PT CRMI kini lebur dalam PT Krakatau Steel. Selama dikelola swasta, terus merugi, tapi kini melaba. Rahasia? DARI kawasan industri baja Cilegon, awal pekan lalu terdengar kejutan. Manakala dunia bisnis dilanda lesu berat -- akibat kebijaksanaan uang ketat tiba-tiba Direktur Utama PT Krakatau Steel menyatakan, pabrik baja canai dingin (cold rolling mill) mulai menetaskan keuntungan. "Dalam semester pertama tahun ini saja, proyek CRMI sudah untung Rp 19 milyar," kata Direktur Utama Krakatau Steel, Ir. Tungky Ariwibowo. Keterangannya ini sulit diterima akal. Soalnya, pabrik baja canai dingin itu, sejak beroperasi tahun 1987, hanya mengundang belas kasihan orang. Dan penyebabnya cuma satu: pabrik itu merugi terus. Pabrik tersebut didirikan oleh PT CRMI (Cold Rolling Mill Indonesia), yang merupakan konsorsium swasta nasional (PT Kaolin Utama milik Liem Sioe Liong dan Ciputra), asing (Sestiacier SA dari Belgia) dan BUMN (Krakatau Steel). Masing-masing saham 40%, 20%, dan 40%. Berkapasitas produksi 800 ton, pabrik itu sejak semula merupakan Kawah Candradimuka, untuk pemiliknya, bahkan pelanggannya. CRMI betul-betul merepotkan. Dan pengusaha industri otomotif mengeluh, karena lembaran canai CRMI itu mahal harganya, tidak sama ketebalannya, dan tak teratur tempo pemasokannya. Lewat satu tahun, para investor swasta di CRMI menyerah, ketika perusahaan itu merugi US$ 825 juta. Sampai tahun lalu, pabrik tersebut baru bisa berjalan dengan kapasitas 450 ton (56% dari kapasitasnya), padahal minimal dia harus mencapai produksi 80% baru bisa berjalan secara komersial. Dan saat itu CRMI sudah menumpuk utang US$ 469 juta. Untunglah, PT Krakatau Steel, yang terbiasa bergelut dalam kemelut, sanggup mengambil oper seluruh saham swasta CRMI. Ini berarti utang-utang CRMI pun dibayarnya. Tahun lalu, Krakatau harus menyetorkan modal US$ 290 juta, bahkan mencarikan pinjaman baru US$ 560 juta guna menyelamatkan CRMI. Liem, Ciputra, serta investor dari Belgia rupanya sudah bertekad meninggalkan CRMI. Tahun lalu saham mereka dikatakan masih 15%, sedangkan pekan lalu Tungky Ariwibowo mengungkapkan bahwa CRMI 100% milik Krakatau Steel. "Status ini berlaku sejak 1 Oktober 1991," katanya. Belum jelas bagaimana saham-saham Liem, Ciputra, dan Sestiacier dibeli oleh Krakatau Steel. Putra Liem Sioe Liong, Anthony Salim, yang disebut-sebut sebagai wakil pihak swasta di CRMI, belum mau bicara. Tungky juga enggan angkat suara. Maka, saham CRMI tinggal merupakan misteri. "Sudahlah. Kita jangan melihat masa lampau CRMI. Kita tahu, dan masyarakat juga tahu, bahwa CRMI itu ada masalah. Kini utang-utangnya sudah kita lunasi. Kita bicara masa depan saja," kata Tungky. Dalam wawancara dengan Susilawati Suryana dari TEMPO, PT CRMI jelas sudah dilebur bersama PT Krakatau Steel. Dengan merger itu, kini Krakatau Steel tak perlu memperhitungkan pajak penjualan untuk penyerahan bahan baku canai dingin. Artinya, ada efisiensi biaya. Itu barangkali sebabnya, dalam paket deregulasi 3 Juni 1991, Pemerintah berani membebaskan impor baja canai dingin. Dan ini sejajar dengan permintaan yang lumayan tinggi -- juga di kawasan ASEAN. Perkembangan industri baja tampaknya sedang di atas angin. Apalagi kini, ketika suplai baja terasa tidak memadai. Sebaliknya Indonesia, menurut Far Eastern, kini tenang-tenang melahap 3,5 juta ton baja per tahun, tanpa tergantung dari luar negeri. Investasi besar di tahun-tahun 1970-an dan 1980-an setidaknya terbukti bisa menghemat devisa. Nilai canai dingin tahun lalu, seperti diungkapkan Tungky sekitar US$ 800 juta atau sepertiga kebutuhan produk-produk baja. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini