AWAL tahun ini, Astra International Inc. mendapat pelipur lara. Induk perusahaan itu terpilih sebagai execellent company satu-satunya dari Indonesia. Astra dianggap lebih unggul dibandingkan Multi Bintang Indonesia, Century Textile, dan Grup Indocement dalam mencapai tingkat penjualan dan laba selama tiga tahun terakhir. Sejumlah 14 perusahaan lain, seperti Hyundai Motor (Korea Selatan) dan Sime Darby (Malaysia) juga terpilihh untuk predikat serupa. Mereka dipilih di antara 95 perusahaan terkemuka di Asia, yang diamati dan dinilai sejak tahun lalu. Pemilihnya adalah koran ekonomi terkemuka Jepang, Nihon Keizal Shimbun Japan Economic Journal). Penilaian surat kabar beroplah dua juta itu dituangkan dalam seri tulisan "Asia ... Take off", Januari lalu. Data-data mengenai perusahaan terpilih diperoleh dari, antara lain, Nomura Research Institute dan Bank of Tokyo, serta wawancara yang dilakukan para wartawannya. Di Jakarta, seorang wartawan koran itu dan seorang korespondennya di sini, selama dua minggu, berusaha mengumpulkan profil dan prestasi empat calon terunggul dari sini. Entah dengan alasan apa, Unilever dan Centex digugurkan. Sementara itu, Multi Bintang dianggap terlalu tergantung pada Heineken di Belanda dalam pelaksanaan mutu produksi. PENGAMATAN akhirnya dipusatkan ke Astra, yang total penjualannya tahun lalu diperkirakan berada di bawah Rp 1 trilyun. Dari 60 lebih anak perusahaan Astra, yang dinilai koran itu adalah usaha patungannya di perakitan mobil terutama dengan Toyota (Toyota Astra Motor) dan Daihatsu (Motor Vehicle Division). Tak jelas mengapa justru dua usaha patungan itu yang dinilai, sekalipun pasaran Toyota di Indonesia menciut hebat. Tahun 1982, misalnya, total penjualan grup Astra mencapai Rp 1,7 trilyun. Kenyataan itu diperkuat oleh sebuah sumber yang menyebut, keadaan kedua perusahaan tersebut sesungguhnya sedang repot. Untung, penjualan Toyota Kijang, yang bulan lalu mencapai produk yang ke-100.000 unit, masih cukup baik. Sebagai induk perusahaan, Astra bahkan sudah menggunakan cadangan laba yang ditahan dari tahun-tahun sebelumnya (retained earning) untuk menggerakkan kedua anak perusahaan tersebut. Sementara itu utang seluruh grup diduga US$ 400 juta lebih. Jumlah seluruh karyawannya sudah berkurang dari 21 ribu jadi sekitar 20 ribu, karena penjualan lesu. "Tapi sejauh ini Astra belum pernah minta penundaan cicilan utangnya," kata pengamat itu. Di tengah situasi sulit semacam itu, Astra toh harus selalu berhadapan dengan beleid pemerintah yang, kadang, berat dilaksanakan. Dalam soal program penanggalan komponen impor untuk mobil, misalnya, agen tunggal Toyota dan Daihatsu itu minta agar pemerintah bersikap realistis, karena skala penjualannya nanti dianggap masih kecil. Dibandingkan Malaysia, yang hanya mengizinkan produksi Mitsubishi, sikap pemerintah Indonesia, yang masih memperbolehkan sejumlah merk dirakit di sini, dianggap merupakan hal yang baik. Tapi ketika pemenntah berniat membatasi merk alat-alat besar disini, Astra mati-matian berusaha menggolkan perakitan Komatsu dengan meningkatkan penjualannya. Pertempuran meyakinkan pemerintah terjadi cukup sengit, sebelum akhirnya hak perakitan diberikan pada tiga merk: Caterpillar, Komatsu, dan Mitsubishi. Waktu perakitan tiga merk itu mendapat tekanan, mereka minta proteksi agar pemerintah melarang impor sejumlah alat besar yang sudah dirakit di sini. Bekas menteri PU Purnomosidi Hajisarosa, di Kompas belum lama ini, mengecam usaha proteksi para raksasa ini. "Proteksi saya kira perlu untuk melindungi industri dalam negeri. Soalnya tinggal apakah Industri itu bisa efisien atau tidak," ujar Benny Subianto, direktur Astra. Koran Nihon Keizai Shimbun memberi nilai A (tertinggi) pada Astra untuk usahanya mengantisipasi beleid pemerintah semacam itu. Nilai setinggi itu juga diberikannya pada upaya perusahaan mendidik para manajernya. Kata koran itu, perakitan mobilnya di sini punya semangat tinggi untuk memperoleh teknologi dengan tangan sendiri. Astra tak segan-segan mengirim para manajernya ke luar negeri, bahkan beberapa pengajar kalau perlu didatangkan pula. "Astra cenderung mengambil gaya manajemen yang cocok untuk keadaan dalam negeri," ujar Shigeru Komago, wartawan koran itu. TAPI untuk usaha mengembangkan diri, koran itu hanya memberi nilai B. Mungkin Astra belum dianggap sebagai sebuah konglomerat, sekalipun sudah banyak cabang usaha dimasukinya dengan bertumpu pada sukses penjualan mobilnya. Sektor agroindustri kini sudah dimasukinya setelah dilihatnya di sektor industri mobil agak payah melawan Jepang. Apalagi, prospek penerimaan devisa, untuk membiayai pengadaan komponen impor bagi industri substitusi impor, kelihatan makin susut. "Tanah yang subur dan lahan luas merupakan faktor menguntungkan. Jadi, kenapa tidak ke agroindustri," kata Teddy Rachmat presiden direktur Astra. Lesunya pasar dan banyaknya hambatan menyebabkan Astra belakangan ini agak mengendurkan usaha diversifikasinya. Apalagi dana perusahaan sekarang agak terbatas. Kata Teddy Rachmat, untuk menyelenggarakan perkebunan kelapa sawit 10 ribu ha saja butuh dana Rp 40 milyar. Pada saat suku bunga kini makin mahal, penyediaan uang sebesar itu jelas sangat memberatkan. Sekarang saja, "Untuk mendirikan pabrik mesin yang US$ 100 juta, kami sudah sesak napas," katanya. Nah, dalam keadaan seperti itu, memang, Astra kini perlu menahan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini