, kebijakan saat ini masih salah arah. Misalnya pemberian subsidi bagi kendaraan listrik yang justru hanya akan dinikmati kelas menengah-atas. Besaran subsidi sepeda motor dan mobil listrik pada 2023 mencapai Rp 3,35 triliun, sedangkan subsidi PSO kepada PT KAI (Persero) hanya berkisar Rp 3 triliun per tahun dengan kecenderungan menurun. 

Ia menyatakan seharusnya subsidi PSO untuk KAI terus ditambah, antara lain dengan menghapus subsidi kendaraan listrik dan mengalihkan anggarannya untuk subsidi PSO KAI. Jika subsidi kendaraan listrik 2023 senilai Rp 3,35 triliun dialihkan, subsidi PSO PT KAI akan melonjak lebih dari dua kali lipat. 

Yusuf mengkritik arah pengembangan transportasi massal perkotaan yang justru diarahkan ke MRT, LRT, ataupun kereta cepat dengan meninggalkan KRL. Padahal MRT, LRT, dan kereta cepat adalah transportasi publik yang mahal dengan daya angkut terbatas. Subsidi tiket MRT dan LRT oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencapai Rp 1 triliun per tahun. Adapun penumpang MRT hanya di kisaran 70 ribu orang per hari dan LRT di kisaran 2.000 orang per hari. Sementara itu, jumlah penumpang KRL Jabodetabek mencapai 1 juta orang per hari. 

Dia memperkirakan subsidi untuk setiap penumpang MRT dan LRT lima kali lipat lebih tinggi dibanding subsidi untuk setiap penumpang KRL. “Arah kebijakan pemerintah makin tidak jelas, diskriminatif, dan tidak berkeadilan,” ujar Yusuf.  

*** 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Reporter di Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus