MUSIM semi di RRC ternyata menyegarkan bagi delegasi KADIN. Maka
gagasan dagang langsung RI-RRC, seperti diduga semula, secara
lisan sudah disetujui.
Gagasan itu pernah dirintis delegasi Nur Amin dari KADIN Pusat
bulan Nopember '77. Terakhir ini ketua KADIN Pusat sendiri,
Suwoto Sukendar, membawa rombongan yang lebih berbobot, dan atas
undangan RRC pula. Seperti 6 bulan lalu delegasi 17 orang itu
kembali dengan optimisme, demikian pula sekali ini. Tapi tanpa
diduga, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro, sesudah
mempelajari laporan delegasi Sukendar, minggu lalu mengumumkan
"pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak akan membuka
hubungan dagang langsung dengan RRC."
Keputusan seperti itu sungguh mengagetkan, bahkan mereka yang
telah pergi ke RRC itu sukar memahaminya. Tambahan pula, Menteri
Radius memberi kesan pada pers bahwa mereka telah bertindak
tanpa sepengetahuan pemerintah, dan bepergian tanpa pamit dengan
Departemennya.
Jika tanpa sepengetahuan pemerintah, orang Indonesia
sesungguhnya dilarang menginjakkan kakinya di daratan Cina. Maka
orang-orang KADIN itu semustinya telah pergi ke RRC dengan izin
pemerintah, atau salah satu badan dalam pemerintahan. Malah
beberapa pejabat pemerintah terdapat dalam kedua delegasi KADIN
itu.
Delegasi 5 orang pimpinan Amin pergi hanya ke Canton Fair,
sedang rombongan Sukendar dari Pekan Raya yang berlangsung dua
kali setahun itu juga berkunjung ke Peking. Di ibukota RRC itu
(12 - 15 Mei), pembicaraannya sudah mantap dengan Wakil PM Jen
Mu Hua, Menteri Li Chiang (urusan perdagangan luar negeri), dan
Wang Wen Lin yang Wakil Ketua CCPIT (China Council for Promotion
of International Trade).
10 Importir Non-Pri
Sudah disepakati kedua pihak -- secara lisan, tentunya -- bahwa
pembayaran dilakukan melalui perbankan masing-masing yang
berkedudukan di Hongkong. RI dengan BNI 1946 dan RRC dengan Bank
of China. Transaksi juga akan dibicarakan di Hongkong saja
melalui perusahaan negara RRC, bernama China Resources. Soal
angkutan laut, claim dan asuransi cenderung akan diserahkan pada
pihak ketiga saja, dan ini pun bisa diatur di Hongkong. Sebagai
tindak lanjut, pihak Indonesia direncanakan akan mengirim satu
tim ahli ke Hongkong. Tapi itu kini, menurut Menteri Radius,
sudah tidak diperlukan lagi, karena pemerintah memilih untuk
melanjutkan saja pola perdagangan RI-RRC via pihak ketiga
(Hongkong dan Singapura).
Jika via pihak ketiga, kalangan KADIN berpendapat bahwa barang
dagangan RRC yang diimpor Indonesia menjadi lebih mahal 20-30%.
Sedikitnya 10 importir (semua non-pri) Jakarta dengan relasi di
Hongkong dan Singapura akan terpukul jika gagasan dagang
langsung itu terus diusahakan. Untuk dagang langsung, walaupun
masih akan memakai pangkalan Hongkong, keduanya RI dan RRC
berarti perlu memakai perusahaan negara masing-masing. Dan ini
pun sudah diperkirakan dari semula, terbukti ada tiga Dir-Ut
perusahaan niaga negara, termasuk Djukardi Odang dari P.T. Panca
Niaga, dalam rombongan Sukendar. Odang adalah wakil ketua missi
itu.
"Belum tentu perdagangan langsung selalu lebih menguntungkan,"
kata Menteri Radius. Ada benarnya pendapat demikian, terutama
mengingat kurangnya kepercayaan umum pada kebolehan dan
efisiensi perusahaan niaga negara.
Namun, kata A. Baramuli, wakil ketua KADIN yang ikut pergi ke
RRC, "kita musti memulai" sejak sekarang perdagangan langsung
itu yang nanti akan lebih menguntungkan ketimbang via pihak
ketiga. Tapi kalau itu belum dianggap perlu, kata Sukendar pula,
"kami patuh" pada keputusan pemerintah.
Sementara itu beredar pendapat bahwa Tarwan lobby kuat sekali di
Jakarta. Kebetulan gagasan dagang langsung RI-RRC itu telah
meluas dianggap sebagai prelude (pembuka jalan) ke arah
normalisasi hubungan diplomatik Jakarta-Peking. Dan normalisasi
itu mencemaskan Taiwan (lihat box). Pada prinsipnya pemerintah
RI sudah bersedia tapi tinggal menunggu waktu yang tepat untuk
memulihkan hubungan dengan RRC. 'Waktu yang tepat' masih selalu
menjadi tanda tanya.
Memang segi politik lebih menonjol ketimbang segi komersiil
dalam gagasan dagang langsung dengan RRC. Bagi kepentingan
ekspor Indonesia, misalnya, pasaran RRC terbatas sekali. RRC
berminat membeli karet terutama sekali. Tapi karet Malaysia
sudah terlebih dulu disukainya. Maka Indonesia akan lebih banyak
mengimpor dari RRC. Sebagai importir pun, Indonesia belum pasti
mendapat komoditi yang diperlukan-seperti bahan kimia, peralatan
listrik dan traktor ringan untuk pertanian karena berlaku jatah
di sana. Dengan jatah itu, apalagi bila harganya murah pula, RRC
menggunakan pertimbangan politis. Jika volume sedikit dari RRC
belum tentu ada kapal yang mau singgah di Shanghai.
Sebelum delegasi KADIN pergi ke RRC, hal tersebut sudah
diketahui. Kini itu lebih diketahui rupanya.
Tapi orang masih bertanya apakah keputusan pemerintah untuk
meniadakan hubungan dagang langsung itu karena pertimbangan
politis atau komersiil. Mungkin keduanya. Lagi pula, seperti
dikatakan Menteri Radius, dalam hal ini belum pernah ada
komunikasi resmi antara Jakarta-Peking. Missi KADIN di sini
dianggap sebagai bukan-resmi, walaupun telah berunding dengan
Wakil PM di Peking. Jadi, semua batal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini