EAEC belum terbentuk, Amerika sudah curiga. Daya tarik ASEAN perlu ditingkatkan. "Kita tidak boleh rapuh," kata Suhadi. SEBAGAI bangsa yang terkenal biasa terbuka, Amerika Serikat ternyata tak membutuhkan waktu panjang untuk menentukan sikap. Dalam ASEAN Conference, yang berlangsung di Bali Maret lalu, AS belum memperlihatkan sikap tegas dalam menanggapi gagasan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, yang mengusulkan agar negara-negara Asia membentuk EAEG (East Asia Economic Group). Ketika itu, hanya Michael Armacost, Dubes AS untuk Jepang, yang berani memberi tanggapan. Katanya, gagasan Mahathir tidak punya dasar yang kuat. Soalnya, untuk menghadapi negara-negara di luar Asia Timur, tak perlu sampai membentuk grup baru. Itu juga tidak diperlukan kalau menghadapi blok perdagangan Eropa Barat yang tergabung dalam Masyarakat Eropa ataupun NAFTA (sebuah grup perdagangan yang beranggotakan AS-Kanada-Meksiko). Apalagi Asia sudah memiliki Asia Pacific Economic Cooperation, sebuah wadah yang bisa menjembatani kerja sama ekonomi negara Asia Pasifik. Sampai di situ, tak ada kelanjutannya, dalam arti tak ada penolakan atau penerimaan secara resmi dari Amerika atas usul Mahathir. Sikap yang sama kembali muncul dalam dialog antara para menteri perdagangan dari ASEAN dan utusan perdagangan AS, Carla Hills. Di arena debat yang diselenggarakan pekan lalu di Kuala Lumpur, Carla Hills mengaku sudah memperoleh penjelasan yang tuntas tentang rencana pembentukan EAEC (East Asia Economic Caucus), yang merupakan hasil modifikasi usul Mahathir. Namun, ia juga mengatakan bahwa konsep EAEC masih akan dipelajari oleh AS. Nah, ada apa? Persoalannya hanya satu: rasa takut. Maksudnya, AS takut menghadapi ketakutan negara-negara ASEAN. Seperti diketahui, sudah lama negara-negara ASEAN waswas menghadapi Masyarakat Eropa dan NAFTA. Prof. Suhadi Mangkusuwondo, pengamat ekonomi, memahami kekhawatiran itu. "Kerja sama ekonomi antarnegara ASEAN mutlak diperlukan agar tidak rapuh dalam menghadapi dunia luar," kata Suhadi. Ahli ini tentu punya alasan untuk bicara demikian. Munculnya NAFTA, sedikit banyak, akan merugikan ASEAN, terutama dalam hal menarik investor. Begitupun halnya dengan Masyarakat Eropa, yang kini lebih menumpahkan perhatian pada Eropa Timur. Suhadi memperkirakan, 5-10 tahun kemudian akan terjadi pengaliran dana ke Uni Soviet yang baru membuka diri, Kuwait yang baru usai perang, dan beberapa negara Eropa Timur lainnya. Suara senada juga pernah dilontarkan Mari Pangestu. Menurut ekonom ini, sekaranglah saat yang paling tepat untuk meningkatkan daya tarik ASEAN sebagai kawasan. "Bukan sebagai enam negara terpisah-pisah atau lokasi produksi, tapi juga sebagai pasar," ujar Mari, yang memperkirakan dalam 10 tahun ASEAN akan menjadi pasar yang sangat potensial. Lalu apa yang menakutkan Amerika? Amerika khawatir terhadap persatuan yang akan dibentuk ASEAN. "Mereka meminta bukti-bukti bahwa EAEC tidak akan berkembang menjadi institusi formal, dan tidak akan menjadi lembaga untuk berkonfrontasi dengan pihak ketiga," tutur Menteri Perdagangan Arifin Siregar. Tampaknya tidak berlebihan jika Mahathir (sebagai pencetus ide) mengingatkan peserta konperensi di Bali dengan amsal Yunani. "Hendaknya jangan sampai terjadi apa yang pernah dikatakan Thucydides 'Yang kuat meminta apa yang mereka inginkan, yang lemah harus menyerahkan apa yang harus mereka serahkan'." Budi Kusumah dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini