Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Dirut: Meski Perang, Garuda Indonesia Harus Tetap Terbang

Dirut Garuda Indonesia mengungkapkan maskapai penerbangan pelat merah ini tetap harus terbang dalam kondisi apapun.

16 Juni 2020 | 16.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) antre menaiki pesawat Garuda yang disewa khusus di Bandar Udara Internasional Velana, Maldives, Jumat, 24 April 2020. KBRI Colombo merepatriasi 335 Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari Sri Lanka dan Maladewa ke Indonesia akibat pandemi Virus Corona (COVID-19). ANTARA/KBRI Colombo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan maskapai yang tengah dipimpinnya itu harus tetap terbang meski dalam keadaan perang. Ini artinya perusahaan harus tetap bertahan dan melayani angkutan udara dalam kondisi apapun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kenapa Garuda tidak dinamai Pesawat Indonesia oleh Bung Karno. Ini kan jelas sekali menunjukkan kepentingan lebih besar daripada terbang dari satu tempat ke tempat lain. Garuda memiliki kepentingan dan mandat menyambungkan pulau-pulau, suku-suku bangsa, dan memperkenalkan Indonesia ke dunia luar. Oleh karena itu, Garuda harus terbang, bahkan dalam perang pun,” kata Irfan dalam diskusi daring yang bertajuk “Antisipasi dan Adaptasi Dunia Usaha Transportasi dalam Kenormalan Baru” di Jakarta, Selasa, 16 Juni 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan tersebut menyusul kondisi sulit yang dialami maskapai pelat merah itu akibat pandemi COVID-19.

Ia menyebutkan pendapatan yang diraih hanya 10 persen artinya selama pandemi ini sudah anjlok 90 persen dan 70 persen pesawat dikandangkan atau tidak terbang.

Namun pihaknya tidak menjadikan kondisi sulit tersebut sebagai alasan wajar jika perusahaan merugi. “Jadi ini kewajiban kita. Kita tidak bisa berkelit penerbangan ini merugi, misalnya ‘maaf bapak yang mau pergi ke Ujung Pandang ketemu saudara atau ibunya meninggal cari jalan lain saja’. Enggak bisa, kita harus tetap terbang, karena itu lah kewajiban kita,” katanya.

Berkaitan dengan normal baru, pihaknya memiliki dua strategi yakni bertahan hidup dan beroperasi lebih kompetitif. “Ini yang menarik untuk diamati. Jadi normal baru itu adalah kesempatan baru. Kita sebagai bangsa sepakat bahwa tata cara interaksi di antara kita harus kita ubah sedikit,” katanya.

Dalam melakukan penerbangan, saat ini calon penumpang diwajibkan untuk melampirkan dokumen kesehatan yakni hasil negatif untuk tes cepat atau PCR, melindungi diri, serta jaga jarak baik di bandara maupun di pesawat.

Irfan mengakui perubahan kebiasaan ini sulit bagi para calon penumpang, terlebih penerbangan adalah bisnis kebahagiaan, di mana penumpang dalam kondisi senang dan bahagia selama penerbangan.

“Berdekatan saat ini menjadi sinful activity (aktivitas berdosa), namun kita harus membangkitkan optimisme dan kami terus melakukan pemahaman untuk customer behaviour (perilaku pelanggan) karena ke depan cara orang terbang dan memilih tujuan terbang akan berubah,” ujar Irfan.

Pihaknya mengaku optimistis industri penerbangan akan bangkit. Maskapai nasional, kata dia, masih memiliki kekuatan pasar domestik, tidak seperti maskapai asing seperti Singapore Airlines, Cathay Airways dan lainnya yang hanya bertumpu pada penerbangan internasional.

“Mereka bisa dikatakan tidak memiliki domestic market. Kalau kita domestic market yang sangat kuat seperti Amerika, China, Jepang, dan beberapa negara lainnya. Ketika pasar domestik ini terkena imbas, penerbangan dibatalkan, pemerintah memutuskan tidak terbang lagi ke China, Anda bisa membayangkan implikasi-implikasi terhadap industri atau Garuda Indonesia,” katanya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus