SETELAH melalui masa persiapan dua tahun, Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) akan memasuki tahun 1993 dengan status baru sebagai perseroan terbatas (PT). Bank yang dimiliki gabungan koperasi ini, dan berstatus badan hukum sebagai koperasi, memang terkesan unik di tengah masyarakat perbankan yang umumnya berstatus perseroan terbatas. Hal ini tidak terasa mencolok, sampai UU Perbankan yang baru -- diberlakukan April lalu. Undang-Undang ini hanya mengenal tiga jenis bank, yakni bank umum, bank perusahaan daerah, dan bank perkreditan rakyat. Jadi tak ada bank koperasi. Maka atas kesepakatan para anggotanya, Bukopin lalu memutuskan untuk mengubah status badan hukumnya. Menurut Lili Kusumah, Ketua Umum Pengurus Bukopin, rencana perubahan status itu sudah lama dirintis. Setidaknya sejak Panitia 17 dibentuk dua tahun lalu. Komisi yang beranggotakan 17 orang ini bertugas merancang dan mempersiapkan perubahan AD/ART yang mengacu pada perubahan status Bukopin menjadi PT. Keputusan untuk perubahan tersebut baru tercapai awal Desember lalu, tepatnya dalam rapat anggota tahunan yang dihadiri 160 perwakilan. Seperti diketahui, sejak didirikan Maret 1970, Bukopin adalah perusahaan swasta yang bernaung di bawah Departemen Koperasi dan Transmigrasi, berbadan hukum koperasi. Dengan begitu, usahanya dijalankan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Koperasi. Setahun setelah itu Bukopin memulai usaha perbankan. Kini, dengan status baru sebagai perseroan terbatas, Bukopin tidak lagi tunduk pada UU Koperasi ataupun ketentuan perbankan yang lama. Lili menegaskan, sebagai badan usaha perbankan, Bukopin hanya tunduk pada UU Perbankan. Dengan status persero, manajemen Bukopin pun akan lebih lugas. Sebelumnya manajemen bank ini diawasi dan dikelola oleh tiga badan: Badan Pengurus, Badan Penasihat, dan Badan Pemeriksa. Akibat terlalu banyak tangan seperti itu, untuk manajemen yang ruang lingkupnya besar dan luas seperti Bukopin dengan cabang di mana-mana, sering terjadi koordinasi yang tumpang tindih. Akibatnya manajemen tersendat kalau tidak mau disebut ruwet. Mungkin karena itu pula Bukopin sulit berkembang. Kini, dengan dua lembaga (komisaris dan direksi) seperti lazimnya organisasi dalam bentuk perseroan, manajemen Bukopin akan lebih ringkas. Setidaknya koordinasi akan lebih lancar. Lagi pula manajemen yang didasari oleh sistem koperasi banyak ganjalannya. Sementara itu Direktur Utama Bukopin Muchtar Mandala mengatakan, problem paling mendasar terletak pada permodalan yang hanya bergantung pada kemampuan anggotanya, yang kebanyakan adalah pengusaha lemah. Kekuatan modal Bukopin sekarang, Rp 47 milyar, dihimpun dari simpanan pokok anggotanya (2.788 orang), masing-masing Rp 10 juta plus iuran wajib Rp 100 ribu per bulan. Setiap anggota memang dikenakan kewajiban yang sama. Dengan demikian, untuk memperkuat struktur permodalannya, Bukopin tidak bisa leluasa. Dalam kata-kata Muchtar, "Banyak kesulitannya." Masalah lain yang juga mendesak ialah bahwa pemerintah mewajibkan tiap bank untuk memenuhi CAR (capital adequacy ratio atau perbandingan antara modal dan aset tertimbang menurut risiko) sebesar 8% pada Maret 1993. Bukopin, dengan total aset Rp 1 triliun, CAR-nya baru mencapai 7%. Sedangkan kredit yang disalurkannya, sebesar Rp 600 juta, konon tak sedikit yang macet. Maka, untuk memenuhi target 8% tersebut, sedikitnya pihaknya membutuhkan suntikan modal sebesar Rp 190 milyar. Dengan status sebagai PT, upaya memperkuat permodalan akan tidak begitu sulit. Misalnya, ada peluang untuk mencari dana lewat bursa. Tapi disebut-sebut juga raja kayu Bob Hasan, yang adalah Ketua Badan Pengurus Bukopin, siap menyuntikkan dana sebesar Rp 250 milyar. Mungkin karena itu pula Lili optimistis Bukopin bisa mulai beroperasi dengan "baju" baru itu awal 1993. Moebanoe Moera dan Iwan QH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini