Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersandung kayu gelondongan

Tiga agen tunggal alat berat menghadapi kemacetan piutang. Penjualan merosot. Usaha leasing dapat menolong perputaran dana. Impor alat berat secara utuh dilarang. (eb)

9 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISNIS alat besar tertelungkup dijegal kesalahan membuat perkiraan. Tiga agen tunggalnya kini sedang berkutat menjaga perputaran dana gara-gara banyak piutang macet di tangan para rekanan. Kemacetan muncul tak lama sesudah pemerintah secara berangsur melarang ekspor kayu gelondongan, dan mengendurkan pembangunan sejumlah proyek besarnya. Belum lama berselang, PT United Tractor, agen Komatsu, mulai menarik napas lega sesudah melakukan serangkaian tindakan penghematan melawan kemacetan piutang, konon, sebesar Rp 35 milyar. Kendati bisa lolos dari kesulitan menjaga perputaran dana, pemasaran Komatsu belum berarti akan lancar tahun ini. Demikian juga penjualan Caterpillar dan Mitsubishi. Secara kasar, pengurus Himpunan Industri Alat Besar Indonesia (Hinabi) memperkirakan penjualan empat jenis alat besar, buldozer, wheel loader motor grader, dan hydraulic excavator, tahun ini hanya akan meliputi 650 unit. Padahal, kapasitas terpasang untuk menghasilkan alat-alat itu 2.290 unit setahun. Rendahnya pemakaian kapasitas terpasang itu, hanya sekitar 28%, jelas akan menyebabkan harga perakitan alat besar jadi mahal. Apalagi harga dolar, alat bayar untuk melunasi pembelian komponen impor, makin gila kursnya. Apa boleh buat, kapasitas perakitan, yang ditegakkan ketika penebangan kayu gelondongan sedang jaya (1980), sebagian besar terpaksa menganggur. Kekecewaan tampak membayangi manajemen Komatsu Indonesia ketika, tahun lalu, realisasi perakitannya di sini hanya meliputi 400 unit - rencana semula 1.000 unit. Dari jumlah itu yang bisa dijual agennya hanya 365 unit, termasuk 180 buldozer yang dijual dengan harga Rp 120 juta sampai Rp 145 juta sebuah. "Kami memang menderita, tapi orang lain mungkin lebih susah lagi," ujar Subagio Wirjoatmodjo, direktur Astra International Inc., pemegang saham di Komatsu Indonesia. Total penjualan alat besar pada 1984 adalah 700 unit. Masa emas penjualan alat-alat besar seperti pada 1980, dengan tingkat penjualan total 2.070 unit, tampaknya tidak akan pernah terjadi lagi. Kemampuan pemerintah menciptakan proyek besar dengan hasil penjualan minyak sudah berkurang. Kegiatan penebangan hutan juga tidak sehebat dulu, karena ekspor kayu gelondongan secara berangsur mulai dikurangi, dan akan ditiadakan sama sekali tahun ini. Untung, pada saat seperti ini muncul usaha leasing, yang menyediakan pembiayaan pengadaan alat-alat berat dan barang modal lainnya. Untuk PT Triguna Utama, agen Mitsubishi, leasing ini bisa menyerap 60 unit dari 86 unit hydraulic excavator yang dijualnya tahun lalu. Jelas, bagi Triguna, kehadiran usaha pembiayaan itu banyak menolong perputaran dananya, mengingat piutang macet di pelbagai perusahaan masih Rp 3 milyar. Karena itu, cukup alasan Rustam Effendie, direktur Triguna, menyebut leasing telah membantu memperkecil risiko usahanya. "Juga dalam perputaran dana," ujar Rustam, yang juga memimpin Triguna Machinery Industries, perakit Mitsubishi. Pernyataan seperti itu juga dikemukakan Natra Raya, perakit alat besar Caterpillar. Tahun ini, dari kapasitas terpasang 1.000 unit, yang terpakai diperkirakan hanya 25%. Jadi, kuat dugaan bahwa dari situ hanya akan menggelinding 250 unit Caterpillar. "Tapi itu pun mungkin hanya 60%-nya yang akan terjual. Saya lihat sisa produksi tahun lalu masih menumpuk pada PT Trakindo Utama, agen tunggal kami," ujar O. Amin Singgih, direktur Natra Raya, yang juga ketua Hinabi. Daya saing Caterpillar di Indonesia, tiga tahun terakhir ini, merosot hebat gara-gara menguatnya kurs dolar. Karena alat bayar devisa itu mahal dalam rupiah, maka harga barang rakitan buatan Amerika tersebut jadi melangit - melampaui Komatsu dan Mitsubishi yang tertolong karena mata uang yen melemah. Proteksi yang diberikan pemerintah, dalam bentuk pengenaan bea masuk dan pajak impor 30% untuk alat-alat besar yang dimasukkan secara utuh, belum cukup menolong mereka. Ketiga perakit itu lalu berteriak agar pemerintah memberi proteksi lebih mantap. Awal Februari lalu, pemerintah akhirnya mengeluarkan larangan impor dalam bentuk utuh wheel loader, hydraulic excavator, buldozer, dan motor grader. PT Allbest, yang tahun lalu mengaku bisa memasukkan 400 wheel loaders utuh, menjerit. Supaya kesempatan bisnisnya tetap terbuka, Allbest bersama sejumlah perusahaan berkelnginan mendirikan perakitan di sini. "Pasar masih membutuhkan satu usaha lagi di bidang alat berat," ujar Johni Wiriawan, direktur Allbest. Uluran tangan pemerintah itu disambut gembira oleh para perakit alat-alat besar itu. "Wajar kalau kami minta perlindungan pada pemerintah. Dengan biaya tinggi kami sulit bersaing dengan produk impor," ujar Rustam dari Triguna. Sebagai pengusaha kreatif, dla tak ingin terpaku pada empat Jems alat berat yang perakitannya dilindungi pemerintah. Februari lalu, Triguna merakit forklift, dan akan menyusul alat-alat berat lainnya. Kalau sektor pertambangan dan penggalakan program transmigrasi dikencangkan lagi, prospek alat-alat berat tampaknya bakal cerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus