Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan orang dari berbagai profesi berkumpul di lobi ruang Kura-kura, gedung Nusantara, Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu pagi pekan lalu. Mereka menanti kedatangan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang akan memberikan keterangan kepada Panitia Khusus Hak Angket Century. Tampak Lily Widjaja, Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia, berdiri sambil memegang serangkai buket mawar putih berbalut kertas senada. Sekitar pukul 10, yang ditunggu pun datang. Turun dari mobil dinasnya, Sri Mulyani disambut para profesional itu. Lily langsung menyerahkan buket bunga. Mereka saling cium pipi kiri-kanan dan berpelukan.
Bak selebritas, saat memasuki ruang sidang, Sri Mulyani juga disambut meriah oleh puluhan pegawai Departemen Keuangan yang ada di balkon. Tapi bekas Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional ini tak melulu dielu-elukan. Puluhan mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan sekitarnya berunjuk rasa dan menghujat bekas petinggi Dana Moneter Internasional (IMF) untuk Indonesia ini. Tanpa tedeng aling-aling, mereka berteriak-teriak. ”Tangkap maling Century,” kata dua orang pendemo saat berpapasan dengan Sri Mulyani.
Suasana semarak juga merebak ketika Panitia Hak Angket Century meminta keterangan dari mantan wakil presiden Jusuf Kalla keesokan harinya. Meski tak seheboh saat Sri Mulyani datang, tepuk tangan menggema begitu JK—sapaan akrab Kalla—muncul di Senayan. ”Hidup JK..., hidup JK.”
Di antara sejumlah pejabat Bank Indonesia dan Departemen Keuangan yang berperan dalam penyelamatan Century pada November 2008, Sri Mulyani dianggap tokoh sentral. Meminjam istilah Ruhut Sitompul, Sri Mulyani—juga Boediono—merupakan ikon kasus Century. Keduanya ketua dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang memutuskan Century bank gagal berdampak sistemik, sehingga perlu diselamatkan.
Saking pentingnya, Sri Mulyani dimintai keterangan sekitar 12 jam dari pagi hingga hampir tengah malam. Waktu pemeriksaan ini terlama yang pernah dilakukan oleh Panitia Hak Angket Century. Adapun Jusuf Kalla, meski tak terlibat proses penyelamatan Century, termasuk tokoh penting yang dinilai bisa membuka tabir misteri proses penyelamatan Century. Kalla satu-satunya pejabat pemerintah yang terbuka menyatakan tak setuju atas bailout Century.
Bak air bah, cecaran pertanyaan mengalir deras dari anggota Panitia Khusus Hak Angket Century kepada Sri Mulyani. Tapi, dengan tenang dan tangkas, Sri Mulyani menjawab pertanyaan yang tak jarang mengulang-ulang, seperti dalam soal dampak sistemik. Anggota Panitia Khusus, Ganjar Pranowo, mempertanyakan alasan KSSK memutuskan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Century, kata anggota dari Fraksi PDI Perjuangan itu, merupakan bank kecil. ”Hanya secuil.” Bahkan mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan mantan Deputi Gubernur Senior Anwar Nasution menyatakan bank berkategori sistemik bukan bank kecil seperti Century.
Data Bank Indonesia menunjukkan aset Century saat penyelamatan hanya sekitar Rp 14 triliun atau 0,72 persen dari total aset seluruh perbankan di Indonesia. Dana pihak ketiganya hanya Rp 10,8 triliun dengan jumlah rekening cuma 65.360 atau sekitar 1 persen dari total industri bank.
Sri Mulyani mengakui ada 15 bank besar yang bisa berdampak sistemik sesuai dengan kategori Bank Indonesia. Tapi yang ditengarai berdampak sistemik tidak hanya bank besar. Di beberapa negara, katanya, krisis bisa diakibatkan oleh jatuhnya bank kecil. ”Meski secuil, kalau mempengaruhi koridor psikologi, confident, dan trust, bisa berdampak sistemik,” kata Sri. Dalam krisis 1997-1998, dia melanjutkan, bank pertama yang ditutup adalah bank kecil. Tapi akhirnya merembet ke bank-bank besar.
Gempuran pertanyaan tak berhenti di situ. Rekan Ganjar dari Fraksi PDIP, Maruarar Sirait, menanyakan pembengkakan suntikan dana untuk Century dari Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.
+ ”Apakah lonjakan dana bailout itu sudah diketahui dari awal?”
”Kami menanyakan biaya suntikan untuk mencapai CAR delapan persen,” jawab Sri.
+ ”Berapa jawaban BI?” Maruarar terus bertanya.
”Rp 632 miliar,” jawab Sri lagi.
+ ”Apakah data itu memuaskan?” cecar Maruarar lagi.
”Beberapa data tidak memuaskan. Kurang detail. Tapi itu cukup memadai untuk memutuskan Century sebagai bank gagal sistemik.”
Berdasarkan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan, menjelang dini hari pada 20 November 2008, Bank Indonesia menetapkan Century bank gagal yang ditengarai sistemik. Lalu Kebon Sirih—sebutan untuk bank sentral—meminta KSSK memutuskan nasib Century: ditutup atau diselamatkan.
Digelarlah rapat konsultasi dan mendengarkan pandangan dari narasumber, seperti para pejabat Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan bankir. Dalam rapat itu, data rasio kecukupan modal (CAR) Century per 31 Oktober 2008 yang disampaikan Bank Indonesia minus 3,53 persen. Untuk memenuhi ketentuan CAR 8 persen, Century butuh suntikan Rp 632 miliar.
Pada subuh 21 November 2008, rapat Komite Stabilitas pun memutuskan Century bank gagal berdampak sistemik dan harus diselamatkan. Belakangan, pada 24 November 2008, diketahui kondisi Century ternyata lebih parah lantaran ada sejumlah penggelapan dana oleh Robert Tantular dan kawan-kawan, serta anjloknya nilai surat-surat berharga. Rasio CAR Century ternyata minus 35,9 persen. Walhasil, suntikan dana untuk Century terus membengkak menjadi Rp 2,65 triliun. Sampai Juni 2009, suntikan untuk Century mencapai Rp 6,7 triliun.
Kondisi itulah yang dipersoalkan Jusuf Kalla. Menurut Kalla, dirinya marah kepada Sri Mulyani dan juga Boediono karena mereka tidak pernah memberi tahu soal bailout Century. ”Saya marah betul karena baru tahu bailout setelah diputuskan,” katanya dalam kesaksian di depan Panitia Khusus, Kamis pekan lalu.
Jusuf Kalla menegaskan ia tak setuju dengan keputusan penyelamatan Century. ”Ini perampokan. Tangkap Robert Tantular (pemilik Century), jangan kasihani. Perampok kok dibantu,” katanya lebih jauh. Kalla juga tak yakin bila Century ditutup akan berdampak sistemik. ”Memang ada krisis, tapi dampaknya ke Indonesia tidak besar,” ujarnya.
Sebaliknya, Sri Mulyani berkukuh ancaman krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia sangat nyata. Indikator perekonomian Indonesia nyaris merah semua: harga saham gabungan jatuh mendekati level 1.000 dari semula level 2.800, rupiah jeblok mendekati Rp 13 ribu per dolar, dan cadangan devisa melorot mendekati US$ 50 miliar dari semula US$ 63 miliaran. Berdasarkan pemaparan Bank Indonesia juga, saat itu ada 23 bank menghadapi persoalan yang sama dengan Century.
Presiden, kata Sri, tidak secara khusus memberikan arahan menyelamatkan Century. Tapi Presiden memerintahkan agar jangan sampai terjadi krisis lagi seperti pada 1997-1998. Pendek kata, Indonesia tak boleh lagi masuk klinik Dana Moneter Internasional (IMF). Lantaran alasan-alasan tadi, Century diselamatkan karena dinilai bisa berdampak sistemik.
Keputusan penyelamatan Century itu langsung dilaporkan ke Presiden lewat pesan pendek, yang tembusannya disampaikan juga ke Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 21 November 2008. ”Ini ada salinan sms-nya,” kata Sri kepada anggota Panitia Khusus di Jakarta pekan lalu. Tapi Kalla merasa tidak membaca pesan pendek dari Menteri Keuangan, ”Saya tidak membaca tembusan itu. Saya tidak tahu apa benar (ada SMS),” ujarnya.
Dalam wawancara khusus dengan Tempo pada September 2009, Sri juga menyebutkan, laporan bailout Century disampaikan lewat pesan pendek ke Presiden Yudhoyono, yang saat itu sedang berada di Amerika Serikat. Tembusan disampaikan Ani—begitu ia disapa—kepada Kalla lewat pesan pendek. ”Tapi laporan resminya baru pada 25 November. Ketika ongkos penanganan berubah, saya sampaikan lagi ke Presiden,” katanya (Tempo edisi 28 September 2009: ”Nonsens Saya Mengambil Untung”).
Sejauh ini belum ada kejelasan siapa yang benar tentang laporan penyelamatan Century lewat pesan pendek itu. Yang terang, ”ketidakcocokan” Sri Mulyani, juga Boediono, dengan Kalla atas antisipasi penyelamatan krisis sejatinya sudah terjadi sejak medio Oktober 2008, sebelum bailout Century terjadi.
Ketika itu krisis finansial global yang bermula dari Amerika Serikat sedang memasuki puncaknya. Berdasarkan masukan para bankir dan pengusaha, Sri Mulyani dan Boediono mengusulkan agar pemerintah memberikan penjaminan penuh (blanket guarantee). Penjaminan atas dana nasabah Rp 100 juta dinilai tidak memadai lagi. Bila tidak ada penjaminan penuh, nasabah dikhawatirkan akan lari karena negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Australia, sudah menetapkan perlindungan penuh itu.
Kalla tak menampik ceritera ini. Di depan anggota Panitia Khusus, pria Bugis ini mengungkapkan, pada 6 Oktober 2008, para bankir dan pengusaha mendatangi Presiden dan mengusulkan penjaminan penuh. Pada 13 Oktober 2008, Sri Mulyani dan Boediono juga meminta persetujuan Kalla atas penerapan penjaminan penuh. ”Saya menolak karena moral hazard. Negara bisa rugi ratusan triliun rupiah seperti pada 1998,” ujar Kalla.
Mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) M.S. Hidayat punya kisah tak berbeda. Menurut Hidayat, yang kini Menteri Perindustrian, pada waktu itu bankir dan pengusaha memang mengusulkan blanket guarantee. Dalam rapat berikutnya dengan Yudhoyono dan Kalla, para pengusaha, termasuk Hidayat, kembali mengusulkan penjaminan total. Tapi Kalla tetap menolak dan hanya setuju penjaminan maksimal Rp 2 miliar. ”Itu akhirnya yang diputuskan,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Banyaknya perbedaan pandangan dan keterangan antara Sri Mulyani dan Kalla memicu Panitia Khusus Hak Angket untuk mempertemukan Sri Mulyani, Boediono, dan Kalla dalam satu sesi. ”Kami sedang mempertimbangkan hal ini,” kata Ketua Panitia Khusus Idrus Marham kepada wartawan di Jakarta pekan lalu. Jika itu terwujud, tampaknya perdebatan panas bisa berlanjut lagi dalam waktu dekat.
Padjar Iswara, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo