DI sebuah ruang kecil berdinding kaca, dikitari Menteri Kuangan Radius Prawiro dan sejumlah bankir, Dubes RI untuk Inggris, Suhartoyo, duduk tanpa canggung di sebuah kursi. Bekas Ketua BKPM yang dikenal suka mendalang itu tidak sedang menghadapi sebuah layar berlampu blencong dengan sederetan tokoh wayang kulit. Yang dihadapinya kali ini adalah sederetan layar elektronik Reuters berkelip-kelip, yang menampilkan kurs pelbagai mata uang asing melawan dolar, kutipan harga saham, dan obligasi dari pelbagai perusahaan dunia di ruang dealing BNI 1946 Cabang London. "Ayo, Pak, bikin transaksi beli dolar," kata seorang bankir. Dubes Suhartoyo lalu mengangkat gagang telepon. Layar di depannya tampak berkedip-kedip memperlihatkan kurs yen terakhir melawan dolar. "Pencet tombolnya, Pak," seru Direktur Utama Bank Bumi Daya Omar Abdalla dari ujung sana. "Tetapi jangan salah pencet, nanti uangnya masuk ke rekening orang lain." Tawa hadirin pun meledak, ketika dengan amat serius Suhartoyo berlagak melakukan transaksi seakan seorang dealer sungguhan. Suasana penuh tawa itu terjadi hanya beberapa saat setelah Menteri Radius, pekan lalu, meresmikan pembukaan Kantor Cabang Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 sekaligus Kantor Perwakilan BBD di London. Bank of England (Bank Sentral Inggris) sebenarnya sudah menaikkan status BNI 1946, sejak Desember lalu, dari sekadar kantor perwakilan menjadi bank yang boleh mengumpulkan deposito dari masyarakat (deposit taker). Tak jelas mengapa Bank Ekspor-lmpor (Eksim), yang sudah lebih dulu masuk London, malah terlambat naik pangkat. Bagi BNI 1946, status cabang itu membuka peluang bank ini untuk ikut melakukan dari transakasi di pasar uang antarbank, perdagangan valuta asing, surat-surat berharga dan obligasi, memberikan pinjaman, sampai turut dalam pembiayaan perdagangan. "Kalau Cabang BNI 1946 itu cukup aktif, ia akan jadi contoh bagi Bank of England untuk menaikkan status BBD, misalnya, dari perwakilan menjadi cabang," kata Dirut BBD Omar Aballa. Direksi BNI 1946 tentu saja tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bagus itu suatu hal yang juga sudah dilakukannya dalam mengelola aktivitas cabang Singapura Hong Kong, Tokyo, dan New York. Sebagai pusat keuangan di Eropa, London penting artinya bagi lembaga keuangan terbesar di Asia Tenggara itu, yang kekayaannya per September 1986 mencapai lebih dari Rp 12 trilyun. Dengan memiliki kaki di London, Tokyo, dan New York, BNI 1946 kini dapat secara lengkap mengikuti perkembangaan pasar uang dan modal di seluruh dunia (securities) sepanjang jam. Jika pasar modal di London tutup pada pukul 15.30, pada saat itu pasar modal di Wall Street New York mulai buka pintu. Dengan demikian, perkembangan harga lolar dan obligasi departemen keuangan Amerika, misalnya, dapat diamati terus menerus dari layar monitor di ruang dealing di semua kantor cabangnya. City of London jadi penting setelah pemerintah Inggris, 27 Oktober lalu, melakukan deregulasi terhalap aturan main di London Stock Exchange. Bank, sejak deregulasi itu, diperbolehkan ikut berdagang di pasar modal - yang dapat dilakukannya dari ruang dealing, baik atas namanya sendiri maupun investor lain dengan memperoleh komisi tertentu. City Big Bang, begitu kalangan masyarakat keuangan menjuluki deregulasi itu, tentu saja, makin menarik perhatian 350 bank asing yang sudah buka cabang di sana. Tidak terkecuali bagi manajemen BNI 1946, yang melihat deregulasi Pasar Modal London sebagai sebuah peluang memperoleh umber penghasilan baru. Tetapi, untuk tahap pertama, bank pemerintah itu hanya akan bertindak sebagai menganalisa dan penasihat untuk kepentingan penanam modal, sambil menyiapkan tenaga ahlinya sendiri. "Kami akan nebeng lulu," ujar Dirut BNI 1946 Somala Wiria. Kalau nanti tenaga ahlinya sudah siap, nah, baru kami ikut main." Harus diakui, memang, jika diukur dengan standar internasional, Pasar Modal London relatif kecil: hanya 200 perusahaan yang sahamnya diperdagangkan dengan volume transaksi tahunan US$ 75 milyar. Tamak kecil dibandingkan dengan Wall Street (New York Big Board) dengan volume transaksi USS 1.000 milyar. Sementara itu, transaksi di Pasar Modal Tokyo diduga tak lebih besar dari London. Kehadiran BNI 1946 di tiga pusat pasar modal duma itu diam-diam mendorong Dirut Somala Wiria memikirkan kelahiran sebuah investment bank lembaga keuangan yang mengkoordinasikan sejumlah investor untuk menanamkan uangnya di sebuah usaha atau surat-surat berharga. Kehadiran lembaga keuangan semacam itu, yang kelak diharapkan menjadi besar seperti Merril Lynch, dianggap sudah perlu - karena Somala melihat banyak orang Indonesia yang punya uang berlebih belum menanamkannya pada cabang usaha yang menguntungkan. "Di Indonesia, penanaman uang di surat-surat berharga masih sangat kurang," tuturnya. "Memang, kalau kita belum punya pasar modal yang baik, uang mereka banyak yang lari keluar." Ada benarnya anggapan itu. Jika tidak masuk ke rekening sebuah bank di Swiss, uang itu tentu bakal berputar dalam bentuk Eurodollar - deposito dalam dolar yang disimpan di Eropa. Dari laci pelbagai bank, uang ini biasanya kemudian dipinjamkan dan diperdagangkan ke perusahaan atau lembaga-lembaga keuangan yang membutuhkan. Kegiatan itu kini cukup dilakukan lewat telepon dan layar monitor di ruang dealing, tidak lewat lantai bursa, dengan bukti secarik kertas dalam bentuk surat berharga semacam obligasi atau notes. Dari situlah kemudian lahir pasar Eurobonds dan Euro commercial paper, tempat banyak perusahaan transnasional mencari dana-dana murah dalam dolar. Dengan demikian, orang tak lagi terlalu bergantung pada Wall Street dalam mencari dana murah. Buktinya, lihat saja angka penarikan dana yang dapat digali dari pasar uang Eropa, yang pada periode 1983-1986 melonjak dari US$ 48 milyar menjadi US$ 135 milyar. Dari jumlah itu, sekitar 75%-nya ditarik lewat London. Kota itu juga jadi salah satu pusat perdagangan valuta asing (valas). Dari jumlah valas yang diperdagangkan sekitar US$ 250 milyar per hari, sekitar separuhnya dilakukan oleh City of London -- lalu New York, Bahrain, dan Frankfurt. Besarnya volume perdagangan valas itu, tentu, juga menarik perhatian manajemen BNI 1946. Dan lembaga keuangan ini, rupanya, cukup gampang mencari dana, yang kelak akan diputarkannya di pasar uang Eropa. Di hari pembukaan itu, Summa Handelsbank AG di Dusseldorf (anak perusahaan Astra Inc.), BBD, dan Bank Rakyat Indonesia, misalnya, secara simbolis menempatkan deposito lebih dari US$ 15 juta. Tetapi BNI 1946 bukanlah sekadar penasihat dan pemberi jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga atau valuta asing belaka. Bank ini, dan perwakilan BBD di London, juga diharapkan mampu memberikan konsultasi dan informasi mengenai kesempatan usaha di pasar Eropa. "Ya, seperti kantor daganglah," ucap Sharif C. Sutardjo, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. "Peranan seperti itumau tak mau harus mereka ambil, karena konsul perdagangan di kedutaan besar kurang aktif." Peranan seperti itu sedikit demi sedikit memang sudah diambil BBD, yang melihat potensi perdagangan antara nasabahnya dan Eropa cukup besar dalam tiga tahun terakhir. Pada 1984 transaksi ekspor BBD dengan bank korespondennya di London baru US$ 117 juta, tapi pada 1985 naik jadi US$ 120 juta, lalu pada kuartal pertama 1986 tercatat US$ 40 juta. Dari transaksi ekspor sebesar itu, sebagian besar merupakan hasil devisa kayu lapis dan produk-produknya. "Kayu lapis memang sedang membaik karena harganya meningkat," ucap Dirut BBD Omar Abdalla. Tetapi, sebagai pemberi jasa antara pembeli dan penjual, Dirut Omar Abdalla menasihati agar para pengusaha kayu lapis tidak berpikir untuk melakukan ekspansi. Yang perlu mereka lakukan sekarang, kata Omar, adalah menyehatkan struktur keuangan perusahaan dengan mengangsur kembali timbunan pinjaman, sehingga perbandingan antara utang dan modal jadi baik serta menaikkan kualitas mata dagangan. "Sesudah devaluasi, keadaan nasabah memang banyak yang mengalami perbaikan," katanya. Karena kecenderungan perdagangan nasabah BBD dengan Eropa tampak berangsur membesar, direksi BBD akhirnya memandang perlu membuka perwakilan di London. Sebagai perwakilan, BBD Cabang London belum diperbolehkan mengumpulkan deposito. Tetapi perwakilan itu tetap berhak mengamati kegiatan pasar uang dan modal London dan meneruskan seluruh informasi yang diperolehnya di situ, baik ke kantor pusat maupun ke Bumi Daya International Finance Ltd. (anak perusahaan BBD) di Hong Kong. Wajar bila Dirut Omar Abdalla berharap Bank Indonesia dan Bank of England suatu saat kelak menaikkan pangkat BBD di London sejajar dengan BNI 1946. Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini