Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lebih kaya 10 kali

PT Indosat mulai mengoperasikan antena III Jatiluhur. Perkembangan PT Indosat yang didirikan sejak 1980, kini mempunyai aset Rp 338 milyar lebih dan meraih keuntungan Rp 271,5 milyar.

5 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RESESI boleh saja menghantui berbagai bidang usaha, tapi tidak demikian halnya PT Indosat. Selain laba yang diraih makin banyak, BUMN yang bergerak di sektor jasa telekomunikasi internasional itu juga terus mengembangkan peralatannya. Kamis pekan lalu, misalnya, Menparpostel Achmad Tahir meresmikan pengoperasian Antena III Jatiluhur, Jawa Barat. Antena POR (Pacific Ocean Region), yang sepenuhnya dikendalikan oleh komputer ini, dibangun untuk menggantikan antena pertama yang sudah berusia 19 tahun dengan biaya mendekati Rp 5 milyar. "Sepenuhnya dibiayai dari dana intern Indosat," kata Jonathan L. Parapak, Direktur Utama PT Indonesian Satellite Corp. Ada nada bangga tercetus di sana. Harus diakui, perusahaan yang didirikan sejak 1980 itu pamornya dari tahun ke tahun semakin berkibar saja. Penerimaan perusahaan lima tahun lalu baru mem:apai Rp 115,5 milyar, tapi kini jadi Rp 271,5 milyar. Dari Jumlah itu bagian terbesar tetap datang dari para pelanggan telepon (60%), menyusul teleks (27%), saluran langsung suara dan data (2%), telegraf, telegram, dan televisi. Seiring dengan itu, keuntungan yangdidapat ikut melaju pula. Laba bersih 1987 tercatat Rp 108,8 milyar. Lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang Rp 85,5 milyar. Sebagai satu-satunya pelaksana jasa telekomunikasi internasional, sebetulnya ajar saja bila citra Indosat tampak cemerlang. Itu pun diakui oleh Parapak, 45 tahun. "Tapi perlu diingat, tidak sedikit perusahaan monopoli yang rugi. Jadi, monopoli bukanlah jaminan," kata pakar telekomunikasi itu. Bagaimana Indosat berjaya di masa resesi, menurut dia, lebih banyak ditentukan oleh tradisi keria yang baik dan manajemen yang eflslen. Di samping itu, kepercayaan mitra kerja juga modal yang tidak kecil. Tahun 1985, misalnya. Indonesia dipercaya membangun stasiun Tracking, Telemetry, Command, and Monitoring (TTC&M) - stasiun pengendali dan penguji sistem komunikasi satelit-satelit Intelsat - setelah bersaing ketat dengan delapan negara yang juga berminat. Lalu stasiun transmisi digital satelit Time Division Multiple-Access (TDMA), dan stasiun TDMA Reference & Monitor (TRMS). Dari situ Indosat memperoleh pemasukan Rp 30 milyar. Ini sudah barang tentu menambah gembung kocek perusahaan yang kini punya aset Rp 338 milyar lebih itu. Padahal, tahun 1983 hanya Rp 124 milyar. Lebih-lebih bila dibandingkan dengan sewaktu Indosat masih dikelola oleh perusahaan transnasional ITT (International Telephone Telegraph), PMA dari Amerika. Pemerintah ketika itu, 1980, membeli dari ITT Rp 27,260 milyar. Hanya dengan modal sebesar itulah Indosat mengorbit di angkasa. "Jadi, yang kita kembangkan sudah lebih dari 10 kali lipat," tutur Parapak. Kekayaan itu tak hanya tertanam di antena, jaringan kabel laut, deposito, tapi juga di gedung yang sekarang ini sedang dalam tahap penyelesalan - di samping penyertaan modal di Intelsat, Imarsat, dan Asean Cableship Company. Banyak pihak menuding sukses Indosat erat hubungannya dengan tingginya ongkos hubungan telepon internasional, dibanding rata-rata di negara lain. Menurut Parapak, soal tarif sepenuhnya tergantung kescpakatan bilateral. Namun, Menteri Achmad Tahir pernah mengatakan pada TEMPO bahwa Indonesia sengaja meninggikan tarif, dengan harapan pelanggan telepon dari luar lebih banyak masuk ke Indonesia. Dan biarpun mahal, kabarnya pelanggan Indonesia tidak punya keluhan yang berarti. Dari pelanggan luar negeri, tentu mengalir devisa. Ini diperoleh berdasar sistem bagi hasil yang disepakati - selisih antara yang keluar dan masuk harus dibagi dua - lalu dikalikan account rate yang ditetapkan. Saat ini Singapura memberi sumbangan terbesar (25,8%), disusul Amerika (21,5%). dan Jepang (10,8%). Kendati biaya telepon mahal, toh permintaan pemasangan Sambungan Langsung Internasional (SLI) tetap banyak, hingga terpaksa antre. Hotel Panghegar, Bandung contohnya. Untuk menunjang aktivitas para pengusaha yang menginap di situ, hotel ini terpaksa menunggu berbulan-bulan, sebelum SLI dipasang akhir tahun 1986. Yusroni H. dan Diah P. (Biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus