Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemasukan pajak pada paruh pertama tahun ini hanya Rp 893,8 triliun atau 44,9 persen dari target APBN 2024 sebesar Rp 1.988,9 triliun.
Penerimaan pajak sepanjang tahun ini diperkirakan hanya Rp 1.921,9 triliun, tak mencapai target Rp 1.988,9 triliun.
Sri Mulyani memproyeksikan defisit anggaran pada 2024 membengkak.
PENERIMAAN pajak anjlok pada semester I 2024. Pemasukan pajak pada paruh pertama tahun ini hanya Rp 893,8 triliun atau 44,9 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 sebesar Rp 1.988,9 triliun. Angka ini merosot 7,9 persen dibanding realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 970,2 triliun. Penerimaan pajak sepanjang tahun ini diperkirakan hanya Rp 1.921,9 triliun atau tak mencapai target Rp 1.988,9 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, penurunan penerimaan pajak disebabkan oleh berkurangnya realisasi pajak penghasilan (PPh) badan hingga 34,5 persen. Adapun pada semester I 2024 tercatat PPh badan sebesar Rp 172,7 triliun. Nilainya turun hingga Rp 91 triliun dibanding pada semester I 2023 yang sebesar Rp 263,7 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini disebabkan oleh profitabilitas berbagai perusahaan anjlok pada tahun sebelumnya akibat moderasi harga komoditas pada 2023. "Artinya perusahaan ini masih profitable, tapi tidak setinggi tahun sebelumnya karena harga komoditas mengalami koreksi yang sangat dalam," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, Senin, 8 Juli 2024.
Penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan juga ambles, dari Rp 62,6 triliun pada semester I 2023 menjadi Rp 43 triliun pada periode yang sama tahun ini. Pemasukan pajak dari sektor pertambangan pun turun dari Rp 90,5 triliun pada semester I 2023 menjadi Rp 31,9 triliun.
Sri Mulyani mengimbuhkan, penurunan harga yang tajam antara lain terjadi pada komoditas sawit atau crude palm oil (CPO) dan batu bara. Namun penurunan yang paling dalam terjadi pada komoditas batu bara dengan realisasi pajak semester I 2024 hanya Rp 14,2 triliun. Sedangkan pada periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajaknya mencapai Rp 68,1 triliun.
Selain itu, turunnya penerimaan pajak disebabkan oleh kenaikan restitusi, baik PPh maupun pajak pertambahan nilai (PPN), yang mencapai 70,3 persen. Restitusi adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak. Pada semester I 2024, restitusi PPN dalam negeri naik Rp 51,3 triliun menjadi Rp 132,2 triliun. Sri Mulyani berujar, hal ini makin menekan penerimaan negara.
Seretnya penerimaan negara diperkirakan berdampak terhadap defisit anggaran. Sri Mulyani memproyeksikan defisit anggaran pada 2024 sebesar 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau senilai Rp 609,7 triliun. Artinya, defisit 2024 diperkirakan naik dibanding pada 2023 yang sebesar Rp 337,3 triliun atau 1,61 persen dari PDB. Per semester I 2024 saja, defisit APBN dilaporkan sebesar Rp 77,3 triliun atau 0,34 persen dari PDB.
"Kami memproyeksikan APBN 2024 ditutup defisit dari keseimbangan primer Rp 110,8 triliun dan defisit total mencapai Rp 609,7 triliun. Ini artinya terjadi kenaikan defisit dari 2,29 persen ke 2,7 persen dari PDB," katanya.
Menurut Sri Mulyani, kenaikan defisit Rp 80,8 triliun terjadi lantaran kombinasi pendapatan negara tidak mencapai target ataupun kontraksi besar, terutama pada semester I.
Penerimaan pajak 2024 diperkirakan mencapai Rp 1.921,9 triliun, tumbuh 2,9 persen dibanding tahun lalu, yakni Rp 1.867,9 triliun. Namun capaian itu di bawah target APBN: Rp 1.988,9 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 8 Juli 2024. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan buka suara soal lesunya penerimaan negara. Dia tak menampik fakta bahwa defisit APBN 2024 bakal lebih besar dari target yang ditetapkan akibat pendapatan negara terkoreksi. "Ini menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas keuangan dan keseimbangan anggaran negara," ujarnya.
Menurut Luhut, penurunan penerimaan terutama disebabkan oleh merosotnya setoran PPh badan dari perusahaan-perusahaan berbasis komoditas yang terkena dampak penurunan harga komoditas secara tajam. Dia menilai kondisi ini disebabkan oleh inefisiensi di berbagai sektor.
Sebetulnya, kata Luhut, pemerintah sudah mulai menanggulanginya secara bertahap melalui digitalisasi yang diterapkan dalam kegiatan pemerintahan dan bisnis.
Ia merujuk pada Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara (Simbara). Sistem terintegrasi itu dinilai dapat menekan selisih angka data mineral, di antaranya batu bara dan nikel. Dengan makin kecilnya selisih tersebut, ia yakin potensi kerugian negara bakal ditekan. Sistem yang sama juga diterapkan pada komoditas sawit.
Dari data yang diterima lewat sistem tersebut, Luhut menduga ada banyak perusahaan sawit yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak. Hal itu menyebabkan pemerintah tidak bisa menagih PPh badan. Jika semua sektor pemerintahan sudah menerapkan digitalisasi, ia berpendapat efisiensi bisa diciptakan. "Celah untuk berkorupsi juga bisa berkurang dan penerimaan negara bisa kembali meningkat," ucapnya.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, berpandangan peningkatan restitusi PPh badan masih menghantui kinerja penerimaan pajak. Sedangkan pengaruh restitusi PPN dalam negeri terhadap penerimaan mulai berkurang. Ia merujuk pada data penerimaan bruto berbanding neto. Penerimaan PPN dalam negeri secara bruto naik 9,1 persen. Namun secara neto atau setelah dikurangi restitusi malah terkontraksi 9,1 persen.
Selain itu, cicilan atau angsuran PPh 25 lebih kecil dari tahun sebelumnya. Untuk beberapa sektor yang bergantung pada harga komoditas, setoran pajaknya berkurang akibat pelemahan harga komoditas dari 2022 hingga 2024.
Faktor makroekonomi dan sektor perdagangan juga dinilai ikut berperan dalam pelemahan penerimaan pajak. Pertumbuhan sektor industri pengolahan pada triwulan I 2024 hanya 4,13 persen. Sedangkan pada triwulan I 2023 angkanya tumbuh 4,43 persen. Padahal, tutur Fajry, sektor industri pengolahan berkontribusi besar pada penerimaan pajak kita.
Begitu pula dengan sektor perdagangan, sektor yang berkontribusi terbesar kedua bagi penerimaan pajak. Sektor perdagangan tumbuh 4,58 persen pada triwulan I 2024 atau tumbuh lebih rendah dari triwulan I 2023 yang sebesar 4,94 persen.
Pelayanan pajak di Ciputra Mall, Jawa Tengah., 25 Maret 2024. Tempo/Budi Purwanto
Fajry berpandangan, tidak banyak opsi bagi pemerintah mendorong kinerja penerimaan sampai akhir tahun. "Untuk opsi kebijakan sangat terbatas, mengingat adanya risiko politik setelah pemilihan presiden yang malah makin tinggi," ujarnya kepada Tempo, Jumat, 12 Juli 2024.
Meski bisa mengintensifikasi pajak, Fajry menilai, tidak baik apabila pemerintah memaksakan pencapaian target. Terlebih tanpa memandang kondisi para pelaku usaha atau potensi penerimaan yang sebenarnya. Sebab, yang terkena dampak adalah para pelaku usaha di lapangan.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono juga mengatakan konsekuensinya adalah pemerintah harus merevisi target penerimaan dalam APBN. Menurut dia, pemerintah perlu menyiapkan alternatif lain, yaitu intensifikasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan potensi pajak pada tahun pajak 2019-2023. Langkah ini bisa dilakukan melalui penerbitan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) atau peningkatan pinjaman, baik dalam maupun luar negeri.
Lesu Penerimaan Pajak
Kebutuhan APBN yang tinggi pada periode pemerintahan mendatang di tengah penurunan penerimaan pajak menjadi sorotan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Peneliti senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, mengatakan, jika dua hal itu tidak terkendali, defisit anggaran akan bertambah. "Mau enggak mau Indonesia harus menambah utang lagi atau harus ada pemotongan pengeluaran di sektor-sektor lain," tuturnya.
Namun Deni berpendapat masih ada beberapa cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengejar target penerimaan itu. Langkah itu antara lain memperbaiki pengumpulan pajak melalui pengolahan data sehingga penggelapan pajak bisa berkurang. Cara lain, mencari sumber penerimaan pajak baru yang tidak mengganggu perekonomian.
Lesu Penerimaan Pajak
Direktur Eksekutif Tax Research Wahyu Nuryanto pun menggarisbawahi bahwa pemerintah harus serius mengoptimalkan potensi penerimaan pajak melalui pengawasan dan peningkatan kepatuhan. Terutama penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi, termasuk kelompok masyarakat berpenghasilan jumbo. Pasalnya, realisasi penerimaan pajak dari orang pribadi hingga Juni 2024 hanya menyumbang 1,16 persen dari total penerimaan pajak. "Masih banyak sumber penerimaan yang belum tergali secara optimal," ujarnya.
Adapun Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, membeberkan penerimaan pajak semester I tahun 2024 terkontraksi karena dihadapkan pada baseline tahun sebelumnya yang sudah sangat tinggi. Hal ini terjadi di tengah volatilitas harga-harga komoditas dan ketidakpastian perekonomian global. Penerimaan pajak semester I 2023 tercatat mencapai Rp 970,2 triliun.
"DJP senantiasa mengupayakan tercapainya penerimaan pajak melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi," kata Dwi kepada Tempo, kemarin, 12 Juli 2014. Untuk mengoptimalkan potensi-potensi pajak yang ada, Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan tahun berjalan. Serta menguji kepatuhan material secara proporsional berdasarkan data dari internal maupun hasil kerja sama dengan instansi lain.
Direktorat Jenderal Pajak menyatakan sedang mengawasi wajib pajak berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhan menggunakan Compliance Risk Management (CRM). Ada tiga kategori risiko ketidakpatuhan pada CRM, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Setiap wajib pajak, tutur Dwi, akan ditangani sesuai dengan tingkat risiko ketidakpatuhannya. Dia berharap reformasi perpajakan yang dilakukan DJP dapat meningkatkan kepatuhan sukarela pembayaran pajak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo